song

Kamis, 21 Maret 2013

Rimbawan dan Problem Hutan Saat Ini



Indonesia di masa lalu di penuhi dengan belantara hutan rimba. Setiap jengkalnya ada rahmat Tuhan, ada kedamaian, ada kebahagiaan, untuk manusia dan untuk semua mahluk hidup yang ada di dalamnya.Namun kini itu tinggal menjadi dongeng pengantar tidur seiring laju kerusakan hutan yang setiap detik,setiap menit,setiap jam terus meningkat.Sejak 1999,sekitar 4 juta Ha hutan kita mengalami kerusakan yang cukup parah.Hutan-hutan  dibabat dan dibumi hanguskan,hewan-hewan di buru,di penjara bahkan di binasakan. Selain  itu pertumbuhan penduduk yang tidak seimbang dengan  persediaan lahan usaha dan lapangan kerja menjadi masalah krusial hutan Indonesia.

Hutan bukan hanya sekedar sumber daya yang menabung dan mengembangkan informasi genetik yang tak ternilai. Kehadirannya saja sudah memberikan fungsi yang sangat penting, yang menjadi penentu bagi perlindungan ruang hidup manusia dan bagi perekonomian.Perusakan alam, erosi tanah dan berkurangnya air merupakan tiga akibat yang saling berkaitan erat yang ditimbulkan oleh campur tangan manusia terhadap alam.
Problem itu semua harus bisa diminimalisir bahkan dituntaskan bagi mereka yang bergelut di dunia rimbawan.Artinya, rimbawan harus mampu mengelola perubahan dan harus mengaktualisasi dengan tuntutan masyarakat tanpa mengorbankan kelestarian hutan. jika kita memaknai istilah rimbawan secara definitif, maka amanah ini mungkin akan terbatas pada mereka (individu atau sekelompok orang) yang memiliki dedikasi dan loyalitas dalam melestarikan hutan. Latar belakang akademik, kompetensi dan passion terhadap hutan dan kawasan hijau jadi indikatornya.

Namun, harus diakui bahwa tugas ini menjadi sangat berat untuk dipikul segelintir orang atau komunitas rimbawan. Padahal kita tak bisa menegasikan fakta bahwa pada dasarnya kita semua, punya hak dan kewajiban yang sama atas lingkungan. Hidup kita adalah bagian di dalamnya. Ketidakhadiran kita dalam wujud perbuatan dianggap sebagai bentuk keegoisan dan pembiaran terhadap situasi buruk di depan mata.
Membangun masa depan Tanah Air Indonesia dari kehancuran ekologis merupakan kewajiban moral bersama. Bukan saja untuk kita saat ini, namun generasi akan datang, anak dan cucu kita.
Kerja sosial harus digelorakan secara mikro. Mulai dari lingkungan sekitar tempat tinggal, hingga lingkungan makro.

Ini merupakan dilema yang cukup berat bagi para rimbawan. Rimbawan harus bisa memilih, antara menitik beratkan pengelolaan hutan pada hasil/bidang usaha yang dapat menciptakan lapangan kerja dengan konsekuensi hutan akan rusak dan akan semakin banyak timbul bencana alam, atau pengelolaan hutan yang menitikberatkan pada kelestarian dan penyelamatan serta perlindungan kawasan yang meliputi flora dan fauna, ekosistem dan perlindungan terhadap plasma nutfah serta pengembang-biakan berbagai jenis flora dan fauna langka, dengan konsekuensi lapangan pekerjaan akan semakin sempit karena sedikitnya usaha yang bergerak di bidang kehutanan. Jadi, rimbawan dituntut untuk dapat memanfaatkan hasil hutan sebanyak-banyaknya tetapi tetap menjaga hutan dengan sebaik-baiknya agar tercipta konsep/prinsip kelestarian sehingga dapat diperoleh  manfaat ganda hutan yang dapat diperoleh secara langsung, yaitu secara ekonomi berupa hasil hutan baik kayu ataupun hasil hutan non kayu, dan secara tidak langsung, yaitu berupa pengaturan tata air, ekowisata, penghasil keanekaragaman flora dan fauna yang sangat tinggi, dan lain-lain.

Manusia sebagai faktor penyebab perubahan harus mendapat perhatian yang khusus, karena berhasil tidaknya kelestarian hutan ditentukan sejauh mana keadaan masyarakat dapat diperbaiki. Untuk prioritas pembangunan seyogianya tidak semata-mata didasarkan pada kemampuan dan kemungkinan untuk memberikan hasil dalam waktu yang singkat. Namun, posisi dan perannya dalam hubungan timbal balik dengan bidang lain harus diperhatikan, terutama dari segi ekologis.
Manusia dianggap di luar, di atas, dan terpisah dari alam. Bahkan manusia dipahami sebagai penguasa atas alam yang boleh melakukan apa saja. Cara pandang seperti itu melahirkan sikap dan perilaku eksploitatif tanpa mempedulikan alam dan segala isinya yang dianggap tidak mempunyai nilai dan manfaat bagi dirinya  sendiri.Padahal manusia dan lingkungan merupakan dua komponen yang tidak dapat dipisahkan. Keduanya selalu membentuk hubungan linier dan harmonis. Tetapi dewasa ini keharmonisan itu tidak terlihat lagi. Keharmonisan itu lenyap ketika manusia dihadapkan dengan peradaban modern yang ditandai dengan munculnya revolusi industri sehingga berimplikasi membawa manusia sebagai pemeran utama di muka bumi. Manusia tidak lagi di atur oleh alam. Bahkan manusia dapat merekayasa alam sehingga takluk pada keinginan mereka. Akibatnya muncullah kerusakan dalam segala aspek kehidupan.

Sangat jelas seorang rimbawan harus memiliki semua yang tertuang dalam korsa rimbawan.Walaupun kondisi rimbawan saat ini masih jauh dari harapan  yakni kurang merasakan jiwa korsa yang telah diputuskan oleh situasi dan kondisi keterpurukan bangsa ini. Dampak keterpurukan juga berimbas pada perilaku sebagian rimbawan yang cenderung individualis dengan melihat pekerjaan sebagai batu loncatan untuk berbuat sesuatu demi kepentingan diri sendiri. Padahal saat inilah peran seorang rimbawan benar-benar dibutuhkan negara menghadapi berbagai masalah yang menyangkut kemaslahatan hidup orang banyak.Yang substansial dari ini semua adalah jiwa korsa rimbawan harus kembali di pupuk dan di bangun kembali.