song

Kamis, 25 April 2013

GERAKAN MAHASISWA DI UJUNG TANDUK?

Jika kita melihat fenomena gerakan mahasiswa dalam menyikapi kondisi bangsa saat ini, tentunya beberapa hal mengenai kondisi politik menjadi relevan untuk dikaitkan. Jika kondisi bangsa ini sedang dalam fase tidak baik-baik saja,polarisasi kekuatan gerakan mahasiswa menjadi titik tolak dalam melihat fenomena di atas.
Gerakan mahasiwa yang dibangun berdasarkan idealisme pemikiran, tidak bisa dipungkiri berada dalam ranah politik. Salah seorang tokoh mahasiswa eksponen 1966, Soe Hok Gie menyebut gerakan mahasiswa sebagai gerakan moral, namun segala aksi yang dilakukan gerakan mahasiswa mempengaruhi kondisi politik, bahkan masuk ke dalam dunia politik. Akan tetapi orientasi gerakan ini bukan untuk mendapatkan kekuasaan negara tetapi lebih sebagai solidaritas terhadap ketidakadilan yang dilakukan penguasa.

Akhir-akhir ini kita  menyaksikan kasus korupsi yang semakin menggurita bangsa Indonesia.Hal ini di buktikan dengan berhasilnya KPK membongkar kasus korupsi tersebut.Sebut saja Angelina Sondakh,Andi Malareng,Anas Urbaningrum,serta Nazarudin.Tentu ini adalah prestasi besar buat KPK,walaupun sebenarnya KPK pun sedang mengalami polemik pada tataran internalnya.
Namun di balik itu semua,ada kasus besar yang belum di bongkar oleh KPK sejak mencuat tahun 2009 silam.Pertanyaannya kemudian yang muncul adalah dimana gerakan mahasiswa yang notabentnya adalah kaum intelektual penyongsong perubahan?Ternyata mahasiswa kita kehilangan arah dan taji (disorientasi). Namun sayangnya isu tersebut di tingkat mahasiswa tak berjalan dengan baik. Biasanya isu tersebut diolah melalui forum diskusi, kajian, dan penelitian.
Isu lain yang akhir-akhir ini marak adalah kembali di naikkanya BBM. Rakyat sesungguhnya membutuhkan alasan yang sederhana atas rencana pemerintah yang ingin menaikkan harga bahan bakar minyak (BBM) subsidi. Tidak semua rakyat mengerti kalau diberikan penjelasan menyangkut jebloknya ketahanan fiskal. "Mengapa 20 persen anggaran negara dihabiskan untuk subsidi BBM? Di situlah letaknya, kita harus membantu pemerintah untuk jangan ragu-ragu membawa sumber daya alam yang terbatas ini demi kebutuhan yang lebih baik di negeri ini. Sebenarnya, cara penjelasannya saja yang diperlukan untuk membuat rakyat memahami kenaikan BBM,seperti yang pernah di ujar oleh Jusuf Kalla.Pertanyaanya kemudian Pertanyaannya adalah, pemerintah tidak pernah menyebutkan apakah akan ada jaminan ongkos angkot dan ojek tidak akan naik jika harga BBM naik? Apakah akan ada jaminan harga barang juga tidak akan naik? Apakah ada jaminan harga sewa rumah buruh juga tidak naik? Apakah pengalihan subsidi BBM akan dipakai untuk menjalankan jaminan kesehatan seluruh rakyat termasuk jumlah penerima bantuan iuran bagi 150 juta orang? Apakah akan ada jaminan sekolah gratis sampai SMA?Disinilah peran mahasiswa di tantang sebagai control social terkait kasus ini.
Belum lagi tak sedikit mahasiswa yang terjebak dalam kawah hedonisme. Berlomba-lomba dengan berbagai cara mendapatkan produk, fasilitas, atau jasa yang ditawarkan pabrik baik melalui papan reklame atau melalui media elektronik. Hingga akhirnya terhegemoni, dan menjadi alat untuk mendulang keuntungan para kaum kapital.
Jika kita coba menelaah pergerakan mahasiswa hari ini, maka belum banyak kita temukan pergerakan yang berbasis keberanian. Kata ‘pergerakan’ masih dimaknai oleh sebagian besar mahasiswa, dekat dengan aksi demonstrasi atau aksi-aksi sensasional yang bersifat perlawanan vertikal. Hal ini sepertinya masih dipengaruhi oleh euforia aksi saat reformasi 1998.
Banyak yang berpendapat bahwa pergerakan dengan pemahaman dan pendekatan lama tersebut sekarang sudah tidak lagi relevan. Apalagi, modal yang digunakan adalah nekat, maka itu hampir sama dengan bunuh diri. Lalu bagaimana pemahaman dan pendekatan seharusnya yang relevan dengan kondisi kekinian saat ini?



Pengetahuan : Modal Dasar
Terlihat bahwa pengetahuan disini menjadi sebuah modal dasar dalam setiap tindakan. Begitu juga halnya dengan sebuah keberanian,bahwa keberanian sesungguhnya harus berlandaskan modal pengetahuan yang kontekstual dengan tindakan yang akan dilakukan.
Saat ini tengah berkembang di berbagai belahan dunia, sejumlah gerakan berbasis pengetahuan. Melingkupi berbagai sistem, mulai dari ekonomi, inovasi teknologi, pembangunan, dan sejumlah sistem lainnya, semua berbasis pengetahuan. Dari basis inilah tumbuh keberanian dan kepercayaan diri dari sebuah gerakan.
Begitu juga dengan pergerakan mahasiswa, modal pengetahuan seharusnya menjadi basis atau modal utama. Pergerakan seharusnya dimaknai secara luas, mulai dari aksi sosial, kewirausahaan, pendidikan, seni budaya, dan berbagai jenis aksi lainnya yang bertujuan positif dan dilakukan dengan metode-metode yang juga positif, inilah seharusnya integritas pergerakan mahasiswa dengan ciri intelektual yang tidak hanya menjadi menara gading. Namun juga mengakar menyentuh rakyat dengan hasil olahan mereka terhadap kompleksnya ilmu pengetahuan.
Sebagian kelompok mahasiswa saat ini telah melakukan dan berupaya memaksimalkan pemahaman dan pendekatan berbasis pengetahuan tersebut. Hanya saja mereka masih sebagian kecil dan sebagian besarnya masih bermodal jumlah massa dan nekat.
Lalu bagaimana dengan sebagian besar mereka yang masih belum berbasis pengetahuan tersebut ?. Apa yang menjadi hambatan bagi mereka ditengah arus perkembangan ilmu pengetahuan dan tekonologi (Iptek) saat ini ?.
Bahaya Laten Konservatif
“Akuilah dengan hati bersih bahwa kalian bisa belajar dari orang barat. Tapi jangan sekali-kali kalian meniru mereka. Jadilah murid-murid dari timur yang cerdas”-Tan Malaka
Begitulah himbauan bagi para manusia Indonesia dari seorang Tan Malaka, pemikir terbaik bangsa yang pertama kali menulis konsep tentang Republik Indonesia dan berhasil menghidupkan akal sehat orang timur melalui karya fenomenalnya : Materialisme, Dialektika, dan Logika (Madilog).
Himbauan di atas sangat tepat bagi kelompok mahasiswa yang bersikap konservatif. Konservatif adalah sebuah sikap resisten atau ketertutupan terhadap hal-hal baru. Sikap ini sesungguhnya tidak sepenuhnya salah, karena salah satu tujuannya adalah menjaga identitas atau karakter asli dari keyakinan yang positif. Namun sikap ini menjadi bodoh ketika dilakukan secara berlebihan. Sehingga memunculkan benteng terhadap gagasan-gagasan baru yang sesungguhnya benar.
Hal ini akhirnya membuat mereka terkungkung dalam kesempitan cara pandang, sementara di luar benteng mereka ilmu pengetahuan terus berkembang. Doktrin kebenaran bagi mereka seolah kaku, statis, dan tidak dinamis. Sifat kritis yang lahir, tumbuh secara tidak seimbang. Hanya mengkritik keluar, namun jarang menggugat ke dalam ; apa yang telah diyakini selama ini. Alhasil kedangkalan pemaknaan terhadap urgensi pengetahuan pun membuat mereka bergerak dengan mengabaikan modal dasar ; pengetahuan.
Penyebab munculnya sikat konservatif ini tentu beralasan. Munculnya sejumlah gerakan yang berupaya menyebarkan paham pemikiran dan ideologi mereka di Indonesia adalah salah satu alasannya. Mahasiswa sebagai generasi masa depan tentu disini menjadi sasaran strategis. Hal ini kemudian dilakukan melalu berbagai metode, sehingga akhirnya berhasil mencuci otak para mahasiswa dan membunuh daya kritis mereka melalui indoktrinasi.
Indoktrinasi yang berlangsung secara terus menerus membuat mereka semakin kerdil. Mereka terkurung dalam kesempitan doktrin, merasa menjadi yang paling benar dan yang lain adalah salah. Yang salah dianggap sebagai musuh dan tidak bisa dipercaya. Kelebihan pengetahuan dan keunggulan lainnya yang dimiliki oleh pihak lain dianggap sebagai sebuah ancaman terhadap eksistensi mereka. Sehingganya, jalan apapun kemudian dihalalkan untuk memusnahkan ancaman-ancaman yang membahayakan tersebut, demi memuluskan jalan meraih kekuasaan politik. Mereka menjadi buta, bodoh, pecundang, dan tanpa integritas.
Inilah bahaya laten dari paham konservatif yang berkembang dan menjadi hambatan dari berkembangnya gerakan mahasiswa yang berbasis pengetahuan.

Konsisten Belajar : Memupuk Keberanian
Gerakan mahasiswa yang ideal untuk kondisi kekinian zaman adalah, sebuah gerakan yang berani karena berbasis ilmu pengetahuan yang dinamis. Bukan sebuah gerakan nekat dan konservatif yang kuno, klasik, dan tidak berkembang serta tidak relevan dengan kebutuhan zaman.
Sikap konservatif yang merebak ini memang cukup dilematis. Di satu sisi hal ini sebagai pertahanan terhadap nilai-nilai yang dianggap benar, di sisi lain hambatan untuk maju dan berkembang. Kompleks memang, karena terkait dengan relatifitas asumsi kebenaran, konspirasi perang pemikiran, dan benturan serta distorsi budaya yang terjadi antara keyakinan dan kepercayaan.
Namun tentu dengan terus menerus belajar memperluas pengetahuan, maka kita seharusnya mampu menarik garis batas dimana kita harus bersikap konservatif dan dimana tidak bersikap demikian.
Kata ‘konsisten’ pun dalam konteks ini harus dipahami dengan benar. Konsisten bukan berarti statis dan bertahan dengan prinsip lama secara terus-menerus. Namun konsisten seharusnya diterapkan dalam upaya belajar memperluas pengetahuan secara terus menerus. Sehingganya, ketika kita menemukan hal baru yang tidak relevan dengan prinsip lama kita dan dirasa lebih benar, maka bukan sebuah kesalahan jika kita merubah prinsip lama tersebut dan beralih ke hal yang baru.
Konsistensi untuk terus belajar, hal inilah yang semestinya ditanamkan dalam setiap roh pergerakan mahasiswa saat ini. Bukan mengedepankan emosi brutal tanpa intelektual. Konsistensi belajar tersebutlah yang akan terus memperluas wawasan pengetahuan mereka, sehingga akhirnya mampu bersikap berani yang ideal. Karena tantangan masa depan kita adalah kompetisi intelektual, ide, gagasan, dan inovasi. Semua hal tersebut berbasis kepada ilmu pengetahuan.



Jumat, 12 April 2013

PERSOALAN DASAR PENDIDIKAN KITA



Salah satu benang merah yang dapat ditarik dari sejarah pendidikan dan persekolahan di tanah air adalah bahwa sistem pembelajaran sebagaimana ia diselenggarakan selama Orde Baru harus ditolak karena terbukti menjajah, memasung, dan mengkerdilkan jiwa kaum muda Indonesia. Pendidikan yang bersifat informal, secara sembrono dipersamakan dengan pengajaran di lembaga formal --yakni 'sekolah' dan 'universitas', dalam arti yang telah menyimpang jauh dari makna kedua kata itu-- bahkan juga dengan pelatihan yang non-formal --terutama di perusahaan-perusahaan yang memiliki Divisi 'Pendidikan' dan Pelatihan, tetapi juga di Balai Latihan Kerja dibawah Departemen Tenaga Kerja Orde Baru-- telah terbukti 'efektif' membunuh kreativitas dan daya cipta kaum muda. Hal ini pada gilirannya melahirkan angkatan kerja baru yang bermental budak, yang tentu saja tidak dapat diharapkan menjadi produktif kecuali menjadi parasit, atau bahkan kanker, bagi masyarakat di lingkungan kerjanya.
Dengan lebih tegas dapat dikatakan masalah mendasar dari sistem pendidikan di negeri ini berakar pada ketidakmampuan seluruh anggota masyarakat untuk berbagi tugas dan tanggung jawab dalam mendidik, mengajar, dan melatih tunas-tunas bangsa, kaum muda yang sedang berproses mencari jati dirinya, jati diri komunitasnya, jati diri bangsa dan masyarakatnya, serta jati diri kemanusiaannya sebagai ciptaan Ilahi.
Orangtua tidak mau repot, karena memang tidak sungguh-sungguh peduli. Bagi sebagian besar orangtua, 'mendidik' anak itu hanya berarti mempersiapkan uang sekolah, membelikan seragam, buku-buku dan perlengkapan belajar lainnya. Kalau anaknya mengeluh sulit belajar, orangtua segera memanggil dan membayar mahal 'guru-guru' privat yang sebagian juga pengajar-pengajar di sekolah anaknya itu, untuk memberikan pelajaran tambahan ini dan itu, yang tak jelas relevansinya kecuali untuk memastikan anak-anaknya diberi nilai tinggi saat ujian di sekolah (bukankah kebiasaan membocorkan soal-soal ujian ebtanas berakar dari kebiasaan transaksi antara orangtua dan pengajar yang berkolusi dengan birokrat pemerintah?). Selebihnya? Itu tanggung jawab sekolah dan universitas. Bukankah orangtua membayar semua itu dengan biaya yang sangat tinggi?
Pada pihak lain, sekolah dan universitas terjebak pada semacam arogansi, sikap percaya diri yang berlebihan. Dengan berbagai ilusi konsep-konsep "sekolah unggul", "sekolah pemimpin masa depan", atau lebih parah lagi "pendidikan unggul", birokrat di lembaga-lembaga pengajaran formal itu merasa mampu melakukan segalanya, asal dibayar. Itu sebabnya sekolah-sekolah yang dikatakan "terbaik" sebenarnya tidak jelas bedanya dengan "termahal". Dengan demikian, lembaga-lembaga pengajaran formal itu melembagakan ajaran sesat bahwa 'pendidikan yang baik' adalah 'pendidikan yang mahal'. 'Mahal' sama dengan 'bermutu', bahkan 'baik'. Kalau uang sekolahnya murah, artinya 'buruk' dan 'tak bermutu'. Dan jika mindset ini diberlakukan, maka dapatkah kita katakan bahwa pendidikan di Jerman, yang relatif murah sampai gratis, sangatlah 'buruk' dan 'tidak bermutu'?
Paradigma ngawur semacam ini dipertegas oleh perusahaan-perusahaan pencari kerja yang dipimpin oleh orang-orang yang sama sekali tidak mengerti makna pengajaran dan pendidikan sejati, kecuali sekadar mencari (membeli) keterampilan dan kepribadian sarjana-sarjana dari sekolah yang 'mahal' itu. Bila mereka mendapatkan kenyataan bahwa para alumnus sekolah-sekolah 'terbaik' itu ternyata tidak mampu bekerja secara produktif, maka dikatakan "tidak siap pakai". Lalu sekolah dan universitas diminta menyesuaikan kurikulumnya sedemikian rupa agar dapat menciptakan semacam 'mesin-mesin industri' yang 'siap di-pakai' itu.
Pada masa Orde Baru, paradigma pembelajaran yang 'kurang ajar' semacam itu diperkuat lagi oleh keputusan-keputusan 'penguasa' Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Yang dipersiapkan kemudian adalah 'mesin penghafal Pancasila' yang bersedia diperbudak menjadi tiang-tiang penopang kekuasaan yang korup dan tak bermoral. Yang dipersiapkan kemudian adalah 'alat-alat produksi' yang bersedia di perbudak oleh konglomerat-konglomerat bejat yang rajin berselingkuh dengan pemegang kuasa politik. Yang dipersiapkan kemudian adalah aparat-aparat birokrasi yang miskin inisiatif dan serba menunggu petunjuk.
Demikianlah apa yang seharusnya merupakan proses pembagian tugas dan tanggung jawab dalam mempersiapkan tunas-tunas bangsa menjadi pemimpin-pemimpin masa depan, kemudian berkembang menjadi arisan bagi-bagi rejeki. Orangtua memberikan setoran kepada sekolah dan pengajar-pengajarnya. Lalu sekolah dan para pengajar itu membagikannya kepada birokrat pendidikan agar diakreditasi dan dinaikkan pamornya. Dan akhirnya para birokrat pendidikan ini membuat laporan Asal Bapak Senang kepada 'Raja Mataram' dan kroninya, tanpa ragu apalagi rasa malu. Semua terkesan beres, dan 'baik-baik' saja. Lihat angka-angka statistik menunjukkan tingginya tingkat 'pendidikan' kaum muda dari Pelita ke Pelita. Lihat anak-anak petani kampung sudah pada bergelar sarjana, sementara tanah orangtua mereka telah dijadikan klangenan penjarah bersenjata. Kita akan menjadi bangsa yang besar dan karenanya bolehlah mengajarkan kepada negara-negara lain bagaimana berswasembada beras, sementara petani-petani kita sendiri masih kekurangan beras dan kemudian kita kembali menjadi negara pengimpor beras. Mari kita canangkan 'Kebangkitan Nasional Kedua' dengan membangun Menara Jakarta, lalu kita proklamirkan pada dunia bahwa di sini, di negeri katulistiwa ini, telah lahir Raja Babel yang baru.
Namun mendadak sontak semuanya runtuh jadi debu. Dan mulailah kita menangis bertalu-talu. Segala sesuatu menjadi kacau balau. Semua berteriak, tapi tak ada yang mendengar. Semua mendengar, tapi tak ada yang mengerti. Mengapa oh mengapa? Dimanakah pusaka kesaktian Pancasila disembunyikan (mungkin di Lubang Buaya)? Hari Kebangkitan Nasional berubah menjadi Hari Kebangkrutan Nasional. Hari Kesaktian Pancasila berubah menjadi Hari Kesakitan Pancasila.
Sekali lagi, inilah mungkin akar permasalahannya:
kita tidak menyadari ketidakmampuan seluruh anggota masyarakat kita untuk berbagi tugas dan tanggung jawab dalam mendidik, mengajar, dan melatih tunas-tunas bangsa, kaum muda yang sedang berproses mencari jati dirinya, jati diri komunitasnya, jati diri bangsa dan masyarakatnya, serta jati diri kemanusiaannya sebagai ciptaan Ilahi.
Karena tidak sadar, maka kita tidak mau belajar. Karena tidak belajar, maka kita tidak pernah mengalami metanoia, tidak berubah dari tidak mampu menjadi berkemampuan. Itulah buah sistem pendidikan kita lebih dari tiga dekade terakhir. Buahnya adalah manusia-manusia yang bonsai, berjiwa kerdil dan mudah dibeli, tak punya rasa malu apalagi harga diri, tak menyadari ketelanjangan karena buta pikiran dan buta nurani. Buah-buahnya adalah kaum muda yang jauh lebih terbelakang dari para pelopor Sumpah Pemuda di tahun 1928.