“ Mari bersyukur kawan,
sebab kita masih berada pada atmosfer dialektika yang membara, masih melihat
bedah buku dipojok-pojok koridor kampus, masih menikmati diskusi ringan bersama
hangatnya kopi hitam dikantin Mace-mace, masih mengangkat tangan kiri ketika
melakukan parlemen jalanan, masih ditutupkan pintu ketika dipaksa untuk membaca
oleh para senior”
Itulah tutur seorang kawan di
sudut kolong rimba beberapa tahun silam persis di Bulan Desember ketika hujan
lagi lucu-lucunya dan dingin yang menyengat lagi genit-genitnya. Hal menarik
dari beberapa lontaran kalimat diatas ditujukkan kepada para anak muda yang
tiap hari kakinya menapaki tempat itu (kolong perjuangan) namun jiwa dan
raganya melayang entah kemana. Anak muda yang kumaksud adalah mereka yang
mengatas namakan dirinya sebagai kaum intelektual, anak muda yang dilabeli
identitas sebagai mahasiswa. Menarik ketika kita membahas tentang mahasiswa ,
kata “Maha” di dunia ini hanya ada beberapa. Diantaranya yaitu Maha Kuasa
(Tuhan), Maha guru (Ahli) dan Mahasiswa (Pelajar Perguruan Tinggi). Memang tak
dipungkiri bahwa peletakan kata “maha” adalah bentuk
penghargaan tertinggi terhadap mahasiswa (meski masih belajar). Generasi muda
adalah penentu perjalanan bangsa di masa berikutnya.
Mahasiswa sebagai inti dari
generasi muda, mempunyai kelebihan dalam pemikiran ilmiah, selain semangat
mudanya, sifat kritisnya, kematangan logikanya dan ‘kebersihan’-nya dari
noda orde masanya. Mahasiswa adalah motor penggerak utama perubahan. Mahasiswa
diakui perannya sebagai kekuatan pendobrak kebekuan dan kejumudan
masyarakat.Ketika menjadi mahasiswa, besar beban yang ada dipundak kita. Kita
bukan siswa lagi, ada kata Maha di depannya. Tentunya ada konsekuensi logis
yang harus dilakukan, yakni bagaimana kita dapat berperan aktif dalam
pengawasan kebijakan Negara. Dan posisi kita adalah bagaimana kita dapat memberikan
sebuah pengharapan bagi perubahan kearah yang lebih baik. Mahasisiwa adalah
kaum- kaum intelektual. Dengan intelektualitasnya, peran strategis mahasiswa
akan sangat dibutuhkan bagi kemajuan bangsa. Adalah tanggungjawab sejarah
generasi muda, khususnya mahasiswa, untuk terus berjuang memperbaiki nasib
bangsanya. Sebagian besar rakyat kita adalah masyarakat yang belum bebas dari
kebodohan dan kemiskinan, dipundak mahasiswa-lah mereka menaruh harapan akan
masa depan anak-anaknya agar hidup lebih baik dimasa mendatang.
Melalui kemampuan intelektualitas,
seyogyanya mahasiswa mampu menangkap perasaan rakyat akan pentingnya
kesejahteraan dan demokrasi, yang adil dan merata, sebagai konsekuensi logis
dari negara yang merdeka-berdaulat. Jika kita melirik kebelakang saat
mengenyam pendidikan dibangku sekolah, tentu banyak hal yang kita lalui dengan
begitu saja bagai sayur tanpa garam tanpa memperhatikan kondisi social yang
ada. Kondisi yang seperti inilah yang menina bobokan kita pada gejolak social
dan kebangsaan yang terjadi.Hal yang menarik adalah ketika kondisi dimana
status kita berubah, yang tadinya adalah siswa lalu berubah menjadi
mahasiswa. Kini keadaan berubah, siswa yang dulunya lugu, acuh tak acuh, yang
selalu melalui kehidupan nya dengan konsep ‘yang penting happy’
secara alamiah terus berkembang hingga melewati suatu keadaan yang disebut
dinamika. Dinamika inilah yang kemudian mengantarkannya dari ‘siswa’ menuju
‘mahasiswa’.
Jelas antara siswa dan mahasiswa
merupakan dua dunia yang berbeda, dunia siswa lebih banyak dipengaruhi oleh
pengaruh mitos-mitos yang membawanya hidup dalam kesenangan sendiri. Ketika
menjadi mahasiswa, kita dihadapkan pada beberapa konsep yang baru; mahasiswa
itu agen of change, agen of social control,dan iron
stock. Empat konsep yang hanya terdapat dalam dunia pergerakan, namun hal
ini terkadang justru menjadi momok menakutkan bagi setiap siswa yang baru saja
mengalami transformasi ke mahasiswa, sehingga mereka memilih untuk tetap pada
dirinya semula, berwujud mahasiswa tapi berjiwa siswa. Kampus seharusnya mampu
menjadi panggung dialektika para mahasiswa bukan sebagai tempat untuk menenteng
gadget baru, bukan sebagai tempat untuk menceritakan gosip-gosip murahan para
artis ataupun bukan sebagai tempat untuk membuat janji ke mall dan bioskop mana
yang akan dikunjungi, bukan sebagai panggung pertunjukan layaknya para model.
Itulah realitas yang dapat kita lihat saat ini khususnya pada tempat yang biasa
kusebut dengan kolong rimba (kolong perjuangan). Kampus adalah tempat memanusiakan
manusia (humanisme) melalui pendidikan dan banyak diantara kita lupa
akan hal itu. Proses pendidikan yang sebenarnya adalah proses pembebasan
dengan jalan memberikan kepada seseorang suatu kesadaran akan kemampuan
kemandirian atau memberikan kekuasaan kepadanya untuk menjadi individu.