song

Senin, 22 Desember 2014

Bungkamnya Para Anak Muda di Kolong Rimba



“ Mari bersyukur kawan, sebab kita masih berada pada atmosfer dialektika yang membara, masih melihat bedah buku dipojok-pojok koridor kampus, masih menikmati diskusi ringan bersama hangatnya kopi hitam dikantin Mace-mace, masih mengangkat tangan kiri ketika melakukan parlemen jalanan, masih ditutupkan pintu ketika dipaksa untuk membaca oleh para senior”


Itulah tutur seorang kawan di sudut kolong rimba beberapa tahun silam persis di Bulan Desember ketika hujan lagi lucu-lucunya dan dingin yang menyengat lagi genit-genitnya. Hal menarik dari beberapa lontaran kalimat diatas ditujukkan kepada para anak muda yang tiap hari kakinya menapaki tempat itu (kolong perjuangan) namun jiwa dan raganya melayang entah kemana. Anak muda yang kumaksud adalah mereka yang mengatas namakan dirinya sebagai kaum intelektual, anak muda yang dilabeli identitas sebagai mahasiswa. Menarik ketika kita membahas tentang mahasiswa , kata “Maha” di dunia ini hanya ada beberapa. Diantaranya yaitu Maha Kuasa (Tuhan), Maha guru (Ahli) dan Mahasiswa (Pelajar Perguruan Tinggi). Memang tak dipungkiri bahwa peletakan kata “maha” adalah bentuk penghargaan tertinggi terhadap mahasiswa (meski masih belajar). Generasi muda adalah penentu perjalanan bangsa di masa berikutnya.
Mahasiswa sebagai inti dari generasi muda, mempunyai kelebihan dalam pemikiran ilmiah, selain semangat mudanya, sifat kritisnya, kematangan logikanya dan ‘kebersihan’-nya dari noda orde masanya. Mahasiswa adalah motor penggerak utama perubahan. Mahasiswa diakui perannya sebagai kekuatan pendobrak kebekuan dan kejumudan masyarakat.Ketika menjadi mahasiswa, besar beban yang ada dipundak kita. Kita bukan siswa lagi, ada kata Maha di depannya. Tentunya ada konsekuensi logis yang harus dilakukan, yakni bagaimana kita dapat berperan aktif dalam pengawasan kebijakan Negara. Dan posisi kita adalah bagaimana kita dapat memberikan sebuah pengharapan bagi perubahan kearah yang lebih baik. Mahasisiwa adalah kaum- kaum intelektual. Dengan intelektualitasnya, peran strategis mahasiswa akan sangat dibutuhkan bagi kemajuan bangsa. Adalah tanggungjawab sejarah generasi muda, khususnya mahasiswa, untuk terus berjuang memperbaiki nasib bangsanya. Sebagian besar rakyat kita adalah masyarakat yang belum bebas dari kebodohan dan kemiskinan, dipundak mahasiswa-lah mereka menaruh harapan akan masa depan anak-anaknya agar hidup lebih baik dimasa mendatang.
Melalui kemampuan intelektualitas, seyogyanya mahasiswa mampu menangkap perasaan rakyat akan pentingnya kesejahteraan dan demokrasi, yang adil dan merata, sebagai konsekuensi logis dari negara yang merdeka-berdaulat. Jika kita melirik kebelakang saat mengenyam pendidikan dibangku sekolah, tentu banyak hal yang kita lalui dengan begitu saja bagai sayur tanpa garam tanpa memperhatikan kondisi social yang ada. Kondisi yang seperti inilah yang menina bobokan kita pada gejolak social dan kebangsaan yang terjadi.Hal yang menarik adalah ketika kondisi dimana status kita berubah, yang tadinya adalah siswa lalu  berubah menjadi mahasiswa. Kini keadaan berubah, siswa yang dulunya lugu, acuh tak acuh, yang selalu melalui kehidupan nya dengan konsep ‘yang penting happy’ secara alamiah terus berkembang hingga melewati suatu keadaan yang disebut dinamika. Dinamika inilah yang kemudian mengantarkannya dari ‘siswa’ menuju ‘mahasiswa’.
Jelas antara siswa dan mahasiswa merupakan dua dunia yang berbeda, dunia siswa lebih banyak dipengaruhi oleh pengaruh mitos-mitos yang membawanya hidup dalam kesenangan sendiri. Ketika menjadi mahasiswa, kita dihadapkan pada beberapa konsep yang baru; mahasiswa itu agen of changeagen of social control,dan  iron stock. Empat konsep yang hanya terdapat dalam dunia pergerakan, namun hal ini terkadang justru menjadi momok menakutkan bagi setiap siswa yang baru saja mengalami transformasi ke mahasiswa, sehingga mereka memilih untuk tetap pada dirinya semula, berwujud mahasiswa tapi berjiwa siswa. Kampus seharusnya mampu menjadi panggung dialektika para mahasiswa bukan sebagai tempat untuk menenteng gadget baru, bukan sebagai tempat untuk menceritakan gosip-gosip murahan para artis ataupun bukan sebagai tempat untuk membuat janji ke mall dan bioskop mana yang akan dikunjungi, bukan sebagai panggung pertunjukan layaknya para model. Itulah realitas yang dapat kita lihat saat ini khususnya pada tempat yang biasa kusebut dengan kolong rimba (kolong perjuangan). Kampus adalah tempat memanusiakan manusia (humanisme) melalui pendidikan dan banyak  diantara kita lupa akan hal itu. Proses pendidikan yang sebenarnya adalah proses pembebasan dengan jalan memberikan kepada seseorang suatu kesadaran akan kemampuan kemandirian atau memberikan kekuasaan kepadanya untuk menjadi individu.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar