Kepada pewaris peradaban
Yang telah menggoreskan
Sebuah catatan kebanggaan
Di lembar sejarah manusia
Yang telah menggoreskan
Sebuah catatan kebanggaan
Di lembar sejarah manusia
Kutipan Lagu Totalitas Perjuangan di atas
seolah ingin memberi tahu kita bahwa sejarah berbagai negara biasanya berbesar
hati mengabadikan peran-peran signifikan gerakan mahasiswa dalam berbagai
momentum besar negara tersebut. Namun faktanya, tak sedikit bias sejarah yang
menjadikannya tak mampu menangkap gelora semangat, gelombang antusiasme dan
aura idealisme yang menyertai pergerakannya yang monumental.
Pergerakan mahasiswa. Sebuah istilah yang dari
masa ke masa senantiasa disertai diskursus wacana yang tajam mengenai fungsi
dan perannya. Diskursus ini menjadi urgen karena ia akan sangat berkaitan
dengan jati diri dan karakter pergerakan mahasiswa itu sendiri. Perdebatan yang
terjadi biasanya dalam mendefinisikan dan mendeskripsikan gerakan mahasiswa,
terutama berkaitan dengan karakter pergerakannya. Yaitu, apakah pergerakan
mahasiswa adalah gerakan moral atau gerakan politik? Atau kedua-duanya?
Mahasiswa adalah struktur yang unik dalam tatanan masyarakat, baik
dilihat dari sudut politik, ekonomi, maupun sosial. Hal dikarenakan masa ketika
menjadi mahasiswa adalah masa transisi sebelum mereka melanjutkan dirinya
sebagai seorang profesional, pejuang, politisi, atau pengusaha. Selain itu,
keunikannya juga tampak dari kebebasan yang mereka miliki, baik kebebasan
berpikir, berpendapat, berekspresi, atau melakukan apa pun. Komunitas mahasiswa
juga merupakan satu-satunya komunitas yang paling dinamis dalam menangkap dan
mengakomodasi sebuah perubahan serta paling harmonis dalam menyuarakan
pendapat. Sebab, mahasiswa adalah asosiasi dari kejujuran, integritas dan
semangat moral. Dalam diri mahasiswa, juga terdapat kumpulan calon cendekiawan,
pahlawan, negarawan, serta profesi lainnya (Gerakan Mahasiswa, Rezim Tirani
& Ideologi Reformasi, 2000).
Alangkah sayangnya, jika posisi yang strategis dan unik dari mahasiswa di atas,
dibiarkan begitu saja berjalan tanpa ada pemompa semangat dan simpati
masyarakat. Yang sering terjadi dan dijadikan ukuran gerakan mahasiswa, memang
adalah keunggulannya dalam mengkonsolidasi sebuah gerakan dan penjatuhan sebuah
rezim. Oleh karena itu, gerakan mahasiswa 1966, 1998, dan 2001 dianggap sukses.
Sedangkan gerakan mahasiswa 1974, 1978, dan 2002 dianggap sebagai pecundang dan
hanya mengacaukan ketenangan masyarakat. Penilaian seperti itu sangat
simplistis dan ukuran sebuah keberhasilan gerakan tidak semudah analisis formal
seperti itu.
Sebuah gerakan mahasiswa yang masih mau berpretensi menjadi gerakan moral dan pengawal kebijakan pemerintah demi menuju demokrasi, ukuran kalah atau menang dan kuat atau lemah tidaklah menjadi standar penilaian. Yang lebih penting adalah, bahwa ketika terjadi pertarungan antara isu demokrasi , penindasan dan keadilan sosial, kejujuran dan korupsi, maka mahasiswa harus tetap konsisten berdiri di belakang rakyat. Dengan begitu, meskipun tidak berhasil menumbangkan rezim, mereka tetap akan dikenang rakyat sebagai pahlawan hati nurani dan penyambung aspirasi rakyat yang sesungguhnya. Menurut Craig Calhoun, peristiwa terbunuhnya para mahasiwa yang melakukan demonstrasi di lapangan Tiananmen pada 1988, akhirnya terbukti banyak berpengaruh dalam penumbangan kekuasan Deng Xiaoping. Sebab, pascaperistiwa tersebut, terjadi pertikaian elite politik di pemerintah dan tubuh Partai Komunis Cina yang menyebabkan pergeseran kekuasaan (Neither Gods Nor Emperors, Students and Struggle for Democracy in China, 1997).
Oleh karena itu, gerakan mahasiswa harus senantiasa bangkit dan bersemangat untuk menyelamatkan bangsanya dari sebuah konspirasi politik nasional ataupun kekuatan kapitalisme global. Berkaitan dengan ini, Sutan Syahrir dalam sebuah konferensi Sosialis Asia di Bombay (India) tahun 1956 pernah meneriakkan sebuah kata-kata yang bagus untuk dikenang dan dipraktikkan. Yaitu: "Para mahasiswa sebagai kelompok pemuda harus bangkit melawan ketidakadilan sosial di negeri-negeri mereka sendiri. Para mahasiswa harus mengoreksi leadership formal di suatu negeri". Jika mahasiswa mampu melakukan hal itu, maka pengandaian Hariman Siregar bahwa gerakan mahasiswa adalah pilar kelima demokrasi setelah pers, bukanlah sebuah isapan jempol dan harapan semu belaka.
Sebuah gerakan mahasiswa yang masih mau berpretensi menjadi gerakan moral dan pengawal kebijakan pemerintah demi menuju demokrasi, ukuran kalah atau menang dan kuat atau lemah tidaklah menjadi standar penilaian. Yang lebih penting adalah, bahwa ketika terjadi pertarungan antara isu demokrasi , penindasan dan keadilan sosial, kejujuran dan korupsi, maka mahasiswa harus tetap konsisten berdiri di belakang rakyat. Dengan begitu, meskipun tidak berhasil menumbangkan rezim, mereka tetap akan dikenang rakyat sebagai pahlawan hati nurani dan penyambung aspirasi rakyat yang sesungguhnya. Menurut Craig Calhoun, peristiwa terbunuhnya para mahasiwa yang melakukan demonstrasi di lapangan Tiananmen pada 1988, akhirnya terbukti banyak berpengaruh dalam penumbangan kekuasan Deng Xiaoping. Sebab, pascaperistiwa tersebut, terjadi pertikaian elite politik di pemerintah dan tubuh Partai Komunis Cina yang menyebabkan pergeseran kekuasaan (Neither Gods Nor Emperors, Students and Struggle for Democracy in China, 1997).
Oleh karena itu, gerakan mahasiswa harus senantiasa bangkit dan bersemangat untuk menyelamatkan bangsanya dari sebuah konspirasi politik nasional ataupun kekuatan kapitalisme global. Berkaitan dengan ini, Sutan Syahrir dalam sebuah konferensi Sosialis Asia di Bombay (India) tahun 1956 pernah meneriakkan sebuah kata-kata yang bagus untuk dikenang dan dipraktikkan. Yaitu: "Para mahasiswa sebagai kelompok pemuda harus bangkit melawan ketidakadilan sosial di negeri-negeri mereka sendiri. Para mahasiswa harus mengoreksi leadership formal di suatu negeri". Jika mahasiswa mampu melakukan hal itu, maka pengandaian Hariman Siregar bahwa gerakan mahasiswa adalah pilar kelima demokrasi setelah pers, bukanlah sebuah isapan jempol dan harapan semu belaka.
BERCERMIN DARI SEJARAH
Sejarah telah
membuktikan pada kita bahwa kekuatan yang mampu mengadakan perubahan dinegara
ini (tanpa menafikkan kekuatan elemen
rakyat yang lain) adalah kekuatan massa mahasiswa. Massa mahasiswa yang
tumpah kejalan-jalan, pusat-pusat pemerintahan dan instansi-instansi pemerintahan
lainnya itulah yang mendesakkan tuntutan-tuntutan perubahan kepada pemerintah,
meskipun perjuangan tersebut harus dibayar dengan darah dan air mata. Sejarah
telah mencatat pula nama-nama yang telah menjadi martil perubahan di negeri
ini.
Gerakan mahasiswa
indonesia dari dulu sampai sekarang selalu mengalami pasang surut gerakan. Ini
karena gerakan mahasiswa selalu mengikut pada momentum. Pada saat ada momentum,
gerakan mahasiswa tiba-tiba menjadi massif,
tetapi kalau tidak ada, maka gerakan akan hilang. Mahasiswa kemudian
tidak mampu menjaga konsistensi gerakan.
Tahun 1966 yang sering menjadi bahan pembicaraan yang
hangat apabila berbicara tentang gerakan mahasiswa indonesia, menyisakah banyak
pelajaran bagi kita, khususnya dalam mengolah gerakan. Pelajaran tersebut
antara lain:
1. Harus menjaga konsistensi gerakan. Dalam
artian bahwa persoalan yang dihadapi bukan sekedar mulai melakukan perubahan, namun yang paling
penting adalah menyelesaikan perubahan sesuai dengan arah perubahan yang diinginkan.
Jangan karena euforia kemenangan sesaat, maka kita lalu melupakan persoalan
selanjutnya. Kita lihat, ditahun 65-66, setelah berhasil menumbangkan sukarno,
gerakan mahasiswa lalu menjadi surut, dan mahasiswa kembali kekampus dan mulai
kegiatan-kegiatan akademis, rekreatif, dsb. Mahasiswa melupakan persoalan bahwa
masalah bukan sekedar menumbangkan rezim, namun setelah itu mahasiswa harus
terus mengawal agenda-agenda perubahan sampai terbentuknya suatu pemerintahan
yang betul-betul demokratis. Ini yang tidak dilakukan oleh mahasiswa saat itu.
Dan ironisnya, peristiwa ini kembali terulang di tahun 1998, dimana mahasiswa
memposisikan dirinya sebagai dewa penyelamat yang muncul ketika ada masalah dan
pegi begitu saja ketika masalah telah diatasi.
2. Koloborasi gerakan mahasiswa dengan militer,
sangat merugikan gerakan mahasiswa
sendiri. Ini bisa kita lihat, bahwa setelah peristiwa tersebut, militerlah yang
kemudian menikmati kemenangan dari gerakan mahasiswa yang kemudian memunculkan
suharto sebagai pahlawan yang kemudian berkuasa, menguras hasil bumi dan
menindas rakyat indonesia selama 32 tahun. Koloborasi ini juga menghilangkan
jiwa kepeloporan dalam gerakan mahasiswa. Kita tentu tahu, sebagai institusi
pemerintah dan sebagai alat pertahanan keamanan negara, militer memiliki
sistem, organisasi dan perangkat manajemen organisasi yang mapan, kuat dan sistematis dibandingkan
mahasiswa yang hanya bermodal semangat, idealisme. Jelas, ketika mahasiswa dan
militer berkloborasi, maka hasilnya hanya akan dinikmati oleh militer, sedang
mahasiswa akan diarahkan masuk kekampus dengan seabrek peraturan-peraturan yang
yang dikekangkan. Kecenderungan kita untuk tidak bergabung dengan kekuatan
militer, bisa kita analia dari pendapat Lucian W. Pye dalam bukunya Political Parties and Political Development,
yang menjelaskan keterkaitan hubungan sipil dengan militer, yaitu;
~ Pola perkembangan dimana militer memainkan
peranan yang menonjol karena didalam masyarakat yang tidak stabil, militer
merupakan satu-satunya unsur yang terorganisir secara efektif yang mampu
bersaing untuk memperoleh kekuasaan politik serta mampu membentuk kebijaksanaan
umum.
~ Dimana militer secara formal sementara
mendukung pembangunan demokrasi, etapi sebetulnya memonopli arena politik serta
memaksa elit politik yang muncul dimana saja untuk memusatkan perhatiannya
khusus pada persoalan sosial dan ekonomi.
~ Militer sebagai suatu organisasi yang modern
dimasyarakatnya, mengambil alih peran administrasi dan pengawasan.
Jadi jelas bahwa uluran tangan kerjasama
dari militer merupakan cara mereka untuk merangkul elemen-elemen gerakan yang
ada untuk kemudian mengambil kesempatan untuk menelikung kemenangan yang telah
diperoleh.