song

Sabtu, 05 Oktober 2013

MAHASISWA DAN GERAKAN


Kepada pewaris peradaban
Yang telah menggoreskan
Sebuah catatan kebanggaan
Di lembar sejarah manusia 

Kutipan Lagu Totalitas Perjuangan di atas seolah ingin memberi tahu kita bahwa sejarah berbagai negara biasanya berbesar hati mengabadikan peran-peran signifikan gerakan mahasiswa dalam berbagai momentum besar negara tersebut. Namun faktanya, tak sedikit bias sejarah yang menjadikannya tak mampu menangkap gelora semangat, gelombang antusiasme dan aura idealisme yang menyertai pergerakannya yang monumental.
Pergerakan mahasiswa. Sebuah istilah yang dari masa ke masa senantiasa disertai diskursus wacana yang tajam mengenai fungsi dan perannya. Diskursus ini menjadi urgen karena ia akan sangat berkaitan dengan jati diri dan karakter pergerakan mahasiswa itu sendiri. Perdebatan yang terjadi biasanya dalam mendefinisikan dan mendeskripsikan gerakan mahasiswa, terutama berkaitan dengan karakter pergerakannya. Yaitu, apakah pergerakan mahasiswa adalah gerakan moral atau gerakan politik? Atau kedua-duanya?
Mahasiswa adalah struktur yang unik dalam tatanan masyarakat, baik dilihat dari sudut politik, ekonomi, maupun sosial. Hal dikarenakan masa ketika menjadi mahasiswa adalah masa transisi sebelum mereka melanjutkan dirinya sebagai seorang profesional, pejuang, politisi, atau pengusaha. Selain itu, keunikannya juga tampak dari kebebasan yang mereka miliki, baik kebebasan berpikir, berpendapat, berekspresi, atau melakukan apa pun. Komunitas mahasiswa juga merupakan satu-satunya komunitas yang paling dinamis dalam menangkap dan mengakomodasi sebuah perubahan serta paling harmonis dalam menyuarakan pendapat. Sebab, mahasiswa adalah asosiasi dari kejujuran, integritas dan semangat moral. Dalam diri mahasiswa, juga terdapat kumpulan calon cendekiawan, pahlawan, negarawan, serta profesi lainnya (Gerakan Mahasiswa, Rezim Tirani & Ideologi Reformasi, 2000).
Alangkah sayangnya, jika posisi yang strategis dan unik dari mahasiswa di atas, dibiarkan begitu saja berjalan tanpa ada pemompa semangat dan simpati masyarakat. Yang sering terjadi dan dijadikan ukuran gerakan mahasiswa, memang adalah keunggulannya dalam mengkonsolidasi sebuah gerakan dan penjatuhan sebuah rezim. Oleh karena itu, gerakan mahasiswa 1966, 1998, dan 2001 dianggap sukses. Sedangkan gerakan mahasiswa 1974, 1978, dan 2002 dianggap sebagai pecundang dan hanya mengacaukan ketenangan masyarakat. Penilaian seperti itu sangat simplistis dan ukuran sebuah keberhasilan gerakan tidak semudah analisis formal seperti itu.
Sebuah gerakan mahasiswa yang masih mau berpretensi menjadi gerakan moral dan pengawal kebijakan pemerintah demi menuju demokrasi, ukuran kalah atau menang dan kuat atau lemah tidaklah menjadi standar penilaian. Yang lebih penting adalah, bahwa ketika terjadi pertarungan antara isu demokrasi , penindasan dan keadilan sosial, kejujuran dan korupsi, maka mahasiswa harus tetap konsisten berdiri di belakang rakyat. Dengan begitu, meskipun tidak berhasil menumbangkan rezim, mereka tetap akan dikenang rakyat sebagai pahlawan hati nurani dan penyambung aspirasi rakyat yang sesungguhnya. Menurut Craig Calhoun, peristiwa terbunuhnya para mahasiwa yang melakukan demonstrasi di lapangan Tiananmen pada 1988, akhirnya terbukti banyak berpengaruh dalam penumbangan kekuasan Deng Xiaoping. Sebab, pascaperistiwa tersebut, terjadi pertikaian elite politik di pemerintah dan tubuh Partai Komunis Cina yang menyebabkan pergeseran kekuasaan (Neither Gods Nor Emperors, Students and Struggle for Democracy in China, 1997).
Oleh karena itu, gerakan mahasiswa harus senantiasa bangkit dan bersemangat untuk menyelamatkan bangsanya dari sebuah konspirasi politik nasional ataupun kekuatan kapitalisme global. Berkaitan dengan ini, Sutan Syahrir dalam sebuah konferensi Sosialis Asia di Bombay (India) tahun 1956 pernah meneriakkan sebuah kata-kata yang bagus untuk dikenang dan dipraktikkan. Yaitu: "Para mahasiswa sebagai kelompok pemuda harus bangkit melawan ketidakadilan sosial di negeri-negeri mereka sendiri. Para mahasiswa harus mengoreksi leadership formal di suatu negeri". Jika mahasiswa mampu melakukan hal itu, maka pengandaian Hariman Siregar bahwa gerakan mahasiswa adalah pilar kelima demokrasi setelah pers, bukanlah sebuah isapan jempol dan harapan semu belaka. 

BERCERMIN DARI SEJARAH
            Sejarah telah membuktikan pada kita bahwa kekuatan yang mampu mengadakan perubahan dinegara ini (tanpa menafikkan kekuatan elemen rakyat yang lain) adalah kekuatan massa mahasiswa. Massa mahasiswa yang tumpah kejalan-jalan, pusat-pusat pemerintahan dan instansi-instansi pemerintahan lainnya itulah yang mendesakkan tuntutan-tuntutan perubahan kepada pemerintah, meskipun perjuangan tersebut harus dibayar dengan darah dan air mata. Sejarah telah mencatat pula nama-nama yang telah menjadi martil perubahan di negeri ini.
            Gerakan mahasiswa indonesia dari dulu sampai sekarang selalu mengalami pasang surut gerakan. Ini karena gerakan mahasiswa selalu mengikut pada momentum. Pada saat ada momentum, gerakan mahasiswa tiba-tiba menjadi massif,  tetapi kalau tidak ada, maka gerakan akan hilang. Mahasiswa kemudian tidak mampu menjaga konsistensi gerakan.
            Tahun 1966  yang sering menjadi bahan pembicaraan yang hangat apabila berbicara tentang gerakan mahasiswa indonesia, menyisakah banyak pelajaran bagi kita, khususnya dalam mengolah gerakan. Pelajaran tersebut antara lain:
1.      Harus menjaga konsistensi gerakan. Dalam artian bahwa persoalan yang dihadapi bukan sekedar  mulai melakukan perubahan, namun yang paling penting adalah menyelesaikan perubahan sesuai dengan arah perubahan yang diinginkan. Jangan karena euforia kemenangan sesaat, maka kita lalu melupakan persoalan selanjutnya. Kita lihat, ditahun 65-66, setelah berhasil menumbangkan sukarno, gerakan mahasiswa lalu menjadi surut, dan mahasiswa kembali kekampus dan mulai kegiatan-kegiatan akademis, rekreatif, dsb. Mahasiswa melupakan persoalan bahwa masalah bukan sekedar menumbangkan rezim, namun setelah itu mahasiswa harus terus mengawal agenda-agenda perubahan sampai terbentuknya suatu pemerintahan yang betul-betul demokratis. Ini yang tidak dilakukan oleh mahasiswa saat itu. Dan ironisnya, peristiwa ini kembali terulang di tahun 1998, dimana mahasiswa memposisikan dirinya sebagai dewa penyelamat yang muncul ketika ada masalah dan pegi begitu saja ketika masalah telah diatasi.
2.      Koloborasi gerakan mahasiswa dengan militer, sangat  merugikan gerakan mahasiswa sendiri. Ini bisa kita lihat, bahwa setelah peristiwa tersebut, militerlah yang kemudian menikmati kemenangan dari gerakan mahasiswa yang kemudian memunculkan suharto sebagai pahlawan yang kemudian berkuasa, menguras hasil bumi dan menindas rakyat indonesia selama 32 tahun. Koloborasi ini juga menghilangkan jiwa kepeloporan dalam gerakan mahasiswa. Kita tentu tahu, sebagai institusi pemerintah dan sebagai alat pertahanan keamanan negara, militer memiliki sistem, organisasi dan perangkat manajemen organisasi  yang mapan, kuat dan sistematis dibandingkan mahasiswa yang hanya bermodal semangat, idealisme. Jelas, ketika mahasiswa dan militer berkloborasi, maka hasilnya hanya akan dinikmati oleh militer, sedang mahasiswa akan diarahkan masuk kekampus dengan seabrek peraturan-peraturan yang yang dikekangkan. Kecenderungan kita untuk tidak bergabung dengan kekuatan militer, bisa kita analia dari pendapat Lucian W. Pye dalam bukunya Political Parties and Political Development, yang menjelaskan keterkaitan hubungan sipil dengan militer, yaitu;
~    Pola perkembangan dimana militer memainkan peranan yang menonjol karena didalam masyarakat yang tidak stabil, militer merupakan satu-satunya unsur yang terorganisir secara efektif yang mampu bersaing untuk memperoleh kekuasaan politik serta mampu membentuk kebijaksanaan umum.
~    Dimana militer secara formal sementara mendukung pembangunan demokrasi, etapi sebetulnya memonopli arena politik serta memaksa elit politik yang muncul dimana saja untuk memusatkan perhatiannya khusus pada persoalan sosial dan ekonomi.
~    Militer sebagai suatu organisasi yang modern dimasyarakatnya, mengambil alih peran administrasi dan pengawasan.
Jadi jelas bahwa uluran tangan kerjasama dari militer merupakan cara mereka untuk merangkul elemen-elemen gerakan yang ada untuk kemudian mengambil kesempatan untuk menelikung kemenangan yang telah diperoleh.

Rabu, 26 Juni 2013

Rumah Kosong yang Mulai Rapuh (KEMA KEHUTANAN SYLVA INDONESIA (PC) UNHAS)





“bersatulah bersatu, tinggi rendah jadi satu.Bertolonglah selalu”

Fenomena lembaga selalu mengalami hal yang dinamis,seperti itulah yang  SYLVA UNHAS rasakan. Kini rumah para rimbawan Unhas mulai tampak sunyi. Hiruk pikuk dan lakon kelembagaan mulai tampak fakum. Ini merupakan teguran universal untuk mereka yang lahir dari rahim SYLVA. Revitalisasi ataupun reposisi selama ini tak berjalan efektif baik itu di tubuh SYLVA ataupun para warga yang notabentnya adalah mahasiswa. Berkaca pada mahasiswa yang katanya adalah kaum intelektual,ternyata hal ini bila dibenturkan dengan realitas hari ini hanyalah sesuatu yang utopis belaka. SYLVA sebagai lembaga kemahasiswaan dan juga sebagai lembaga keprofesian dituntut untuk mengawal kondisi actual kebangsaan,lokal,serta gejolak hutan dan kehutan saat ini. Pembedahan secara filosofis, persoalan fakta sejarah bahwa mahasiswa melalui lembaga kemahasiswaan telah berkontribusi dalam pengawalan proses perubahan bangsa rasanya tak perlu banyak diragukan lagi,dan hal ini telah termanifestasi dalam gerakan mahasiswa.
Berkaca pada hal itu,sepertinya SYLVA sudah harus berbenah agar tidak sampai pada jurang degradasi dan porak poranda tergilas sang waktu. Jika hal itu terjadi janganlah berharap ada teriakan dan sahutan “salam rimba” dalam setiap moment,baik itu kegiatan pengkaderan ataupun kegiatan-kegiatan lain yang sifatnya mencerahkan mahasiswa kehutanan. Polemik ini harus menjadi perhatian penting apalagi kini SYLVA dalam kondisi transisi (MUBES).  Seperti yang kita pahami mubes adalah forum tertinggi,tempat dimana kita berdialektika,menyusun fondasi dan kerangka sehingga SYLVA bisa menjadi rumah yang kokoh dan nyaman untuk ditempati. Sudah seharusnya semua elemen yang ada  di tubuh  SYLVA itu bahu membahu dan berkolaborasi  agar SYLVA tak menjadi rumah yang rapuh. Menoleh pada kondisi MUBES SYLVA UNHAS adalah hal yang mencengangkan bagi yang melihatnya. Yah,antusias dari warga SYLVA untuk menumpahkan dan tukar pendapat guna membangun dan mempertahankan eksistensi SYLVA berkurang. Miris,itu kata yang pas untuk dilontarkan. Secara kuantitas warga SYLVA berkisar 600 an,dan bila dikaji secara matematis hal ini dapat menyokong visi dan misi yang SYLVA emban.  Namun sayangnya dari kisaran 600 an itu sekitar 30 hingga 40 an yang peduli atas nasib SYLVA saat ini menurut pandangan subjektifku.
SYLVA harus terus ada untuk bergerak sesuai dengan nilai-nilai perjuangan yang ada.Tulisan ini hanyalah bagian dari ikhtiar dalam membumikan konteks SYLVA hari ini.

Bangkit dan bergeraklah
Bangun dan sadarlah dari mimpi burukmu
Jangan menjadi anak muda PALSU

*untuk kolong rimba,kolong perlawananku yang berdinding tanpa batas.

Kamis, 25 April 2013

GERAKAN MAHASISWA DI UJUNG TANDUK?

Jika kita melihat fenomena gerakan mahasiswa dalam menyikapi kondisi bangsa saat ini, tentunya beberapa hal mengenai kondisi politik menjadi relevan untuk dikaitkan. Jika kondisi bangsa ini sedang dalam fase tidak baik-baik saja,polarisasi kekuatan gerakan mahasiswa menjadi titik tolak dalam melihat fenomena di atas.
Gerakan mahasiwa yang dibangun berdasarkan idealisme pemikiran, tidak bisa dipungkiri berada dalam ranah politik. Salah seorang tokoh mahasiswa eksponen 1966, Soe Hok Gie menyebut gerakan mahasiswa sebagai gerakan moral, namun segala aksi yang dilakukan gerakan mahasiswa mempengaruhi kondisi politik, bahkan masuk ke dalam dunia politik. Akan tetapi orientasi gerakan ini bukan untuk mendapatkan kekuasaan negara tetapi lebih sebagai solidaritas terhadap ketidakadilan yang dilakukan penguasa.

Akhir-akhir ini kita  menyaksikan kasus korupsi yang semakin menggurita bangsa Indonesia.Hal ini di buktikan dengan berhasilnya KPK membongkar kasus korupsi tersebut.Sebut saja Angelina Sondakh,Andi Malareng,Anas Urbaningrum,serta Nazarudin.Tentu ini adalah prestasi besar buat KPK,walaupun sebenarnya KPK pun sedang mengalami polemik pada tataran internalnya.
Namun di balik itu semua,ada kasus besar yang belum di bongkar oleh KPK sejak mencuat tahun 2009 silam.Pertanyaannya kemudian yang muncul adalah dimana gerakan mahasiswa yang notabentnya adalah kaum intelektual penyongsong perubahan?Ternyata mahasiswa kita kehilangan arah dan taji (disorientasi). Namun sayangnya isu tersebut di tingkat mahasiswa tak berjalan dengan baik. Biasanya isu tersebut diolah melalui forum diskusi, kajian, dan penelitian.
Isu lain yang akhir-akhir ini marak adalah kembali di naikkanya BBM. Rakyat sesungguhnya membutuhkan alasan yang sederhana atas rencana pemerintah yang ingin menaikkan harga bahan bakar minyak (BBM) subsidi. Tidak semua rakyat mengerti kalau diberikan penjelasan menyangkut jebloknya ketahanan fiskal. "Mengapa 20 persen anggaran negara dihabiskan untuk subsidi BBM? Di situlah letaknya, kita harus membantu pemerintah untuk jangan ragu-ragu membawa sumber daya alam yang terbatas ini demi kebutuhan yang lebih baik di negeri ini. Sebenarnya, cara penjelasannya saja yang diperlukan untuk membuat rakyat memahami kenaikan BBM,seperti yang pernah di ujar oleh Jusuf Kalla.Pertanyaanya kemudian Pertanyaannya adalah, pemerintah tidak pernah menyebutkan apakah akan ada jaminan ongkos angkot dan ojek tidak akan naik jika harga BBM naik? Apakah akan ada jaminan harga barang juga tidak akan naik? Apakah ada jaminan harga sewa rumah buruh juga tidak naik? Apakah pengalihan subsidi BBM akan dipakai untuk menjalankan jaminan kesehatan seluruh rakyat termasuk jumlah penerima bantuan iuran bagi 150 juta orang? Apakah akan ada jaminan sekolah gratis sampai SMA?Disinilah peran mahasiswa di tantang sebagai control social terkait kasus ini.
Belum lagi tak sedikit mahasiswa yang terjebak dalam kawah hedonisme. Berlomba-lomba dengan berbagai cara mendapatkan produk, fasilitas, atau jasa yang ditawarkan pabrik baik melalui papan reklame atau melalui media elektronik. Hingga akhirnya terhegemoni, dan menjadi alat untuk mendulang keuntungan para kaum kapital.
Jika kita coba menelaah pergerakan mahasiswa hari ini, maka belum banyak kita temukan pergerakan yang berbasis keberanian. Kata ‘pergerakan’ masih dimaknai oleh sebagian besar mahasiswa, dekat dengan aksi demonstrasi atau aksi-aksi sensasional yang bersifat perlawanan vertikal. Hal ini sepertinya masih dipengaruhi oleh euforia aksi saat reformasi 1998.
Banyak yang berpendapat bahwa pergerakan dengan pemahaman dan pendekatan lama tersebut sekarang sudah tidak lagi relevan. Apalagi, modal yang digunakan adalah nekat, maka itu hampir sama dengan bunuh diri. Lalu bagaimana pemahaman dan pendekatan seharusnya yang relevan dengan kondisi kekinian saat ini?



Pengetahuan : Modal Dasar
Terlihat bahwa pengetahuan disini menjadi sebuah modal dasar dalam setiap tindakan. Begitu juga halnya dengan sebuah keberanian,bahwa keberanian sesungguhnya harus berlandaskan modal pengetahuan yang kontekstual dengan tindakan yang akan dilakukan.
Saat ini tengah berkembang di berbagai belahan dunia, sejumlah gerakan berbasis pengetahuan. Melingkupi berbagai sistem, mulai dari ekonomi, inovasi teknologi, pembangunan, dan sejumlah sistem lainnya, semua berbasis pengetahuan. Dari basis inilah tumbuh keberanian dan kepercayaan diri dari sebuah gerakan.
Begitu juga dengan pergerakan mahasiswa, modal pengetahuan seharusnya menjadi basis atau modal utama. Pergerakan seharusnya dimaknai secara luas, mulai dari aksi sosial, kewirausahaan, pendidikan, seni budaya, dan berbagai jenis aksi lainnya yang bertujuan positif dan dilakukan dengan metode-metode yang juga positif, inilah seharusnya integritas pergerakan mahasiswa dengan ciri intelektual yang tidak hanya menjadi menara gading. Namun juga mengakar menyentuh rakyat dengan hasil olahan mereka terhadap kompleksnya ilmu pengetahuan.
Sebagian kelompok mahasiswa saat ini telah melakukan dan berupaya memaksimalkan pemahaman dan pendekatan berbasis pengetahuan tersebut. Hanya saja mereka masih sebagian kecil dan sebagian besarnya masih bermodal jumlah massa dan nekat.
Lalu bagaimana dengan sebagian besar mereka yang masih belum berbasis pengetahuan tersebut ?. Apa yang menjadi hambatan bagi mereka ditengah arus perkembangan ilmu pengetahuan dan tekonologi (Iptek) saat ini ?.
Bahaya Laten Konservatif
“Akuilah dengan hati bersih bahwa kalian bisa belajar dari orang barat. Tapi jangan sekali-kali kalian meniru mereka. Jadilah murid-murid dari timur yang cerdas”-Tan Malaka
Begitulah himbauan bagi para manusia Indonesia dari seorang Tan Malaka, pemikir terbaik bangsa yang pertama kali menulis konsep tentang Republik Indonesia dan berhasil menghidupkan akal sehat orang timur melalui karya fenomenalnya : Materialisme, Dialektika, dan Logika (Madilog).
Himbauan di atas sangat tepat bagi kelompok mahasiswa yang bersikap konservatif. Konservatif adalah sebuah sikap resisten atau ketertutupan terhadap hal-hal baru. Sikap ini sesungguhnya tidak sepenuhnya salah, karena salah satu tujuannya adalah menjaga identitas atau karakter asli dari keyakinan yang positif. Namun sikap ini menjadi bodoh ketika dilakukan secara berlebihan. Sehingga memunculkan benteng terhadap gagasan-gagasan baru yang sesungguhnya benar.
Hal ini akhirnya membuat mereka terkungkung dalam kesempitan cara pandang, sementara di luar benteng mereka ilmu pengetahuan terus berkembang. Doktrin kebenaran bagi mereka seolah kaku, statis, dan tidak dinamis. Sifat kritis yang lahir, tumbuh secara tidak seimbang. Hanya mengkritik keluar, namun jarang menggugat ke dalam ; apa yang telah diyakini selama ini. Alhasil kedangkalan pemaknaan terhadap urgensi pengetahuan pun membuat mereka bergerak dengan mengabaikan modal dasar ; pengetahuan.
Penyebab munculnya sikat konservatif ini tentu beralasan. Munculnya sejumlah gerakan yang berupaya menyebarkan paham pemikiran dan ideologi mereka di Indonesia adalah salah satu alasannya. Mahasiswa sebagai generasi masa depan tentu disini menjadi sasaran strategis. Hal ini kemudian dilakukan melalu berbagai metode, sehingga akhirnya berhasil mencuci otak para mahasiswa dan membunuh daya kritis mereka melalui indoktrinasi.
Indoktrinasi yang berlangsung secara terus menerus membuat mereka semakin kerdil. Mereka terkurung dalam kesempitan doktrin, merasa menjadi yang paling benar dan yang lain adalah salah. Yang salah dianggap sebagai musuh dan tidak bisa dipercaya. Kelebihan pengetahuan dan keunggulan lainnya yang dimiliki oleh pihak lain dianggap sebagai sebuah ancaman terhadap eksistensi mereka. Sehingganya, jalan apapun kemudian dihalalkan untuk memusnahkan ancaman-ancaman yang membahayakan tersebut, demi memuluskan jalan meraih kekuasaan politik. Mereka menjadi buta, bodoh, pecundang, dan tanpa integritas.
Inilah bahaya laten dari paham konservatif yang berkembang dan menjadi hambatan dari berkembangnya gerakan mahasiswa yang berbasis pengetahuan.

Konsisten Belajar : Memupuk Keberanian
Gerakan mahasiswa yang ideal untuk kondisi kekinian zaman adalah, sebuah gerakan yang berani karena berbasis ilmu pengetahuan yang dinamis. Bukan sebuah gerakan nekat dan konservatif yang kuno, klasik, dan tidak berkembang serta tidak relevan dengan kebutuhan zaman.
Sikap konservatif yang merebak ini memang cukup dilematis. Di satu sisi hal ini sebagai pertahanan terhadap nilai-nilai yang dianggap benar, di sisi lain hambatan untuk maju dan berkembang. Kompleks memang, karena terkait dengan relatifitas asumsi kebenaran, konspirasi perang pemikiran, dan benturan serta distorsi budaya yang terjadi antara keyakinan dan kepercayaan.
Namun tentu dengan terus menerus belajar memperluas pengetahuan, maka kita seharusnya mampu menarik garis batas dimana kita harus bersikap konservatif dan dimana tidak bersikap demikian.
Kata ‘konsisten’ pun dalam konteks ini harus dipahami dengan benar. Konsisten bukan berarti statis dan bertahan dengan prinsip lama secara terus-menerus. Namun konsisten seharusnya diterapkan dalam upaya belajar memperluas pengetahuan secara terus menerus. Sehingganya, ketika kita menemukan hal baru yang tidak relevan dengan prinsip lama kita dan dirasa lebih benar, maka bukan sebuah kesalahan jika kita merubah prinsip lama tersebut dan beralih ke hal yang baru.
Konsistensi untuk terus belajar, hal inilah yang semestinya ditanamkan dalam setiap roh pergerakan mahasiswa saat ini. Bukan mengedepankan emosi brutal tanpa intelektual. Konsistensi belajar tersebutlah yang akan terus memperluas wawasan pengetahuan mereka, sehingga akhirnya mampu bersikap berani yang ideal. Karena tantangan masa depan kita adalah kompetisi intelektual, ide, gagasan, dan inovasi. Semua hal tersebut berbasis kepada ilmu pengetahuan.