song

Rabu, 28 November 2012

IBU


Selalu berada di sisiku,walau terpisahkan ruang dan waktu.
Mengisi selah di dinding-dinding hatiku
Kasihmu lebih indah dari semua kasih yang ada di muka bumi
Tuturmu selalu ku junjung di ubun-ubunku

Ribuan makna telah terukir
Dan aku memetiknya demi cinta semata
Cintamu tiada bertepi

Senin, 26 November 2012

......

tersimpan,
jauh dalam kelok hasrat
naif kah?

aku dan kamu yang menginterpretasikannya
karena inilah hakikat dariNYA

waktu,kesempatan,dan kata-kata
itulah yang selalu aku lupakan

haruskah aku mengenal aku?
lalu melepasnya,bersemayam kepadamu

tak ada lagi bercumbu dengan bayang dan kata
anganku yang belum teretas


Sabtu, 27 Oktober 2012

PEMUDA dan SUMPAH PEMUDA



“Sesungguhnya di tangan para pemuda terletak segala urusan umat dan di kakinya terletak kehidupan umat.”
Jakarta, 84 tahun silam. Sekelompok pemuda terpelajar dengan latar organisasi kepemudaan beberapa daerah dan agama mengakhiri pertemuan mereka dengan menyatakan sebuah ikrar tentang tanah air, bangsa, dan bahasa: Indonesia
Peran pemuda dalam kehidupan berbangsa dan bernegara selalu berada di garda terdepan sebagai pengawal dinamika kehidupan bangsa. Dari berdirinya negeri ini hingga harus berjibaku mengawal rezim politik penguasa.
Reaktualisasi nilai-nilai Sumpah Pemuda akan terus diuji oleh kompleksitas dan tantangan zaman. Spirit Sumpah Pemuda bukan sesuatu yang bersifat statis, melainkan dinamis dan dialektis
Momentum sumpah pemuda biasanya digunakan banyak orang untuk mengembalikan semangat persatuan pemuda Indonesia dengan berbagai cara, seakan tidak pernah habis bangsa ini membahas momentum persatuan, layaknya kenangan indah yang sayang untuk dilupakan.
Harapan perubahan dan pembaharuan menjadi benang merah sejarah yang menghubungkan pemuda masa kini dengan pemuda tempo dulu. Harapan agar gerak pemuda terus membaik senantiasa mengelora dalam peringatan sumpah pemuda setiap tahunnya.
Begitu banyak persoalan yang membelit para pemuda hari ini. Mulai dari degradasi karakter, munculnya kembali perjuangan yang hanya bersifat kedaerahan, meredupnya kepemimpinan dan ketokohan, gersangnya kehidupan intelektual, dan semakin menurunya peran sosial di masyarakat
Bergulirnya reformasi telah merubah banyak hal dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Perubahan itu juga hendaknya membuat kita menjadi lebih cerdas dan dinamis didalam membaca realitas zaman, termasuk pemuda tentunya sehingga akan lahir orang-orang baru dan cita-cita baru yang mampu memberikan perubahan menujua arah yang lebih baik kedepannya.
Gie menulis, “Di Indonesia hanya ada dua pilihan, menjadi idealis atau apatis. Saya sudah lama memutuskan harus menjadi idealis sampai batas sejauh-jauhnya.” Idealis atau apatis, dua kata yang menjadi cermin bagi para pemuda sekarang ini. Termasuk idealis atau apatiskah kita?
Bicara konteks saat ini pantas jika kita diagnosa kondisi pemuda saat ini memiliki penyakit yang sangat kronis “apatisme”. Apatisme pemuda era sekarang telah menjebak pemuda dalam pusaran tiada akhir dan menumpulkan idealisme.Hal inilah yang membuat kondisi pemuda saat ini agak “alay”yang semakin di perparah dengan berkembang biaknya K-POP,shuffle dance,gangnam style,boy band dan girl band. Jika pemuda sudah terkonstruk dengan hal-hal seperti ini apa jadinya bangsa ini? Pengaruh bangsa asing yang datang ke Indonesia ternyata menjadi racun bagi kehidupan para pemuda kita. Semangat pemuda dahulu kini seakan luntur ditelan bumi dan saat ini hanyalah tinggal sejarah atau cerita yang selalu kita bangga-banggakan. Perilaku konsumtif yang saat ini menjadi virus meluluhkan rasa nasionalisme kita terhadap produk dalam negeri yang dahulu pernah dikampanyekan “cintai produk Indonesia”.
Pemuda sebenarnya merupakan sosok yang paling memiliki power untuk mengarungi sendi-sendi kehidupan bangsa dan negara ke depan. Pemuda jualah yang menjadi harapan untuk mengkritik setiap-setiap kebijakan-kebijakan yang dikeluarkan oleh pemerintah dan memberikan solusi yang cerdas untuk mengatasi permasalahan. Pemuda dapat dikatakan sebagai generasi pelanjut dan pelurus.
Maka kini saatnya kita menyatukan diri berhimpun bergerak bersama menciptakan sebuah perubahan yang meskipun kecil tetapi dapat menginspirasi serta menggerakkan orang lain agar segera tercipta Indonesia yang sejahtera. Bergerak tidak hanya mengenang, berbuat tidak hanya mengingat, dan jadilah solusi dari permasalahan tidak hanya sekedar wacana.

Selasa, 16 Oktober 2012

sekilas tentang hutan desa bonto bulaeng


Tim Layanan Kehutanan Masyarakat  Unhas sebagai wadah belajar bersama dalam membangun pengelolaan hutan berbasis masyarakat di Sulawesi Selatan pada tanggal 26 September 2012 melakukan observasi lapang, pengukuran tapal batas, serta inventarisasi potensi hutan pada Desa Bonto Bulaeng Kecamatan Sinoa Kabupaten Bantaeng  Provinsi Sulawesi Selatan.Masyarakat dan hutan ternyata  2 komponen yang saling terkait dan tak bisa di saling pisahkan,keduanya membentuk hubungan linear dan harmonis,ini lah yang terjadi pada Desa Bonto Bulaeng sendiri pada tahun 2011 yang lalu mendapatkan bantuan dari PNPM Mandiri Pedesaan yakni Pembangkit Listrik Tenaga Mycro Hydro.Pembangkit listrik ini sangat tergantung pada hutan dan pepohonan yang ada,karena sumber air berasal dari kawasan hutan tersebut. Saya dan saudara Sopyan di tempatkan selama lima hari,pada areal yang di tetapkan sebagai kawasan Hutan Desa.Selama kegiatan ini berlangsung,kami di dampingi oleh kepala dusun serta anaknya.Hutan desa yaitu kawasan hutan negara yang masuk dalam wilayah desa tertentu dan dikelola oleh masyarakat desa tertentu. Hutan desa dapat diupayakan menyeimbangkan tiga aspek yaitu ekonomi, ekologi dan keadilan serta dijadikan salah satu pilihan sumber kemandirian pendanaan otonomi desa jangka panjang.  
Hasil pengamatan secara langsung di lapangan,bahwa Hutan Desa Bonto Bulaeng berbatasan dengan Hutan Desa Bonto Lojong,Bonto Marannu,Kayuloe,dan Onto.Hal lain yang kami dapatkan bahwa di dalam kawasan hutan telah ada aktifitas yang dilakukan oleh masyarakat khususnya pembukaan lahan hutan untuk berladang dan berkebun.Areal hutan desa pada Desa Bonto Bulaeng tergolong memprihatinkan,hal ini di sebabkan minimnya pohon yang tumbuh pada areal tersebut.Justru lahan-lahan pada areal hutan desa lebih banyak di jumpai tanaman jangka pendek seperti jagung,kopi,dan  cengkeh.Tanaman jagung,kopi,dan cengkeh sepertinya menjadi gantungan hidup penduduk di sana.Ini terbukti pada beberapa jalur dan plot inventarisasi yang kami buat,tanaman ini selalu kami jumpai.Adapun jenis pohon yang mendominasi atau tumbuh subur pada areal hutan desa ini adalah pinus mercussi,surem dan kristania.Hal ini dikarenakan kondisi geografis,suhu,tanah dan iklim di sana sepertinya cocok dengan tanaman tersebut.Berbicara tanaman pinus mercussi sendiri,warga di sana belum memanfaatkanya dengan baik,misalnya saja kalau di daerah lain seperti Desa Kompang,Kabupaten Sinjai, getah dari pinus itu di sarad untuk meningkatkan taraf hidup masyarakat sekitar hutan di sana.Hasil wawancara kami dengan warga di Desa Bonto Bulaeng,bahwa untuk melakukan penyaradan itu memerlukan waktu yang lama dan keahlian khusus serta hasil pendapatan dari penyadapan getah pinus itu masih tergolong rendah,hal inilah yang mengurungkan niat mereka untuk melakukan proses penyaradan.
Sekitar 92 plot inventarisasi yang dibuat tak satupun kami menemukan tanaman HHBK (hasil hutan bukan kayu),seperti bambu,aren,rotan,ataupun lebah madu.Pada plot 3 dan 4 kami menjumpai tanaman hias yakni tanaman bunga matahari,yang jumlahnya sekitar 100 tanaman.Tanaman bunga matahari ini kalau di lihat dari segi estetis mempunyai nilai ekonomis yang cukup baik,dan ini bisa di manfaatkan masyarakat Desa Bonto Bulaeng pada khususnya,untuk menaikkan taraf hidup mereka.Ada hal yang membuat kami menarik,yakni pada salah satu areal di wilayah Patturunjawa,Desa Bonto Bulaeng ada sejumlah pohon bayam yang di tanami masyarakat.Umur pohon ini memiliki kisaran 5-6 tahun. Kejadian ini tidak bisa di lepas pisahkan dengan kondisi ekonomi masyarakat setempat.  Pertanyaan besar bagi kita semua  adalah “bagaimana mewujudkan hutan lestari,masyarakat sejahtera?”. Disini kami  tidak perlu mengintrepretasikan siapa pihak yang disalahkan pada hutan desa Bonto Bulaeng .Untuk menjawab itu semua agar betul-betul terealisasi pada ranah realitas yakni di perlukan sinergitas pemahaman pengelolaan hutan di semua lini stakeholder,baik itu pemerintah,akademisi,NGO,pemodal,ataupun masyarakat. Hadirnya hutan desa ini tidak bisa di pungkiri untuk menambah income masyarakat.
Pada Desa Bonto Bulaeng sendiri seharusnya memiliki lembaga yang siap memayungi masyarakat dalam mengelola hutan desa tersebut. Apalagi kondisi  pengetahuan masyarakat pada Desa Bonto Bulaeng masih cukup minim. Hal ini bisa saja mengakibatkan terhambatnya pengelolaan hutan desa nantinya,olehnya itu perlu penanganan serius.Faktor pendukung lainya adalah sosialisasi dari instansi terkait yakni Dinas Kehutanan Kabupaten Bantaeng harus intens. Semua ini di lakukan agar masyarakat mapan dari segi pemahaman pengelolaan hutan desa berbasis masyarakat, yang nantinya berefek pada kelembagaan masyarakat desa.Apabila kelembagaan masyarakat ini sudah terpola dan terkonstruk dengan baik,tujuan yang di cita-citakan dapat di peroleh dengan maksimal. Masyarakat sebagai pemanfaat sumberdaya hutan merupakan kekuatan penggerak yang penting. Kesadaran masyarakat  juga menjadi kunci pokok agar sumberdaya hutan dapat termanfaatkan secara bijak dan lestari. Intinya yaitu Hutan Desa yang diinisiasi dengan memposisikan masyarakat sebagai salah satu pemangku kepentingan kunci dalam pengelolaan kawasan hutan, maka mereka dapat mengakses sumberdaya alam dan memanfaatkanya untuk kehidupan, tetapi bukan sebagai pemilik kawasan.


Rabu, 25 Juli 2012

Beritadaerah.com | Pusat Informasi Potensi Daerah Indonesia - Pariwisata & Investasi Usaha

Beritadaerah.com | Pusat Informasi Potensi Daerah Indonesia - Pariwisata & Investasi Usaha

MAHASISWA,KAMPUS,DAN LEMBAGA


I. GENESIS

            Mahasiswa, bagaiamanapun juga adalah representasi kekuatan penyeimbang yang akan selalu ada dalam dinamika perkembangan budaya sebuah masyarakat yang diaktualisasikan dalam kerangka organisasi maupun kapasitas individunya. Kerangka organisasi kemahasiswaan pada dasarnya merupakan sebuah bagian integral dari investasi idiologi dan dinamika perkembangan hubungan antara masyarakat, dan kampus sebagai sebuah miniatur kehidupan masyarakat yang terkecil, merupakan benteng kebenaran terakhir yang sering kali diharapkan menjadi avant garde terhadap semua dinamika perubahan yang terjadi. Kerangka objektifitas intelektual harus menjadi kerangka berfikir yang mutlak ada, dan moralitas kebebasan menjadi inspirasi dari kelompok yang memang memiliki tingkat kesadaran yang jauh lebih baik.
            Maka ketika realitas sosial diluar sudah berjalan keluar dari rel – nya, tanggung jawab moral untuk mengembalikannya dalam jalurnya yang semula harus dilakukan oleh kekuatan mahasiswa, baik dalam kerangka kelembagaan formal maupun yang lainnya. Karena bagaimana – pun juga, kelompok kelas menengah yang ada pada batas kesadaran terbaik ini, harus dapat mengggantikan fungsi sosial yang sebelumnya tidak berjalan.

II. KAMPUS SEBAGAI BENTENG KEBENARAN

            Dinamika perubahan dan kekuatan intelektual suatu bangsa akan sangat dipengaruhi dengan tempat dimana manusia dari suatu bangsa tersebut melakukan proses interaksi, pembelajaran dan pembebasan berfikir untuk memajukan system budaya masyarakat sambil berupaya  menjawab pertanyaan – pertanyaan terhadap persoalan yang ada dimasyarakat. Tempat dimana kerangka rasionalitas dan obyektifitas berfikir menjadi basis dari setiap interaksi yang terjadi di dalamnya.
Gambaran tentang tempat ini, seharusnya merupakan syarat mutlak lembaga pendidikan tinggi (kampus) yang mau tidak mau adalah dapur dari seluruh kerangka berfikir dan pembentukan carakter dari suatu bangsa. Rasioalitas berfikir yang harus dikembangkan dan hidup dalam dinamika kampus pada dasarnya adalah sebuah simbol kebenaran yang selalu menjadi contoh bagi dinamika objektif yang muncul dimasyarakat. Sederhananya, proses  evolusi dari suatu bangsa akan sangat dipengaruhi oleh kwalitas generasi intelektualnya yang memang terlahir dari sebuah ruangan tempat dimana segala aktivitas akan berkembang secara ideal, yaitu kampus. Namun selama kurun waktu 32 tahun pemerintahan orde baru, kampus malah menjadi mercusuar otoriterianisme rezim dan rumah jagal bagi wacana kebebasan intelektual. Malah kekuatan yang ada didalamnya turut bertanggung jawab terhadap proses rekayasa sosial dimasyarakat. Dan hanya sekedar mengingatkan bahwa  kita tidak pernah punya Universitas tiran, namun kita selalu punya stock tirani yang cukup banyak.[1]

III. MAHASISWA

Gambaran umum tentang mahasiswa adalah suatu komunitas majemuk yang cenderung dinamis, intelektual, idealis dan punya kecenderungan komunal. Mahasiswa yang pada hakekatnya selalu berangkat dari kelompok kelas menengah atau dengan kata lain terdapat dalam kelompok pragmatis (sebatas pelaksana ide menjadi kenyataan) harus mempu berfungsi  sebagai social control pada kekuasaan yang berlangsung. Fungsi kontrol tersebut akan serta merta berlaku apabila kekuasaan yang ada sudah dirasakan tidak aspiratif atas kepentingan rakyat, dan ketika itu terjadi posisioning mahasiswa yang ideal adalah sebagai sebuah elemen yang progresif (berfikir – ide – bertindak – realisasi). Kerangka progresifitasnya harus selalu dalam kerangka memajukan sistem budaya masyarakat dan berupaya memberikan jawaban – jawaban terhadap persoalan yang ada dalam suatu masyarakat.
            Kerangka berfikir mahasiswa harus benar – benar terbebaskan dari ruang sempit pemikiran yang menghambat dinamika masyarakat, oleh karenanya, walau – pun mahasiswa bukan dewa yang mampu menjawab semua permasalahan, namun intelektualitasnya harus benar – benar didasari atas sense of critics yang independent, dan aktualisasinya tidak dapat dikekang oleh kekuatan manapun kecuali norma dan nilai – nilai kebenaran.
            Sejarah selalu menyatakan bahwa kekuatan mahasiswa selalu dapat dijadikan filial awal dari proses perubahan dinamika masyarakat dan realitas  kebangsaan serta keorganisasian masyarakat(baca negara), meski dalam awal perkembangannya, istilah mahasiswa belum begitu populer dibandingkan istilah “Pemuda”,[2] yang memang telah jauh lebih populer dalam masa pergerakan perjuangan kemerdekaan.   


IV. LEMBAGA KEMAHASISWAAN DALAM DINAMIKA PERUBAHAN MASYARAKAT
            Aktualisasi dari kerangka berpikir mahasiswa sebagai bagian dalam dinamika perubahan masyarakat direpresentasikan dalam kelembagaan mahasiswa sendiri, baik diluar kampus maupun didalam. Sepanjang sejarahnya, kekuatan lembaga mahasiswa baik exstra maupun intra kampus selalu dapat menjadi stimulus dari perubahan yang terjadi dimasyarakat. Ketika pada awal pergerakan perlawan nasional, kekuatan mahasiswa mempunyai afiliasi yang sangat kuat dengan gerakan kepemudaan kebangsaan lainnya. Kerangka idiologi dan politik kelompok  atau lembaga kepemudaan mengalami sebuah proses dinamisasi yang sangat luar biasa,  bagaimana kemudian para pemuda tersebut mampu menjawab pertanyaan tentang kerangka berbangsa yang pada saat itu jauh dari bayangan banyak orang.
            Realitas yang muncul pasca perjuangan  kemerdekaan, justru mengalami stagnasi, atau boleh dapat dikatakan mundur, apa lagi ketika kekuatan orde baru muncul sebagai kekuatan tunggal yang sangat sentralistik, kekuatan mahasiswa mengalami disorientasi yang sangat jauh. Kerangka berorganisasi dihancurkan dan mahasiswa dijauhkan dari realitas yang ada di masyarakat. Sejarah juga mengatakan bahwa, angkatan 66 dulu bukanlah kekuatan real ideal dari mahasiswa, karena bagaimanapun juga KAMI dan KAPI tidak pernah lepas dari kekuatan militer (Angkatan Darat) yang menjadi supporting system.[3] Bangunan rapuh yang ditinggalkan oleh para “alumnus” KAMI, pada akhirnya diturunkan kepada lapisan dibawahnya, angkatan 74, yang juga dicatat dalam sejarah tidak dapat melepaskan kebobrokan generasi sebelumnya, kalau mau jujur hariman siregar yang juga kader SGU (Study Group UI), pada waktu itu tidak dapat dilepaskan dari pertarungan politik praktis antara ASPRI keprsidenan dengan KOPKAMTIB.[4]  Akhirnya culture berorganisasi sering menjadi sangat kaku dan jauh dari kerangka objektif sebuah organisasi yang ideal, apa lagi ketika menteri pendidikan pada waktu itu (Daud jusoef) memberlalkukan NKK/BKK sebagai sebuah model pengkebirian lembaga kemahsiswaan. Dan kondisi tersebut masih sangat terasa hingga saat ini. 

 

IV. A. LEMBAGA EXSTRA KAMPUS (sebuah kritik)

Sebagai sebuah media aktualisasi yang ada diluar kampus, maka komponen exstra kampus mempunyai kecenderungan terhadap kebutuhan dan tuntutan kekuatan yang memang mengafiliasikannya, keberadaan kawan – kawan exstra kampus memiliki kerangka berfikir yang terkadang lebih fleksibel dibandingkan kawan – kawan yang ada dalam kelembagaan formal intra kampus. Karakter organisasinya tidak dapat dipukul rata, antara sesama organ – organ exstra kamus lainnya, karena tiap – tiap organ exstra kampus memiliki   kecenderungan untuk berbeda satu dengan yang lainnya. Namun tetap  objektifitasnya harus selalu dipertanyaakan. Artinya tidak akan pernah ada jaminan bahwa kerangka organisasi exstra kampus bebas dari nilai. Kondisi objektif yang sering terlihat adalah bagaimana kekuatan mahasiswa exstra kampus akan selalu menyesuaikan platform organisasinya terhadap platform  organisasi induk yang memang menjadi buffer diluar kampus. Dan yang akan sangat memprihatinkan adalah, ketika kekuatan buffer tersebut adalah sebuah partai politik ataupun kekuatan massa yang main stream, maka kekuataan mahasiswa yang didalamnya (exstra kampus), mau tidak mau adalah sub ordinate dari kekuatan partai politik tadi, karena pada akhirnya intervensi kekuasaan terhadap dinamika kampus dan kerangka berfikirnya akan sangat mungkin terjadi. Dan jika ini terjadi, sah jika banyak kelompok yang akan mempertanyakan kerangka objektifitas dan intelektual mahasiswa yang seharusnya memang independent. 

 

IV. B. LEMBAGA FORMAL INTRA KAMPUS

Sejarah masih terus mengingatkan kita bahwa selama 30 tahun lebih ruang politik dan aktualisasi mahasiswa ditutup dengan sangat rapat oleh kekuatan rezim orde baru. Cetak biru sejarah nasional kita menorah tinta merah tentang kekuatan para mahasiswa angkatan ’66 yang berkolaborasi dengan para local army friend – nya Amerika, berhasil “menumbangkan” kekuatan rezim soekarno.  Cacat sejarah rezim orde baru kembali terulang, ketika pada tahun 70an kekuasaan memberlakukan NKK/BKK, masa – masa kegelapan pada organisasi kemahasiswaan dimulai, dan kekuatan mahasiswa dalam lembaganya mengalami disorientasi, batas kesadaran mahasiswa seperti sangat sempit, sampai akhirnya, format kelembagaan mahasiswa hanya menjadi sapi yang selalu menurut dan tunduk pada kekuasaan. Jangankan mencoba mendekonstuksi, berbeda pendapatpun adalah sesuatu yang tabu. Lembag formal pada akhirnya hanya menjadi tempat berkumpulnya para birokrat mahasiswa, bahkan mungkin biro jodoh ilegal. Hingga saat ini banyak kawan kawan percaya bahwa perubahan tidak akan pernah datang dari lembaga formal kampus, karena memang syarat dan kerangka organisasinya dihancurkan sedemikian rupa oleh rezim orde baru. Kritik yang paling tajam terhadap lembag formal kampus adalah ketika mekanisme formalnya menjadi sangat formalistik dan kaku hingga komponen didalamnya sangat asing dari basisnya.
             Format ideal organisasi pada hakekatnya harus dipenuhi beberapa syarat yang mutlak harus ada, terutama culture berorganisasi itu sendiri. Tapi jauh sebelum hal tersebut ada, filial awal yang harus ada yaitu :
v  sebuah kerangka filosofi dari komponen yang ada di dalamnya, artinya, bagaimana filosofi harus dapat menjadi kekuatan yang mendasar tentang cita – cita dan bangunan dari sebuah organisasi.
v  Pra syarat yang kedua adalah, kerangka idiologi dari organisasi itu sendiri, dimana idiologi organisasi adalah penerjemahan dari wacana filosofi yang ada pada komponen – komponen di dalamnya.
v  Yang ketiga garis politik dari organisasi, hal ini tidak serta merta menjustifikasi bahwa organisasi ini adalah sebuah partai politik, namun lebih merupakan suatu kerangka strategis sebagai arah dari organisasi tersebut.
v  Dan yang terakhir adalah mekanisme organisasi, dimana hal ini merupakan sebuah kerangka taktis yang lebih bersifat pragmatis, namun syarat mutlak dalam organisasi, mekanisme organisasi sesungguhnya merupkan representasi dari seluruh kerangka organisasi yang diatasnya.

Sesungguhnya kerangka ideal inilah yang sangat ditakuti oleh kekuatan rezim manapun, karena sangat potensial untuk dapat menjadi fungsi control yang tidak akan ada hentinya kepada kekuasaan. Dan rezim orde baru berhasil mematikannya, namun tidaklah mengherankan karena bangunan rezim itupun pada awalnya dikonstruksi oleh para pelacur intelektual yang membunuh idealisme meraka sendiri.

V. BENTUK ORGANISASI

            Turunan dari keempat syarat ideal dalam sebuah organisasi diatas pada akhirnya akan diturunkan dalam bentuk organisasi yang harus saling menjadi support system dari perlawanan tadi, pada prinsipnya tiga bentuk ideal yang harus selalu sinergis dalam kerja – kerjanya adalah :
1.      Organisasi legal (formal), kerangka formal yang ada didalamnya seharusnya dibentuk oleh organisasi yang juga menjadi supporting systemnya yaitu organisasi semi legal. Namun kerangka formal mutlak dibuat agar pilar tersebut dapat melakukan kerja – kerja populis yang strategis, dan mekanisme kerjanya kadang menjadi kaku, namun terkadang hal ini dibutuhkan agar organisasi ini dapat menjaga kamuflase suppoting system yang lainnya. Ciri khasnya adalah mekanisme kelembagaannya sangat struktural. 
2.      Organisasi semi legal, memerankan fungsi yang tidak dapat dikerjakan oleh kekuatan formal, artinya bagaimana kerja – kerjanya memiliki kecenderungan yang klendestein, dan agak tertutup kemudian bangunan organisasinya sangat sederhana, namun memiliki kepemimpinan yang tegas.
3.      Organisasi ilegal, dimana komponennya sudah harus memahami tugasnya masing – masing namun dapat terkoordinasi dengan baik, organisasi ini tidak mengenal struktur dan bentuk kelembagaan, namun tetap merupakan lingkar yang sinergis dari support system yang lainnya. Kecenderungan dari organisasi ini adalah sangat tertutup dan orde baru mmbahasakannya sebagai organisasi tanpa bentuk.

VI. PILAR  ORGANISASI MAHASISWA IDEAL

            Dalam format yang ideal, sebelum bentuk organisasi di hancurkan melalui NKK/BKK oleh rezim soeharto, bentuk – bentuk organisasi akan saling bersinerigi satu dengan yang lainnya. Dan format tersebut dibangun atas tiga pilar perlawanan yang mutlak harus ada, baru kemudian muncul pilar keempat sebagai suatu realitas dari kerangka kelembagaan mahasiswa yang memang disistematiskan oleh rezim, namun realitas kelembagaan tersebut selalu dupayakan untuk mampu melakukan posisioning yang jelas sebagai bagian dari coor group untuk juga berfungsi sebagai coor group dalam melakukan social control kepada kekuasaan,   yaitu :
1.      Kelompok study mahasiswa, dimana didalamnya dibangun kerangka filosofi dari komponen mahasiswa, dan harus menjadi pilar utama dari gerakan perlawanan mahasiswa itu sendiri, kelompok study harus dapat mendialektikakan berbagai realitas dimasyarakat kemudian membahasakanya dalam kerangka intelektual.
2.      Pilar yang kedua adalah, kekuatan pers mahasiswa yang harus dapat mengaktulisasikan kerangka berfikir yang didialektikakan dalam kelompok study mahasiswa, pers mahasiswa harus memihak pada kekuatan masyarakat dan kebebasan intelektual kampus, pers mahasiswa juga harus dapat menjadi kekuatan antitessa dari media main stream.
3.      Pilar kekuatan yang ketiga adalah komite aksi, dimana dialektika diturunkan dalam  dalam mekanisme praksis guna melakukan perang gerakan terhadap kekuasaan ataupun hegemoni lama yang tidak memihak.
4.      Pilar keempat sebenarnya merupakan sebuah realitas yang tidak mungkin dapat dinaifkan, yaitu kelembagaan formal mahasiswa, karena bagaimanapun juga pertarungan kekuatan politik terkecil adalah perebutan lembaga formal intra kampus, dimana ia adalah salah satu supporting system yang paling mampu melakukan bargaining kepada kekuatan formal lainnya yang ada di kekuasaan, baik otoritas kampus maupun kekuatan kekuasaan politik lainnya.    

            Keempat pilar ideal terbut pada perkembangannya, selalu dimandulkan oleh kekuasaan (Baca : Birokrat Kampus), hingga akhirnya kekuatan – kekuatan tersebut berjalan sendiri – sendiri dan tidak dapat bersinergi apalagi menjadi supporting system. Dalam hal ini akhirnya tawaran dan strategi yang ideal adalah bagaimana melakukan kerja – kerja yang klendestein namun terorganisir, dan tetap ada yang selalu diingat, bahwa kekuatan mahasiswa terletak pada kerangka intelektualnya, dimana objektifitas harus dijunjung tinggi, dan mahasiswa tetap tidak dapat disamakan dalam kerangka berfikir partai, karena subjektifitas atas kerangka idiologi dan garis politik akan sangat mengganggu wacana ideal dari cita – cita intelektualits mahasiswa. Harus diingat bahwa, jiwa jaman yang tumbuh akan selalu berbeda, maksudnya, proses dekonstruksi pada kerangka ideal akan selalu terjadi, dan kerangka moral dari gerakan mahasiswa akan selalu di pertanyakan, karena memang mahasiswa sebagai gerakan moral sangat berbeda dari moral gerakan itu sendiri. Pada akhirnya mau tidak mau harus benar – benar dipahami bahwa gerakan mahasiswa adalah bagian dari gerakan politik untuk suatu perubahan, meskipun kerangkanya sangat jauh dari kerangka kekuasaan, dan jika memang kesemua pilar ideal tersebut dapat dibangun maka tidak akan pernah ada kejenuhan terhadap gerakan mahasiswa, karena cowboy -  cowboy[5] muda ini akan selalu mengalami regenerasi. Dan tiap komponennya selalu punya spirit yang tidak akan pernah mati untuk menegakkan keadilan.