I. GENESIS
Mahasiswa,
bagaiamanapun juga adalah representasi kekuatan penyeimbang yang akan selalu
ada dalam dinamika perkembangan budaya sebuah masyarakat yang diaktualisasikan
dalam kerangka organisasi maupun kapasitas individunya. Kerangka organisasi
kemahasiswaan pada dasarnya merupakan sebuah bagian integral dari investasi
idiologi dan dinamika perkembangan hubungan antara masyarakat, dan kampus
sebagai sebuah miniatur kehidupan masyarakat yang terkecil, merupakan benteng
kebenaran terakhir yang sering kali diharapkan menjadi avant garde terhadap semua dinamika perubahan yang terjadi.
Kerangka objektifitas intelektual harus menjadi kerangka berfikir yang mutlak
ada, dan moralitas kebebasan menjadi inspirasi dari kelompok yang memang
memiliki tingkat kesadaran yang jauh lebih baik.
Maka ketika
realitas sosial diluar sudah berjalan keluar dari rel – nya, tanggung jawab
moral untuk mengembalikannya dalam jalurnya yang semula harus dilakukan oleh
kekuatan mahasiswa, baik dalam kerangka kelembagaan formal maupun yang lainnya.
Karena bagaimana – pun juga, kelompok kelas menengah yang ada pada batas
kesadaran terbaik ini, harus dapat mengggantikan fungsi sosial yang sebelumnya
tidak berjalan.
II. KAMPUS SEBAGAI BENTENG KEBENARAN
Dinamika perubahan
dan kekuatan intelektual suatu bangsa akan sangat dipengaruhi dengan tempat
dimana manusia dari suatu bangsa tersebut melakukan proses interaksi,
pembelajaran dan pembebasan berfikir untuk memajukan system budaya masyarakat
sambil berupaya menjawab pertanyaan –
pertanyaan terhadap persoalan yang ada dimasyarakat. Tempat dimana kerangka
rasionalitas dan obyektifitas berfikir menjadi basis dari setiap interaksi yang
terjadi di dalamnya.
Gambaran tentang tempat ini, seharusnya merupakan syarat
mutlak lembaga pendidikan tinggi (kampus) yang mau tidak mau adalah dapur dari
seluruh kerangka berfikir dan pembentukan carakter dari suatu bangsa.
Rasioalitas berfikir yang harus dikembangkan dan hidup dalam dinamika kampus
pada dasarnya adalah sebuah simbol kebenaran yang selalu menjadi contoh bagi
dinamika objektif yang muncul dimasyarakat. Sederhananya, proses evolusi dari suatu bangsa akan sangat
dipengaruhi oleh kwalitas generasi intelektualnya yang memang terlahir dari sebuah
ruangan tempat dimana segala aktivitas akan berkembang secara ideal, yaitu
kampus. Namun selama kurun waktu 32 tahun pemerintahan orde baru, kampus malah
menjadi mercusuar otoriterianisme rezim dan rumah jagal bagi wacana kebebasan
intelektual. Malah kekuatan yang ada didalamnya turut bertanggung jawab
terhadap proses rekayasa sosial dimasyarakat. Dan hanya sekedar mengingatkan
bahwa kita tidak pernah punya
Universitas tiran, namun kita selalu punya stock tirani yang cukup banyak.[1]
III. MAHASISWA
Gambaran umum tentang mahasiswa adalah suatu komunitas
majemuk yang cenderung dinamis, intelektual, idealis dan punya kecenderungan
komunal. Mahasiswa yang pada hakekatnya selalu berangkat dari kelompok kelas
menengah atau dengan kata lain terdapat dalam kelompok pragmatis (sebatas
pelaksana ide menjadi kenyataan) harus mempu berfungsi sebagai social
control pada kekuasaan yang berlangsung. Fungsi kontrol tersebut akan serta
merta berlaku apabila kekuasaan yang ada sudah dirasakan tidak aspiratif atas
kepentingan rakyat, dan ketika itu terjadi posisioning mahasiswa yang ideal
adalah sebagai sebuah elemen yang progresif (berfikir – ide – bertindak –
realisasi). Kerangka progresifitasnya harus selalu dalam kerangka memajukan
sistem budaya masyarakat dan berupaya memberikan jawaban – jawaban terhadap persoalan
yang ada dalam suatu masyarakat.
Kerangka berfikir
mahasiswa harus benar – benar terbebaskan dari ruang sempit pemikiran yang
menghambat dinamika masyarakat, oleh karenanya, walau – pun mahasiswa bukan
dewa yang mampu menjawab semua permasalahan, namun intelektualitasnya harus
benar – benar didasari atas sense of
critics yang independent, dan aktualisasinya tidak dapat dikekang oleh
kekuatan manapun kecuali norma dan nilai – nilai kebenaran.
Sejarah selalu
menyatakan bahwa kekuatan mahasiswa selalu dapat dijadikan filial awal dari
proses perubahan dinamika masyarakat dan realitas kebangsaan serta keorganisasian
masyarakat(baca negara), meski dalam awal perkembangannya, istilah mahasiswa
belum begitu populer dibandingkan istilah “Pemuda”,[2]
yang memang telah jauh lebih populer dalam masa pergerakan perjuangan
kemerdekaan.
IV. LEMBAGA KEMAHASISWAAN DALAM
DINAMIKA PERUBAHAN MASYARAKAT
Aktualisasi dari kerangka
berpikir mahasiswa sebagai bagian dalam dinamika perubahan masyarakat
direpresentasikan dalam kelembagaan mahasiswa sendiri, baik diluar kampus
maupun didalam. Sepanjang sejarahnya, kekuatan lembaga mahasiswa baik exstra
maupun intra kampus selalu dapat menjadi stimulus dari perubahan yang terjadi
dimasyarakat. Ketika pada awal pergerakan perlawan nasional, kekuatan mahasiswa
mempunyai afiliasi yang sangat kuat dengan gerakan kepemudaan kebangsaan
lainnya. Kerangka idiologi dan politik kelompok
atau lembaga kepemudaan mengalami sebuah proses dinamisasi yang sangat
luar biasa, bagaimana kemudian para
pemuda tersebut mampu menjawab pertanyaan tentang kerangka berbangsa yang pada
saat itu jauh dari bayangan banyak orang.
Realitas yang
muncul pasca perjuangan kemerdekaan,
justru mengalami stagnasi, atau boleh dapat dikatakan mundur, apa lagi ketika
kekuatan orde baru muncul sebagai kekuatan tunggal yang sangat sentralistik,
kekuatan mahasiswa mengalami disorientasi yang sangat jauh. Kerangka
berorganisasi dihancurkan dan mahasiswa dijauhkan dari realitas yang ada di
masyarakat. Sejarah juga mengatakan bahwa, angkatan 66 dulu bukanlah kekuatan
real ideal dari mahasiswa, karena bagaimanapun juga KAMI dan KAPI tidak pernah
lepas dari kekuatan militer (Angkatan Darat) yang menjadi supporting system.[3]
Bangunan rapuh yang ditinggalkan oleh para “alumnus” KAMI, pada akhirnya
diturunkan kepada lapisan dibawahnya, angkatan 74, yang juga dicatat dalam
sejarah tidak dapat melepaskan kebobrokan generasi sebelumnya, kalau mau jujur
hariman siregar yang juga kader SGU (Study Group UI), pada waktu itu tidak
dapat dilepaskan dari pertarungan politik praktis antara ASPRI keprsidenan
dengan KOPKAMTIB.[4] Akhirnya culture berorganisasi sering menjadi
sangat kaku dan jauh dari kerangka objektif sebuah organisasi yang ideal, apa
lagi ketika menteri pendidikan pada waktu itu (Daud jusoef) memberlalkukan
NKK/BKK sebagai sebuah model pengkebirian lembaga kemahsiswaan. Dan kondisi
tersebut masih sangat terasa hingga saat ini.
IV. A. LEMBAGA EXSTRA KAMPUS (sebuah kritik)
Sebagai sebuah media aktualisasi yang ada diluar kampus,
maka komponen exstra kampus mempunyai kecenderungan terhadap kebutuhan dan
tuntutan kekuatan yang memang mengafiliasikannya, keberadaan kawan – kawan
exstra kampus memiliki kerangka berfikir yang terkadang lebih fleksibel
dibandingkan kawan – kawan yang ada dalam kelembagaan formal intra kampus.
Karakter organisasinya tidak dapat dipukul rata, antara sesama organ – organ
exstra kamus lainnya, karena tiap – tiap organ exstra kampus memiliki kecenderungan untuk berbeda satu dengan yang
lainnya. Namun tetap objektifitasnya
harus selalu dipertanyaakan. Artinya tidak akan pernah ada jaminan bahwa
kerangka organisasi exstra kampus bebas dari nilai. Kondisi objektif yang
sering terlihat adalah bagaimana kekuatan mahasiswa exstra kampus akan selalu
menyesuaikan platform organisasinya
terhadap platform organisasi induk yang memang menjadi buffer diluar kampus. Dan yang akan
sangat memprihatinkan adalah, ketika kekuatan buffer tersebut adalah sebuah partai politik ataupun kekuatan massa
yang main stream, maka kekuataan
mahasiswa yang didalamnya (exstra kampus), mau tidak mau adalah sub ordinate
dari kekuatan partai politik tadi, karena pada akhirnya intervensi kekuasaan
terhadap dinamika kampus dan kerangka berfikirnya akan sangat mungkin terjadi.
Dan jika ini terjadi, sah jika banyak kelompok yang akan mempertanyakan
kerangka objektifitas dan intelektual mahasiswa yang seharusnya memang
independent.
IV. B. LEMBAGA FORMAL INTRA KAMPUS
Sejarah masih terus mengingatkan kita bahwa selama 30
tahun lebih ruang politik dan aktualisasi mahasiswa ditutup dengan sangat rapat
oleh kekuatan rezim orde baru. Cetak biru sejarah nasional kita menorah tinta
merah tentang kekuatan para mahasiswa angkatan ’66 yang berkolaborasi dengan
para local army friend – nya Amerika,
berhasil “menumbangkan” kekuatan rezim soekarno. Cacat sejarah rezim orde baru kembali
terulang, ketika pada tahun 70an kekuasaan memberlakukan NKK/BKK, masa – masa
kegelapan pada organisasi kemahasiswaan dimulai, dan kekuatan mahasiswa dalam
lembaganya mengalami disorientasi, batas kesadaran mahasiswa seperti sangat
sempit, sampai akhirnya, format kelembagaan mahasiswa hanya menjadi sapi yang
selalu menurut dan tunduk pada kekuasaan. Jangankan mencoba mendekonstuksi,
berbeda pendapatpun adalah sesuatu yang tabu. Lembag formal pada akhirnya hanya
menjadi tempat berkumpulnya para birokrat mahasiswa, bahkan mungkin biro jodoh
ilegal. Hingga saat ini banyak kawan kawan percaya bahwa perubahan tidak akan
pernah datang dari lembaga formal kampus, karena memang syarat dan kerangka
organisasinya dihancurkan sedemikian rupa oleh rezim orde baru. Kritik yang
paling tajam terhadap lembag formal kampus adalah ketika mekanisme formalnya
menjadi sangat formalistik dan kaku hingga komponen didalamnya sangat asing dari
basisnya.
Format ideal organisasi pada hakekatnya harus
dipenuhi beberapa syarat yang mutlak harus ada, terutama culture berorganisasi
itu sendiri. Tapi jauh sebelum hal tersebut ada, filial awal yang harus ada
yaitu :
v sebuah kerangka filosofi dari komponen yang ada di dalamnya,
artinya, bagaimana filosofi harus dapat menjadi kekuatan yang mendasar tentang
cita – cita dan bangunan dari sebuah organisasi.
v Pra syarat yang kedua adalah, kerangka idiologi dari organisasi itu
sendiri, dimana idiologi organisasi adalah penerjemahan dari wacana filosofi
yang ada pada komponen – komponen di dalamnya.
v Yang ketiga garis politik dari organisasi, hal ini tidak serta merta
menjustifikasi bahwa organisasi ini adalah sebuah partai politik, namun lebih
merupakan suatu kerangka strategis sebagai arah dari organisasi tersebut.
v Dan yang terakhir adalah mekanisme organisasi, dimana hal ini
merupakan sebuah kerangka taktis yang lebih bersifat pragmatis, namun syarat
mutlak dalam organisasi, mekanisme organisasi sesungguhnya merupkan
representasi dari seluruh kerangka organisasi yang diatasnya.
Sesungguhnya kerangka ideal inilah yang sangat ditakuti
oleh kekuatan rezim manapun, karena sangat potensial untuk dapat menjadi fungsi
control yang tidak akan ada hentinya kepada kekuasaan. Dan rezim orde baru
berhasil mematikannya, namun tidaklah mengherankan karena bangunan rezim itupun
pada awalnya dikonstruksi oleh para pelacur intelektual yang membunuh idealisme
meraka sendiri.
V. BENTUK ORGANISASI
Turunan
dari keempat syarat ideal dalam sebuah organisasi diatas pada akhirnya akan
diturunkan dalam bentuk organisasi yang harus saling menjadi support system dari perlawanan tadi,
pada prinsipnya tiga bentuk ideal yang harus selalu sinergis dalam kerja –
kerjanya adalah :
1.
Organisasi
legal (formal), kerangka formal yang ada didalamnya seharusnya dibentuk oleh
organisasi yang juga menjadi supporting
systemnya yaitu organisasi semi legal. Namun kerangka formal mutlak dibuat
agar pilar tersebut dapat melakukan kerja – kerja populis yang strategis, dan
mekanisme kerjanya kadang menjadi kaku, namun terkadang hal ini dibutuhkan agar
organisasi ini dapat menjaga kamuflase
suppoting system yang lainnya. Ciri khasnya adalah mekanisme kelembagaannya
sangat struktural.
2.
Organisasi
semi legal, memerankan fungsi yang tidak dapat dikerjakan oleh kekuatan formal,
artinya bagaimana kerja – kerjanya memiliki kecenderungan yang klendestein, dan agak tertutup kemudian
bangunan organisasinya sangat sederhana, namun memiliki kepemimpinan yang
tegas.
3.
Organisasi
ilegal, dimana komponennya sudah harus memahami tugasnya masing – masing namun
dapat terkoordinasi dengan baik, organisasi ini tidak mengenal struktur dan
bentuk kelembagaan, namun tetap merupakan lingkar yang sinergis dari support
system yang lainnya. Kecenderungan dari organisasi ini adalah sangat tertutup
dan orde baru mmbahasakannya sebagai organisasi tanpa bentuk.
VI. PILAR ORGANISASI MAHASISWA IDEAL
Dalam
format yang ideal, sebelum bentuk organisasi di hancurkan melalui NKK/BKK oleh
rezim soeharto, bentuk – bentuk organisasi akan saling bersinerigi satu dengan
yang lainnya. Dan format tersebut dibangun atas tiga pilar perlawanan yang
mutlak harus ada, baru kemudian muncul pilar keempat sebagai suatu realitas
dari kerangka kelembagaan mahasiswa yang memang disistematiskan oleh rezim,
namun realitas kelembagaan tersebut selalu dupayakan untuk mampu melakukan
posisioning yang jelas sebagai bagian dari coor group untuk juga berfungsi
sebagai coor group dalam melakukan social control kepada kekuasaan, yaitu :
1.
Kelompok study
mahasiswa,
dimana didalamnya dibangun kerangka filosofi dari komponen mahasiswa, dan harus
menjadi pilar utama dari gerakan perlawanan mahasiswa itu sendiri, kelompok
study harus dapat mendialektikakan berbagai realitas dimasyarakat kemudian
membahasakanya dalam kerangka intelektual.
2.
Pilar
yang kedua adalah, kekuatan pers
mahasiswa yang harus dapat mengaktulisasikan kerangka berfikir yang
didialektikakan dalam kelompok study mahasiswa, pers mahasiswa harus memihak
pada kekuatan masyarakat dan kebebasan intelektual kampus, pers mahasiswa juga
harus dapat menjadi kekuatan antitessa dari media main stream.
3.
Pilar
kekuatan yang ketiga adalah komite
aksi, dimana dialektika diturunkan dalam dalam mekanisme praksis guna melakukan perang
gerakan terhadap kekuasaan ataupun hegemoni lama yang tidak memihak.
4.
Pilar
keempat sebenarnya merupakan sebuah realitas yang tidak mungkin dapat
dinaifkan, yaitu kelembagaan formal
mahasiswa, karena bagaimanapun juga pertarungan kekuatan politik
terkecil adalah perebutan lembaga formal intra kampus, dimana ia adalah salah
satu supporting system yang paling mampu melakukan bargaining kepada kekuatan
formal lainnya yang ada di kekuasaan, baik otoritas kampus maupun kekuatan
kekuasaan politik lainnya.
Keempat pilar ideal
terbut pada perkembangannya, selalu dimandulkan oleh kekuasaan (Baca : Birokrat
Kampus), hingga akhirnya kekuatan – kekuatan tersebut berjalan sendiri –
sendiri dan tidak dapat bersinergi apalagi menjadi supporting system. Dalam hal ini akhirnya tawaran dan strategi yang
ideal adalah bagaimana melakukan kerja – kerja yang klendestein namun terorganisir, dan tetap ada yang selalu diingat,
bahwa kekuatan mahasiswa terletak pada kerangka intelektualnya, dimana
objektifitas harus dijunjung tinggi, dan mahasiswa tetap tidak dapat disamakan
dalam kerangka berfikir partai, karena subjektifitas atas kerangka idiologi dan
garis politik akan sangat mengganggu wacana ideal dari cita – cita
intelektualits mahasiswa. Harus diingat bahwa, jiwa jaman yang tumbuh akan
selalu berbeda, maksudnya, proses dekonstruksi pada kerangka ideal akan selalu
terjadi, dan kerangka moral dari gerakan mahasiswa akan selalu di pertanyakan,
karena memang mahasiswa sebagai gerakan moral sangat berbeda dari moral gerakan
itu sendiri. Pada akhirnya mau tidak mau harus benar – benar dipahami bahwa
gerakan mahasiswa adalah bagian dari gerakan politik untuk suatu perubahan,
meskipun kerangkanya sangat jauh dari kerangka kekuasaan, dan jika memang
kesemua pilar ideal tersebut dapat dibangun maka tidak akan pernah ada
kejenuhan terhadap gerakan mahasiswa, karena cowboy - cowboy[5]
muda ini akan selalu mengalami regenerasi. Dan tiap komponennya selalu punya
spirit yang tidak akan pernah mati untuk menegakkan keadilan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar