song

Senin, 22 Desember 2014

Bungkamnya Para Anak Muda di Kolong Rimba



“ Mari bersyukur kawan, sebab kita masih berada pada atmosfer dialektika yang membara, masih melihat bedah buku dipojok-pojok koridor kampus, masih menikmati diskusi ringan bersama hangatnya kopi hitam dikantin Mace-mace, masih mengangkat tangan kiri ketika melakukan parlemen jalanan, masih ditutupkan pintu ketika dipaksa untuk membaca oleh para senior”


Itulah tutur seorang kawan di sudut kolong rimba beberapa tahun silam persis di Bulan Desember ketika hujan lagi lucu-lucunya dan dingin yang menyengat lagi genit-genitnya. Hal menarik dari beberapa lontaran kalimat diatas ditujukkan kepada para anak muda yang tiap hari kakinya menapaki tempat itu (kolong perjuangan) namun jiwa dan raganya melayang entah kemana. Anak muda yang kumaksud adalah mereka yang mengatas namakan dirinya sebagai kaum intelektual, anak muda yang dilabeli identitas sebagai mahasiswa. Menarik ketika kita membahas tentang mahasiswa , kata “Maha” di dunia ini hanya ada beberapa. Diantaranya yaitu Maha Kuasa (Tuhan), Maha guru (Ahli) dan Mahasiswa (Pelajar Perguruan Tinggi). Memang tak dipungkiri bahwa peletakan kata “maha” adalah bentuk penghargaan tertinggi terhadap mahasiswa (meski masih belajar). Generasi muda adalah penentu perjalanan bangsa di masa berikutnya.
Mahasiswa sebagai inti dari generasi muda, mempunyai kelebihan dalam pemikiran ilmiah, selain semangat mudanya, sifat kritisnya, kematangan logikanya dan ‘kebersihan’-nya dari noda orde masanya. Mahasiswa adalah motor penggerak utama perubahan. Mahasiswa diakui perannya sebagai kekuatan pendobrak kebekuan dan kejumudan masyarakat.Ketika menjadi mahasiswa, besar beban yang ada dipundak kita. Kita bukan siswa lagi, ada kata Maha di depannya. Tentunya ada konsekuensi logis yang harus dilakukan, yakni bagaimana kita dapat berperan aktif dalam pengawasan kebijakan Negara. Dan posisi kita adalah bagaimana kita dapat memberikan sebuah pengharapan bagi perubahan kearah yang lebih baik. Mahasisiwa adalah kaum- kaum intelektual. Dengan intelektualitasnya, peran strategis mahasiswa akan sangat dibutuhkan bagi kemajuan bangsa. Adalah tanggungjawab sejarah generasi muda, khususnya mahasiswa, untuk terus berjuang memperbaiki nasib bangsanya. Sebagian besar rakyat kita adalah masyarakat yang belum bebas dari kebodohan dan kemiskinan, dipundak mahasiswa-lah mereka menaruh harapan akan masa depan anak-anaknya agar hidup lebih baik dimasa mendatang.
Melalui kemampuan intelektualitas, seyogyanya mahasiswa mampu menangkap perasaan rakyat akan pentingnya kesejahteraan dan demokrasi, yang adil dan merata, sebagai konsekuensi logis dari negara yang merdeka-berdaulat. Jika kita melirik kebelakang saat mengenyam pendidikan dibangku sekolah, tentu banyak hal yang kita lalui dengan begitu saja bagai sayur tanpa garam tanpa memperhatikan kondisi social yang ada. Kondisi yang seperti inilah yang menina bobokan kita pada gejolak social dan kebangsaan yang terjadi.Hal yang menarik adalah ketika kondisi dimana status kita berubah, yang tadinya adalah siswa lalu  berubah menjadi mahasiswa. Kini keadaan berubah, siswa yang dulunya lugu, acuh tak acuh, yang selalu melalui kehidupan nya dengan konsep ‘yang penting happy’ secara alamiah terus berkembang hingga melewati suatu keadaan yang disebut dinamika. Dinamika inilah yang kemudian mengantarkannya dari ‘siswa’ menuju ‘mahasiswa’.
Jelas antara siswa dan mahasiswa merupakan dua dunia yang berbeda, dunia siswa lebih banyak dipengaruhi oleh pengaruh mitos-mitos yang membawanya hidup dalam kesenangan sendiri. Ketika menjadi mahasiswa, kita dihadapkan pada beberapa konsep yang baru; mahasiswa itu agen of changeagen of social control,dan  iron stock. Empat konsep yang hanya terdapat dalam dunia pergerakan, namun hal ini terkadang justru menjadi momok menakutkan bagi setiap siswa yang baru saja mengalami transformasi ke mahasiswa, sehingga mereka memilih untuk tetap pada dirinya semula, berwujud mahasiswa tapi berjiwa siswa. Kampus seharusnya mampu menjadi panggung dialektika para mahasiswa bukan sebagai tempat untuk menenteng gadget baru, bukan sebagai tempat untuk menceritakan gosip-gosip murahan para artis ataupun bukan sebagai tempat untuk membuat janji ke mall dan bioskop mana yang akan dikunjungi, bukan sebagai panggung pertunjukan layaknya para model. Itulah realitas yang dapat kita lihat saat ini khususnya pada tempat yang biasa kusebut dengan kolong rimba (kolong perjuangan). Kampus adalah tempat memanusiakan manusia (humanisme) melalui pendidikan dan banyak  diantara kita lupa akan hal itu. Proses pendidikan yang sebenarnya adalah proses pembebasan dengan jalan memberikan kepada seseorang suatu kesadaran akan kemampuan kemandirian atau memberikan kekuasaan kepadanya untuk menjadi individu.


Kamis, 16 Oktober 2014

PEREMPUAN


Wanita adalah sebutan untuk perempuan yang sudah dewasa. Perempuan yang masih muda atau perawan bolehlah kita sebut gadis. Atau cewek saja. Lantas, perempuan?

Perempuan, hm, tidak ada kata yang sanggup menyederhanakan kerumitannya. Tidak ada syair yang mampu menguraikan kebersahajaannya. Fotografi yang katanya bersuara lebih dari seribu kata, ternyata hanya diam seribu bahasa membingkai perempuan dalam keabadian. Mari kita buka salah satu kamus produksi dalam negeri. Kamus membatasi perempuan sebagai [n] (1) orang (manusia) yg mempunyai puki, dapat menstruasi, hamil, melahirkan anak, dan menyusui.

Kamus itu lupa mengatakan bahwa perempuan dikodekan oleh adanya dua kromosom X pada setiap inti sel diploidnya. Artinya bahwa setiap sel otak, otot, jantung dan hampir semua sel lainnya akan ditandai dengan sandi XX. Perempuan adalah keperempuanan dalam jiwa dan raganya.

Laki-laki berkromosom XY. Kromosom x didapat dari ibunya, dan kromosom y pastilah dari ayahnya. (Bisa juga dari tetangganya atau supirnya sih). Yang perlu Anda ketahui kromosom X adalah pilot yang mengendalikan proses biokimia manusia untuk menjadi seorang perempuan. Kromosom y hanyalah kopilot bagi sel tersebut. Tepatnya kromosom y yang kerdil dan berisi lebih sedikit gen itu hanyalah pelengkap penderita dari pasangannya kromosom X yang gagah perkasa. Saya tergoda memaparkan lika-liku laki-laki lebih dalam, tapi karena saya laki-laki, saya mungkin akan bias. Untuk jurnal Kompasiana ini, terlalu egois kiranya membicarakan makhluk yang katanya berhidung belang, bermata keranjang dan berotak koboi kucai itu. (Sueeer saya tidak sejelek ituuuuu)

Tahukah Anda bahwa jenis kelamin default spesies manusia adalah perempuan? Semua manusia adalah perempuan pada tahap dini perkembangan janin. Nah pada perkembangan selanjutnya si kopilot kromosom y akan menutup pintu vaginanya supaya penisnya lebih berkembang. Kelak si penis akan bernostalgia ke masa lalunya dengan mencari vagina lain dalam kehidupan nyatanya. Selain itu kadang-kadang terjadi kegagalan sehingga kedua jenis kelamin tetap bertahan sampai lahir. Dalam keadaan seperti ini apakah si pemilik kedua kelamin bisa ‘melakukannya’ secara swalayan yaaaach? (Maaf, saya tidak bermaksud melecehkan penyakit ini, tapi saya bertanya-tanya apakah secara kejiwaan mereka menjadi hermafrodit juga?).

Uff, kembali kepada perempuan?

Bisakah perempuan hidup tanpa laki-laki? Maksudnya bisakah dibayangkan kehidupan di dunia ini tanpa laki-laki? Jangan tanyakan ini pada seorang cewek yang baru diputusin cowoknya. Karena jawabannya terdapat pada semua lagu-lagu cengeng yang syairnya kurang lebih berkata semacam ini ” I cant live if living is without you…

Lucu,bukan,bagaimana satu orang yg pergi bisa membuat seluruh dunia tampak begitu kosong?” (AFTER, Francis Chalifour)

Jadi tanyakan saja kepada ahli kloning. Ian Wilnut. Severino Antinori. Atau Pavos Zavos.(Glodak! Mereka semua laki-laki).

Sains sudah bisa membuktikan bahwa perempuan tidak perlu laki-laki untuk membuat keturunan. Perempuan mempunyai sel telur yang haploid dan sel tubuh yang genomnya diploid. Hebatnya lagi, perempuan mempunyai rahim! Ketiga hal itu adalah syarat mutlak dalam teknologi kloning yang telah melahirkan Eve, manusia pertama hasil kloning.

Kloning adalah teknologi penggandaan individu secara identik. Kasarnya teknologi ini membuat zygot yang bukan dari pembuahan sel sperma laki-laki dengan sel telur wanita. Hubungan seksual adalah salah satu cara untuk menyatukan 23 kromosom sel sperma laki-laki ke dalam 23 kromosom sel telur perempuan sehingga kromosomnya lengkap menjadi 46. Cara pembuahan lainnya adalah teknologi bayi tabung yang menyatukan kedua sel tersebut secara buatan dalam tabung reaksi. Untuk ide jenius ini, Robert Edwards, perintisnya sudah diganjar hadiah nobel kedokteran Tahun 2010. Kedua cara ini masih memerlukan sel sperma dari laki-laki.

Pada teknologi kloning, alih-alih menyatukan dua jenis sel yang masih ’separuh lengkap” alias haploid(n=23) kenapa tidak menggunakan sel yang sudah ‘lengkap ‘ alias diploid (n=46) saja? Ambil sel telur perempuan, buang intinya yang haploid itu, lalu injeksikan inti sel dewasa yang kromosomnya sudah 46. Beri perlakuan khusus, maka jadilah zygot. Zygot kemudian melakukan tugasnya secara alami. Sesuai kodratnya, embrio itu akan membelah diri dan berdiferensiasi menjadi bermacam-macam sel yang dibutuhkan untuk membangun seorang perempuan. Itulah kloning. Jelas-jelas tidak perlu seorang laki-laki dalam proses ini kan?

Menurut statistik 2010, dalam penduduk Indonesia terdapat 101 perempuan untuk 100 laki-laki. Jumlah perempuan masih dominan. Tapi kenapa pemerintahan dan penguasa kita didominasi laki-laki? Kenapa marga harus diturunkan dari laki-laki? Kenapa kebudayaan kita dipengaruhi kelaki-lakian?

Tanpa laki-laki, perempuan bisa hidup kok. Sebaliknya, tanpa perempuan apakah kita bisa hidup?

Perhatikan fakta ini. Kehidupan digerakkan oleh sejumlah besar mesin-mesin renik di segenap sel tubuh kita yaitu mitokondria. Mitokondria memasok 90 persen energi kita dari proses redoks yang melibatkan perpindahan elektron dari oksigen. Tidak seorang manusia pun bisa hidup tanpa mitokondria. Tapi tahukah Anda bahwa gen-gen yang membentuk mitokondria dalam setiap sel tubuh, kita warisi dari perempuan yang kita kita kenal sebagai ibu kita? Laki-laki tidak pernah menurunkan mitokondria kepada keturunannya. Karena mitokondria pasti diturunkan dari pihak ibu, maka silsilah dunia harusnya ditelusuri dari garis perempuan. Bukan laki-laki. Dan sains memang punya cabang ilmu khusus yaitu genealogi yang telah berhasil melacak evolusi manusia sampai kepada mitokondria Hawa di masa silam Afrika.

Hai, perempuan, banggalah kamu dilahirkan sebagai perempuan

 

Sabtu, 11 Januari 2014

Penciptaan




Dengan NamaNya dan KehadiranNya di segala ahwal, sungguh keberadaan sesuatu mungkin di dalam dirinya mungkin tidak di dalam dirinya. Contoh keberadaan sesuatu yang di dalam dirinya adalah KeberadaanNya. Sedangkan keberadaan segala substansi dan aksiden ditinjau dari bahwa keberadaan tersebut adalah sejenis relasi antara hal-hal yang mungkin adalah keberadaan yang tidak di dalam dirinya sendiri, mereka semua hanyalah citra dan bebayangan; dengan dirinya sendiri mereka semua bukanlah sesuatu dan bukanlah kenyataan.


Sedang dalam sekalian alam, yang tak lain adalah ManifestasiNya, terdapat tiga hal primer yang "menyusun" realitas, yakni, keberadaan (eksistensi), quiditas (esensi), kemenjadian (yang merepresentasikan "gerak" atau "perubahan"). Maka apakah yang diciptakan atau dibuat-Nya? Apakah Ia membuat ketiga-tiganya ataukah Ia hanya membuat beberapa di antara ketiganya?


Maka, sungguh secara hakiki Ia membuat eksistensi (kopulatif) segala, dan tak membuat quiditas maupun kemenjadian. Quiditas maupun kemenjadian hanyalah efek aksidental pancaran (pembuatan) eksistensiNya. Allah adalah Cahaya Langit dan Bumi. Sungguh quiditas hanyalah ada dalam fikiran, karena dalam realitas suatu efek atau akibat tak pernah bisa dipisahkan dengan sebabnya, sedang quiditas suatu hal sebagai sebab dapat dipisahkan dengan quiditas hal yang menjadi akibatnya. Kemenjadian, yakni perubahan dari satu quiditas menjadi quiditas lain pun, hanya ada dalam fikiran.


Maha Suci Dia, Yang Melimpahkan DiriNya, yakni WujudNya, pada sekalian alam dan sungguh sekalian alam tak lain adalah "bayangan"Nya. Maha Suci Dia, Yang Membuat segalanya adalah keberadaan, dan sungguh semua keberadaaan bukanlah selain diriNya tapi bukan pula diriNya. Maha Suci Dia, Yang Membuat segala keberadaan "kopulatif" (al-wujud ar-robith) dan hanya Dia-lah Keberadaan Murni tanpa kebutuhan, tanpa relasi dengan apa pun, tanpa keterbatasan, Sempurna Mutlak dalam Ketunggalannya.


Maha Suci Dia, yang membuat segala kejamakan tak terlepas dari KetunggalanNya, bahkan adalah Manifestasi KetunggalanNya, bisu-lah, terkuncilah mulut-mulut, lidah-lidah dan pena-pena yang hendak mengungkapkanNya, sungguh Dia menyaksikan bahwa Tiada Tuhan selain Dia, yang tak pernah menyentuhnya fikiran para pemikir dan renungan para perenung. Anugerahilah, Duhai Dia, Mata KetunggalanMu yang tak lain adalah DiriMu, yang dengannya kutatapi Keagungan Samudera KeberadaanMu. Amin.


Dan Dia Lebih Mengetahui





Dengan NamaNya dan KehadiranNya di segala ahwal, sungguh keberadaan sesuatu mungkin di dalam dirinya mungkin tidak di dalam dirinya. Contoh keberadaan sesuatu yang di dalam dirinya adalah KeberadaanNya. Sedangkan keberadaan segala substansi dan aksiden ditinjau dari bahwa keberadaan tersebut adalah sejenis relasi antara hal-hal yang mungkin adalah keberadaan yang tidak di dalam dirinya sendiri, mereka semua hanyalah citra dan bebayangan; dengan dirinya sendiri mereka semua bukanlah sesuatu dan bukanlah kenyataan.


Sedang dalam sekalian alam, yang tak lain adalah ManifestasiNya, terdapat tiga hal primer yang "menyusun" realitas, yakni, keberadaan (eksistensi), quiditas (esensi), kemenjadian (yang merepresentasikan "gerak" atau "perubahan"). Maka apakah yang diciptakan atau dibuat-Nya? Apakah Ia membuat ketiga-tiganya ataukah Ia hanya membuat beberapa di antara ketiganya?


Maka, sungguh secara hakiki Ia membuat eksistensi (kopulatif) segala, dan tak membuat quiditas maupun kemenjadian. Quiditas maupun kemenjadian hanyalah efek aksidental pancaran (pembuatan) eksistensiNya. Allah adalah Cahaya Langit dan Bumi. Sungguh quiditas hanyalah ada dalam fikiran, karena dalam realitas suatu efek atau akibat tak pernah bisa dipisahkan dengan sebabnya, sedang quiditas suatu hal sebagai sebab dapat dipisahkan dengan quiditas hal yang menjadi akibatnya. Kemenjadian, yakni perubahan dari satu quiditas menjadi quiditas lain pun, hanya ada dalam fikiran.


Maha Suci Dia, Yang Melimpahkan DiriNya, yakni WujudNya, pada sekalian alam dan sungguh sekalian alam tak lain adalah "bayangan"Nya. Maha Suci Dia, Yang Membuat segalanya adalah keberadaan, dan sungguh semua keberadaaan bukanlah selain diriNya tapi bukan pula diriNya. Maha Suci Dia, Yang Membuat segala keberadaan "kopulatif" (al-wujud ar-robith) dan hanya Dia-lah Keberadaan Murni tanpa kebutuhan, tanpa relasi dengan apa pun, tanpa keterbatasan, Sempurna Mutlak dalam Ketunggalannya.


Maha Suci Dia, yang membuat segala kejamakan tak terlepas dari KetunggalanNya, bahkan adalah Manifestasi KetunggalanNya, bisu-lah, terkuncilah mulut-mulut, lidah-lidah dan pena-pena yang hendak mengungkapkanNya, sungguh Dia menyaksikan bahwa Tiada Tuhan selain Dia, yang tak pernah menyentuhnya fikiran para pemikir dan renungan para perenung. Anugerahilah, Duhai Dia, Mata KetunggalanMu yang tak lain adalah DiriMu, yang dengannya kutatapi Keagungan Samudera KeberadaanMu. Amin.
  
Dan Dia Lebih Mengetahui



IDEOLOGI SOSIALISME DAN KITA




I. Ideologi Sosialisme
     Apakah ideologi sosialisme itu? Ideologi sendiri berasal dari bahasa Yunani yakni idea (gagasan) dan logos (studi tentang, ilmu pengetahuan tentang). Idelogi artinya sistem gagasan yang mempelajari keyakinan-keyakinan dan hal-hal ideal filosofis, ekonomis, politis dan sosial. Istilah “ideologi” dipergunakan oleh Marx dan Engels mengacu kepada seperangkat keyakinan yang disajikan sebagai obyek. Obyek tersebut tidak lain adalah pencerminan kondisi-kondisi material masyarakat.
     Sosialisme sebagai ideologi, telah lama berkembang sejak ratusan tahun yang lalu.  Sosialisme sendiri berasal dari bahasa Latin yakni socius (teman). Jadi sosialisme merujuk kepada pengaturan atas dasar prinsip pengendalian modal, produksi dan kekayaan oleh kelompok.
     Istilah sosialisme pertama kali dipakai di Prancis pada tahun 1831 dalam sebuah artikel tanpa judul oleh Alexander Vinet. Pada masa ini istilah sosialisme digunakan untuk pembedaan dengan indvidualisme, terutama oleh pengikut-pengikut Saint-Simon, bapak pendiri sosialisme Prancis. Saint-Simon lah yang menganjurkan pembaruan pemerintahan yang bermaksud mengembalikan harmoni pada masyarakat.
     Pada akhir abad ke-19, Karl Marx dan Friedrich Engels mencetuskan apa yang disebut sebagai sosialisme ilmiah. Ini untuk membedakan diri dengan sosialisme yang berkembang sebelumnya. Marx dan Engels menyebut sosialisme tersebut dengan sosialisme utopia, artinya sosialisme yang hanya didasari impian belaka tanpa kerangka rasional untuk menjalankan dan mencapai apa yang disebut sosialisme. Oleh karena itu Marx dan Engels mengembangkan beberapa tesis untuk membedakan antara sosialisme dan komunisme. Menurut mereka, sosialisme adalah tahap yang harus dilalui masyarakat untuk mencapai komunisme. Dengan demikian komunisme atau masyarakat tanpa kelas adalah tujuan akhir sejarah. Konsekwensinya, tahap sosialisme adalah tahap kediktatoran rakyat untuk mencapai komunisme, seperti halnya pendapat Lenin yang mengatakan bahwa Uni Sovyet berada dalam tahap sosialisme.
     Dalam perkembangannya hingga pertengahan abad ke-20, sosialisme memiliki beberapa cabang gagasan. Secara kasar pembagian tersebut terdiri dari pertama adalah Sosialisme Demokrasi, kedua adalah Marxisme Leninisme, Ketiga adalah anarkisme dan sindikalisme [lihat tabel]. Harus diakui bahwa pembagian ini sangatlah sederhana mengingat begitu banyak varian sosialisme yang tumbuh dan berkembang hingga saat ini. Sebagai contoh Marxisme yang di satu sisi dalam penafsiran Lenin menjadi Komunisme dan berkembang menjadi Stalinisme dan Maoisme. Disisi lain Marxisme berkembang menjadi gerakan Kiri Baru dalam pemahaman para pemikir seperti Herbert Marcuse di era 1970an. Sama halnya dengan anarkisme yang  terpecah menjadi beberapa aliran besar seperti anarkisme mutualis dengan bapak pendirinya yakni  P J Proudhon dan anarkis kolektivis seperti Mikhail Bakunin. Anarkisme juga memberi angin bagi tumbuhnya gerakan gerakan sindikalis yang menguasai banyak pabrik di Barcelona semasa Perang Saudara Spanyol 1936-1939.
     Hingga saat ini, partai-partai Sosial Demokrat masih tetap berdiri seperti halnya di Eropa seperti Jerman, Belanda, Norwegia dan Prancis. Beberapa yang menganut sosialisme juga seperti halnya partai-partai buruh seperti di Inggris dan Itali. Partai-partai Komunis banyak yang membubarkan diri atau bertahan dengan berganti nama dan mencoba untuk tetap hidup dengan ikut pemilu di negara-negara Eropa Timur setelah runtuhnya Uni Sovyet. Beberapa diantaranya bahkan bisa berkuasa kembali seperti di Polandia dan Ceko dengan jalan yang demokratis.
     Uraian diatas menimbulkan banyak pertanyaan diantara kita, apakah Marxisme sebagai dasar sosialisme yang mengklaim dirinya ilmiah masih layak dipakai? Bagaimanakah masa depan sosialisme nantinya? Bagaimanakah peran ideologi dalam sebuah perjalanan bangsa?

II. Kegagalan Marxisme

            Banyak diantara para pemikir sosialis maupun praktisi gerakan gerakan sosialisme masih mengandalkan Marxisme sebagai dasar pemikiran maupun gerakannya. Ada yang menggunakan Marxisme secara kritis akan tetapi ada juga yang secara dogmatis memujanya habis habisan hingga saat ini. Kecenderungan kecenderungan demikian terjadi tidak hanya di negara-negara Eropa akan tetapi juga di negara-negara dunia ketiga sepertihalnya Indonesia. Di Eropa, Marxisme digunakan sebagai alat analisa pemikiran, artinya peran Marxisme lebih berlaku pada perdebatan-perdebatan intelektual filsafat dalam melahirkan berbagai varian varian baru. Sementara di negara-negara dunia ketiga dimana tingkat kegiatan praksis sosialisme lebih berjalan, Marxisme masih menjadi ideologi dasar dan terutama bagi mereka yang baru saja lepas dari kungkungan rezim otoriter militeristik dimana Marxisme masih memukau seperti ‘menemukan air ditengah dahaga ideologi’ dengan teori-teori pembebasannya.
            Harus diakui bahwa hampir satu abad Marxisme memberi kontribusi baik maupun buruk yang tak terhingga kepada dunia. Marxisme memberi peringatan kepada kita tentang bahaya kapitalisme industri dan menyadarkan kita tentang pentingnya kebersamaan manusia secara kolektif.
            Meski demikian, Marxisme gagal untuk membuktikan teori-teorinya dan gagal pula didalam tingkatan yang lebih kongkret. Bubarnya Uni Sovyet, yang dikatakan masih berada dalam fase sosialis menuju masyarakat komunis adalah kegagalan Marxisme pada tingkatan tersebut. Maka dapat dikatakan bahwa Marxisme gagal baik secara teori maupun prakteknya.
            Kegagalan teoritis Marxisme yang pertama adalah tentang teori nilai lebih. Marx menafisrkan kapitalisme dengan teori lebih kerja sebagai suatu sistem eksploitasi kelas buruh oleh kaum kapitalis. Kaum kapitalis menyimpan bagi dirinya sendiri nilai lebih itu yang dihasilkan oleh kaum pekerja. Akumulasi dan konsentrasi kekayaan dalam tangan kelompok kapitalis yang jumlahnya semakin kecil, bersama dengan hukum kemunduran tingkat keuntungan, menuju kepada kehancuran diri sistem eksploitasi tersebut. Pada akhirnya menurut Marx, akan terjadi pengambil alihan oleh kelas buruh. Artinya kelas buruh (proletariat) memegang kendali sarana produksi dan untuk membangun kediktaturan proletariat sebagai tahap awal transisi menuju masyarakat tanpa kelas. Hal ini gagal karena kapitalisme tidaklah menyusut hingga masa sekarang. Kapitalisme sendiri bisa menyesuaikan perkembangan dengan memberi tuntutan tuntutan buruhnya di bawah standar. Hal ini terlihat seperti di Indonesia, kaum pekerja terjebak dan larut dalam tuntutan tuntutan upah minimum yang memang di rekayasa olah para kapitalis. Kaum buruh pun tidak pernah terjadi untuk mengambil alih kepemilikan kaum kapitalis secara ekonomis mengingat faktor faktor sekunder seperti politik memang tidak pernah diperhitungkan secara jelas dalam Marxisme.
            Kegagalan Marxisme yang kedua adalah klaim tentang sosialisme ilmiah itu sendiri. Marx memang menolak sosialisme bentuk lama yang dikatakan utopis dan mencoba memberi kerangka rasional dalam gagasannya. Akan tetapi Marxisme juga tenggelam dalam mimpi utopiannya sendiri tentang masyarakat tanpa kelas. Mengapa? Sebab penentuan cita-cita akhir, bagaimanapun hakekatnya bertentangan langsung dengan prinsip dialektis yang didengungkan oleh Marx sendiri.
            Kegagalan Marxisme yang ketiga adalah pemahaman yang dilanjutkan oleh Lenin dan Stalin telah berubah menjadi suatu kolektivisme sempit. Produksi barang material tidak lagi diarahkan kepada peningkatan keberadaan personal, melainkan kepada pertumbuhan kekuasaan kolektif tersebut.
            Bukti paling kongkret dari kegagalan kegagalan diatas adalah bubarnya negara Uni Sovyet yang selama 70 tahun lebih memakan korban jutaan warganya. Prinsip sosialisme sebagai kebersamaan sangatlah penting, meski demikian kita juga tidak bisa mengingkari hak hak azasi yang paling pribadi sebagai manusia dalam kerangka nilai etis.  Fase kediktaturan proletarian yang sama otoriternya dengan fasisme jelas tidak bisa diterima bahkan oleh warganya sekalipun.
III. Kritik Anarkisme

     Anarkisme sendiri sering disalahartikan sebagai kekacauan (chaos) yang berdampak penghancuran kepada masyarakat. Hal ini dimaklumi bahwa orang jarang mengenal gagasan-gagasan anarkisme yang dibawa oleh Pierre Joseph Proudhon, Mikhail Bakunin, Piotr Kropotkin dan lainnya. Ini disebabkan anarkisme memang bukan ideologi terstruktur seperti halnya sosialisme atau komunisme. Pada awal abad ke-19 anarkisme tumbuh dan menjadi lawan bagi Marxisme, karena klaim anarkisme yang libertarian berhadapan dengan Marxisme yang otoriterian. Baik anarkisme maupun Marxisme pada masa itu sepakat bahwa sebuah revolusi dibutuhkan untuk menumbangkan pemerintah borjuis. Akan tetapi para pengikut Marx menginginkan Negara digunakan sebagai sarana kediktaturan proletariat dan baru akan dibubarkan bila fase komunisme yakni masyarakat tanpa kelas sudah terwujud. Kaum anarkis justru menginginkan Negara harus dibubarkan sedari awal. Mereka berkeyakinan bahwa pengambil alihan kekuasaan dengan membiarkan Negara berdiri hanya akan melestarikan dan membuat kekuasaan yang jauh lebih sulit untuk ditumbangkan.
     Pada tulisan ini, hanya akan dibahas kritik anarkisme terhadap demokrasi, khususnya seperti yang diungkapkan oleh George Woodcock dan Noam Chomsky pada dekade akhir abad 20. Menurut kaum anarkis, demokrasi adalah hal yang terbaik diantara semua yang terburuk. Demokrasi, kalau pun mau digunakan, haruslah dalam bentuk langsung dan partisipatoris. Artinya, demokrasi yang benar benar melibatkan seluruh peran warga masyarakat dalam menjalan fungsinya.
     Ada beberapa kritik anarkisme terhadap demokrasi. Pertama, pemilu sebagai sarana demokrasi dianggap melenyapkan hak hak individu. Sebagai contoh, orang akan memilih wakil wakilnya yang tidak dikenal dan belum tentu menjalankan aspirasi si pemilih. Hal ini akan terus berulang dalam setiap pemilu berikutnya dan menjadi suatu kebiasaan yang buruk bagi kesadaran setiap orang. Oleh karena itu kaum anarkis menolak bentuk perwakilan (representation) dan menyukai bentuk pendelegasian bagi setiap keputusan atau kepentingan karena dirasa lebih menyeluruh.
     Kritik kedua, demokrasi mengandung ancaman berupa kediktaturan mayoritas. Bagi kaum anarkis tidak ada jaminan bagi para pemeluk demokrasi terhadap golongan minoritas atau kelompok kecil. Hal ini seringkaliterjadi berupa pengabaian hak hak minoritas suara baik dalam bentuk populasi suku, agama, ras, maupun kebudayaan.
     Kritik ketiga, demokrasi mengandung bahaya kongkret yakni diterimanya kembali kelompok-kelompok otoriterian seperti partai komunis untuk mendapat peluang menang secara demokratis dalam pemilu. Hal ini terbukti dalam pemilu di Polandia dan Ceko dimana partai komunis kembali memerintah dengan suara mayoritas. Jika demikian, ancaman yang akan terjadi adalah penumbangan demokrasi itu sendiri oleh kelompok-kelompok otoriterian.

IV. Masa Depan Indonesia

     Dari tulisan diatas jelaslah sangat penting sebuah ideologi untuk bisa dipahami dengan kesadaran rasional dan dimiliki sebagai sebuah pijakan langkah kedepan bagi perkembangan sebuah masyarakat. Ideologi tidak bisa dipahami secara buta dan dogmatis, karena  masyarakat terus berubah dan berkembang sesuai dengan situasinya baik secara subyektif maupun obyektif. Secara subyektif, kesadaran masyarakat memang harus dibangun. Problem di Indonesia untuk hal ini adalah pemahaman ideologi bukanlah di pelajari secara rasional, melainkan sekedar penerimaan warisan tradisi akan pergerakan politik yang mengatasnamakan ideologi. Orang lebih cenderung mengidentifikasi atau menolak dirinya sebagai sebuah penganut ideologi tertentu bukan karena ia belajar memahami nilai ideologi tersebutsecara rasional, melainkan karena faktor sejarah dan kepentingan yang lebih dominan terhadap dirinya. Demikian pula secara obyektif, problem yang ada dimasyarakat seperti saat ini tentunya juga butuh sebuah keyakinan yang kuat terhadap cita cita perubahan. Ideologi sebagai sebuah cita cita haruslah bisa diandalkan dan dipercaya untuk bisa memberi jalan terhapa permasalahan tersebut.
     Maka meski dengan usia baru 100 tahun sejak para founding fathers seperti Soekarno, Hatta, Sjahrir dan lainnya, Republik Indonesia boleh dibilang sangatlah miskin akan pemahaman ideologi yang berkelanjutan. Orang lebih senang melihat figur tertentu untuk tampil ke panggung politik bila dibandingkan tahu secara jelas pemikiran pemikiran macam apa yang dihasilkan oleh figur tersebut. Inilah yang disebut favoritisme, seperti halnya yang terjadi di Amerika Latin pada abad ke 19 dimana banyak junta militer jatuh bangun berkuasa silih berganti.
     Sosialisme sebagai ideologi yang telah menjadi pilihan kita, tentunya juga harus dipahami dan dijalankan dalam konteks nalar yang rasional. Artinya, mengetahui dan meyakini sosialisme bukanlah sekedar memahami sejarah, mendogmakan pemikiran lampau dan enggan lepas dari pewarisan tradisi yang sudah ada. Sosialisme harus mampu menjawab berbagai tantangan perkembangan masyarakat dan zaman yang kini sedang terjadi. Seperti halnya problem lingkungan hidup, kemanusiaan, gender dan nilai etis moral lainnya yang pada dekade lalu belum dianggap sebagai suatu hal yang sangat penting. Oleh karena itu Sosialisme yang harus diperjuangkan adalah sosialisme yang benar-benar mengakui nilai nilai kemanusiaan, sosialisme yang benar-benar kerakyatan dalam arti mampu secara maksimal memberi rasa keadilan terhadap masyarakat dan sosialisme yang secara sungguh-sungguh tumbuh karena gagasan-gagasan mulia, bukan sekedar jargon masa lalu.
     Sumbangan sosialisme tradisional seperti Marxisme dan kritik anarkisme terhadap demokrasi tentunya juga merupakan hal yang patut untuk diperhatikan. Demokrasi telah menjadi pilihan kita dan kita secara sadar paham segala kemungkinan penyimpangan-penyimpangannya.  Penyalahgunaan kekuasaan, pengatasnamaan hukum, konflik kepentingan mayoritas–minoritas, adalah hal-hal yang telah tampak di depan mata. Indonesia memang sedang dalam masa transisi. Hal inilah yang harus benar benar dijaga dan diperhatikan agar perubahan yang sekarang terjadi tidak akan salah arah dalam proses berdemokrasi sebagai pelajaran pertama menuju masyarakat yang adil dan makmur. 

Paradigma Pendidikan dan Implikasinya Terhadap Metode dan Praktek Pendidikan


Proses pendidikan baik formal maupun non formal pada dasrnya memiliki peran penting melegitimasi bahkan melanggengkan sistem dan struktur social yang ada, juga sebaliknya merupakan proses perubahan social yang lebih adil. Peran pendidikan terhadap sistem dan struktur social tersebut sangat bergantung pada paradigma pendidikan yang mendasarinya. Untuk memahami kedua paradigma tersebut, perlu dipahami terlebih dahulu ideology social dan implikasinya terhadap berbagai teori pendidikan yang dianut masing-masing. Berikut ini dibahas berbagai paradigma, ideology, teori dan implikasinya terhadapa pilihan teknik proses belajar mengajar dalam pendidikan. Untuk itu pembahasan paradigma ini akan difokuskan ke dalam tiga aspek, yakni:
  • Paradigma teori pendidikan
  • Implikasi paradigma pendidikan terhadap metodologi pendidikan
  • Implikasinya terhadap model pendekatan dan teknik pendidikan.
Perlu dibahas terlebih dahulu berbagai aliran pendekatan pendidikan. Pemetaan aliran pendidikan yang dipergunakan disini adalah mengikuti Giroux and Aronowitz (1985) yang mengkategorikan pendekatan pendidikan menjadi tiga aliran, yakni pendekatan konservatif, liberal dan kritis serta mengupas bagaimana masing-masing paradigma pendidikan tersebut berimplikasi terhadap sub sistem pendidikan lainnya.

PARADIGMA/
METODE

KONSERVATIF
LIBERAL
RADIKAL
IMPLIKASI
KESADARAN
PEDAGOGI

1
2
3
MAGIS
ANDRAGOGI

4
5
6
NAIF
DIALOGIS

7
8
9
KRITIS


Paradigma Konservatif

Bagi kaum konservatif, ketidaksederajatan masyarakat merupakan suatu hokum keharusan alami, suatu hal yang mustahil bisa dihindari serta sudah merupakan ketentuan sejarah atau bahakan takdir tuhan. Perubahan social bagi mereka bukanlah suatub yang harus diperjuangkan, karena perubahan hanya akan membuat manusia lebih sengsara saja. Dalam bentuknya yang klasik atau awal paradigma konservatif dibangun berdasrkan keyakinan bahwa masyarakat pada dsarnya tidak bisa merencanakan perubahan arau mempengaruhi perubahan social, hanya Tuhanlah yang merencanakan keadaan masyarakat dan hanya dialah yang tahu makna dibalikitu semua. Dengan pandangan seperti itu, kaum konservatif lama tidak menganggap rakyat memiliki kekuatan atau kekuasaan untuk merubah kondisi mereka.
      Namun dalam perjalanan selanjutnya, paradigma konservatif cenderung lebih menyalahkan subjeknya. Bagi kaum konservatif, mereka yang menderita, yakni orang-orang miskin, buta huruf, kaum tertindas dan mereka yang dipenjara, menjadi demikian karena salah mereka sendiri. Karena toh banyak orang lain yang ternyata bisa bekerja keras dan berhasil meraih sesuatu. Bnayak orang ke sekolah dan belajar untuk berperilaku baik, dan oleh karenanya tidak dipenjara. Kaum miskin haruslah sabar dan belajar untuk menunggu samapai giliran mereka dating, karena pada akhirnya kelak semua orang akan mencapai kebebasan dan kebahagiaan. Kaum konservatif sangat melihat pentingnya harmoni dalam masyarakat dan menghindarkan konflik dan kontradiksi.


Paradigma Liberal

Golongan kedua yakni kaum Liberal, berangkat dari keyakinan bahwa memang ada masalah di masyarakat tetapi bagi mereka pendidikan tak ada kaitannya dengan persoalan politik dan ekonomi masyarakat. Dengan keyakinan seperti itu tugas pendidikan juga tidak ada sangkut pautnya dengan persolan politik dan ekonomi. Sungguhpun demikian, kaum Liberal selalu berusaha menyesuaikan pendidikan dengan keadaan ekonomi dan politik di uar pendidikan, dengan jalan memecahkan berbagai masalah yang ada dalam pendidikan dengan usaha reformasi “kosmetik”. Umumnya yang dilakukan adalah seperti: perlunya membangun fasilitas dan kelas baru, memodernkan peralatan sekolah dengan pengadaan computer yang lebih canggih dan laboratorium, serta berbagai uasaha untuk menyehatkan rasio guru-murid. Selain itu juga berbagai investasi untuk meningkatkan metodologi pengajaran dan pelatihan yang lebih efisien dan partisipatif, seperti kelompok dinamik (group dynamics) ‘learning by doing’, experimental learning’, ataupun bahkan Cara Belajar Siswa Aktif (CBSA) dan sebagainya. Usaha peningkatan tersebut terisolasi dengan sistem dan struktur ketidakadilan kelas dan gender, dominasi budaya dan represi politik yang ada dalam masyarakat.
      Kaum konservatif dan Liberal sama-sama berpendirian bahwa pendidikan adalah a-politik, dan “excellence” haruslah merupakan target utama pendidikan. Kaum Liberal beranggapan bahwa masalah masyarakat dan pendidikan adalah dua masalah yang berbeda. Mereka tidak melihat kaitan pendidikan dalam struktur kelas dan dominasi politik dan budaya serta diskriminasi gender di masyarakat luas. Bahkan pendidikan menurut salah satu aliran Liberalyakni structural functionalisme justru dimaksud sebagai sarana untuk menstabilkan norma dan nilai masyarakat. Pendidikan justru dimaksudkan sebagai media untuk mensisialisasikan dan mereproduksi nilai-nilai tata susila keyak8inan dan nilai-nilai dasar agar masyarakat luas berfungsi secara baik.
      Pendekatan Liberal inilah yang mendominasi segenap pemikiran tentang pendidikan baik pendidikan formal seperti sekolah, maupun pendidikan non formal seperti berbagai macam pelatihan. Akar dari pendidikan ini adalah Liberalisme, yakni suatu pandangan yang menekankan pengembangan kemampuan, melindungi hak, dan kebebasan (freedom) serta mengidentifikasi problem dan upaya perubahan social secara inskrimental demi menjaga stabilitas jangka panjang. Konsep pendidikan dalam tradisi Liberal berakar pada cita-cita Barat tentang individualisme. Ide politik Liberalisme sejarahnya berkait erat dengan bangkitnya kelas menengah yang diuntungkan oleh Kapitalisme. Pengaruh Liberalisme dalam pendidikan dapat dianalisa dengan melihat komponen-komponennya. Komponen pertama, adalah komponen pengaruh filsafat Barat tentang model manusia universal yakni model manusia Amerika dan Eropa. Model tipe ideal mereka adalah manusia “rationalis liberal”, seperti: pertama bahwa semua manusia memiliki potensi sama dalam intelektual, Kedua baik tatanan alam maupun norma social dapat ditangkap oleh akal. Ketiga adalah “individualis” yakni adanya anggapan bahwa manusia adalah atomistic dan otonom (Bay, 1998). Menempatkan individu secara atomistic, membawa pada keyakinan bahwa hubungan social sebagai kebetulan, dan masyarakat dianggap tidak stabil karena interest anggotanya yang tidak stabil.
      Pengaruh liberal ini kelihatan dalam pendidikan yang mengutamakan prestasi melalui proses persaingan antar murid. Perangkingan untuk menentukan murid terbaik, adalah implikasi dari paham pendidikan ini. Pengaruh pendidikan liberal juga dapat dilihat dalam berbagai pendekatan “andragogy” seperti dalam training management, kewiraswataan, manajemen lainnya. Achievement Motivation Training (AMT) yang diciptakan oleh David Mclelland adalah contoh terbaik pendekatan liberal. Mclelland berpendapat bahwa akar masalah keterbelakangan dunia ketiga karena mereka tidakl memiliki apa yang dinamakan N Ach. Oleh karena syarat pembangunan bagi rakyat dunia ketiga adalah perlu virus “N Ach" yang membuat individu agresif dan rasional (Mclelland, 1961)4. Berbagai pelatihan pengembangan masyarakat (Community Development) seperti usaha bersama, pertanian dan lain sebagainya, umumnya berpijak pada paradigma pendidikan liberal ini.
      Positivisme juga berpengaruh dalam pendidikan liberal. Positivisme sebagai suatu paradigma ilmu social yang dominant dewasa ini juga menjadi dasar bagi model pendidikan Liberal. Positivisme pada dasarnya adalah ilmu social yang dipinjam dari pandangan, metode dan teknik ilmu alam memahami realitas. Positivisme  sebagai suatu aliran filsafat berakar pada tradisi ilmu-ilmu social yang dikembangkan dengan mengambila cara ilmu alam menguasai benda, yakni dengan kepercayaan adanya universalisme dan generalisasi, melalui metode determinasi, ‘fixed law’ atau kumpulan hokum teori (Schoyer, 1973). Positivisme berasumsi bahwa penjelasan tunggal dianggap ‘appropriate’ untuk semua fenomena. Oleh karena itu mereka percaya riset social ataupun pendidikan harus didekati dengan metode ilmiah, yakni objektif dan bebas nilai. Pengetahuan selalu menganut hukum ilmiah yang bersifat universal, prosedur harus dikuantifisir dan diverifikasi dengan metode “scientific”. Dengan kata lain, positivisme mensyaratkan pemisahan fakta dan values dalam rangka menuju pada pemahaman objektif atas realitas social. Habermas, seorang penganut teori Kritik melakukan kritik terhadap positivisme dengan menjelaskan berbagai kategori pengetahuan sebagai berikut.5 Pertama, adalah apa yang disebutnya sebagai ‘instrumental knowledge’ atau positivisme dimana tujuan pengetahuan adalah untuk mengontrol, memprediksi, memanipulasi dan eksploitasi terhadap objeknya. Kedua, ‘hermeneutic knowledge’ atau interpretative knowledge, dimana tugas ilmu pengetahuan hanyalah untuk memahami. Ketiga adalah cirri ‘critical knowledge’ atau ‘emancipatory knowledge’ yakni suatu pendekatan yang dengan kedua pendekatan sebelumnya. Pendekatan ini menempatkan pengetahuan sebagai katalis untuk membebaskan potensi manusia. Paradigma pendidikan liberal pada dasarnya sangatlah positivistic.



Paradigma Kritis/ Radikal

Pendidikan bagi mereka merupakan arena perjuangan politik. Jika bagi konservatif pendidikan bertujuan untuk menjaga status quo, sementara bagi kaum liberal untuk perubahan moderaqt, maka paradigma kritis menghendaki perubahan struktur secara fundamental dalam ekonomi politik masyarakat dimana pendidikan berada.6 Bagi mereka kelas dan diskriminasi gender dalam masyarakat tercermin pula dalam dunia pendidikan. Paham ini bertentangan dengan pandangan kaum liberal dimana pendidikan dianggap terlepas dari persoalan kelas dan gender yang ada dalam masyarakat.
      Dalam perspektif kritis, urusan pendidikan adalah melakukan refleksi kritis, terhadap ‘the dominant ideology’ kea rah transformaqsi social. Tugas utama pendidikan adalah menciptakan ruang agar sikap kritis terhadap sistem dan struktur ketidakadilan, serta dekonstruksi dan advokasi menuju sistem social yang lebih adil. Pendidikan tidak mungkin dan tidak bisa bersikap netral, bersikap objektif maupun berjarak dengan masyarakat (detachment) seperti anjuran positivisme. Visi pendidikan adalah melakukan kritik terhadap sisyem dominan sebagai pemihakan terhadap rakyat kecil dan yang tertindas untuk mencipta sistem social baru yang lebih adil. Dalam perspektif kritis, pendidikan harus mampu mencipta ruang untuk mengidentifikasi dan menganalisa secara bebas dan kritis untuk transformasi social. Dengan kata lain tugas utama pendidikan adalah ‘memanusiakan ‘ kembali manusia yang mengalami dehumanisasi karena sistem dan struktur yang tidak adil.



Implikasi Paradigma Pendidikan Dalam Metodologi

Bagaimana implikasi ketiga pandangan pendidikan tersebut terhadap metodologi pendekatan pendidikan. Untuk itu saya meminjam analisis Freire (1970) dalam membagi ideology pendidikan dalam tiga kerangka yang didasarkan pada kesadaran ideology masyarakat.7 Meskipun Freire lebih dikenal sebagai tokoh pendidikan, namun kerangka analisisnya banyak dipergunakan justru untuk melihat kaitan ideology dalam perubahan social. Tema pokok gagasan Freire pada dasarnya mengacu pada suatu landasan bahwa pendidikan adalah “proses memanusiakan manusia kembali”. Gagasan ini berangkat dari suatu anallisa bahwa sistem kehidupan social, politik, ekonomi, dan budaya, membuat masyarakat mengalami proses ‘dehumanisasi’. Pendidikan sebagai bagian dari sistem masyarakat justru menjadi pelanggeng proses dehumanisasi tersebut. Secara lebih rinci Freire menjelaskan proses dehumanisasi tersebut dengan menganalisis tentang kesadaran atau pandangan hidup masyarakat terhadap diri mereka sendiri. Freire menggolongkan kesadaran mausia menjadi: kesadaran magis (magical consciousness), kesadaran naïf (nival consciousness) dan kesadaran kritis (critical consciousness). Bagaimanaq kesadaran tersebut dan kaitannya dengan sistem pendidikan dapat secara sederhana diuraikan sebagai berikut.8
      Pertama kesadaran magis, yakni suatu kesadaran masyarakat yang tidak mampu mengetahui kaitan antara satu factor dengan factor lainnya. Misalnya saja masyarakat miskin yang tidak mampu melihat kaitan kemiskinan mereka dengan sitem politik dan kebudayaan. Kesadaran magis lebih melihat factor diluar manusia (natural maupun supranatural) sebagai penyebab dan ketakberdayaan. Dalam dunia pendidikan, jika proses belajar mengajar tidak mampu melakukan analisa terhadap suatu masalah maka proses belajar-mengajar tersebut dalam perspektif Freirean disebut sebagai pendidikan fatalistic. Proses pendidikan model ini tidak memberikan kemampuan analisis, kaitan antara sistem dan struktur terhadapa suatu permasalahan masyarakat  Murid secara dogmatic menerima ‘kebenaran’ dari guru, tanpa ada mekanismeuntuk memahami ‘makna’ ideology atas semua konsepsi atas kehidupan masyarakat.
      Yang Kedua adalah kesadaran naïf. Keadaan yang dikategorikan dalam kesadaran ini adalah lebih melihat ‘aspek manusia’ menjadi akar penyebab masalah masyarakat. Dalam kesadaran ini ‘masalah etika, kreativitas, ‘need for achevementI’ dianggap sebagai penentu perubahan social. Jadi dalam menganalisa mengapa suatu masyarakat miskin, bagi mereka disebabkan karena ‘salah’ masyarakat sendiri, yakni mereka malas, tidak memiliki kewiraswastaan, atau tidak memiliki budaya ‘membangun’ dan seterusnya.9 Oleh karena itu, ‘man power development’ adalah sesuatu yang diharapkan akan menjadi pemicu perubahan. Pendidikan dalam konteks ini juga tidak mempertanyakan sistem dan struktur, bahkan sistem dan struktur yang ada adalah sudah baik dan bena, merupakan factor ‘given’ dan oleh sebab itu tidak perlu dipertanyakan. Tugas pendidikan adalah bagaimana membuat dan mengarahkan agar murid bisa beradaptasi dengan sitem yang sudah benar tersebut.
      Kesadaran Ketiga disebut sebagai kesadaran kritis. Kesadaran ini lebih melihat aspek sistem dan struktur sebagai sumber masalah. Pendekatan structural menghindari ‘blaming the victims’ dan lebih menganalisis untuk secara kritis menyadari sitem social, politik, ekonomi dan budaya dan akibatnya pada keadaan masyarakat. Paradigma kritis dalam pendidikan, melatih murid untuk mampu mengidentifikasi “ketidakadilan” dalam sistem dan struktur yang ada, kemudian mampu melakukan melakukan analisis bagaimana sistem dan struktur itu bekerja. Tugas pendidikan dalam paradigma kritis adalah menciptakan ruang dan keselamatan agar peserta pendidikan terlibat dalam suatu proses penciptaan struktur yang secara fundamental baru dan lebih baik.



Implikasi Paradigma Pendidikan Pada Pendekatan Pendidikan:
Pedagogy VS Andragogy

Knowles (1970) secara sederhan menguraikan perbedaan antara anak-anak dan orang dewasa dalam belajar sebagai model pendekatannya.10 Model penmdekatan tersebut diklasifikasikan menjadi dua bentuk pendekatan yang kontradiktif yakni antara pedagogy dan andragogy. Perbedaan kedua pendekatan pendidikan tersebut, tidak semata perbedaan “obyek”nya. Pedagogy sebagai seni mendidik anak ‘mendapat pengertian lebih luas dimana suatu proses pendidikan yang ‘menempatkan objek pendidikannya sebagai anak-anak, meskipun usia biologis mereka sudah termasuk dewasa. Konsekuensi logis dari pendekatan ini adalah menempatkan peserta didik sebagai “nurid yang pasif”. Murid sepenuhnya menjadi objek suatu proses belajar seperti misalnya: guru menggurui, murid digurui, guru memilihkan apa yang harus dipelajari, murid tundukl pada pilihan tersebut, guru mengevaluasi, murid dievaluasi dan seterusnya. Kegiatan belajar mengajar modela ini menempatkan guru sebagai inti terpenting sementara murid menjadi bagian pinggiran.
      Sebaliknya, andragogy  atau pendekatan pendidikan ‘orang dewasa’ merupakan pendekatan yang menempatkan peserta belajar sebagai ‘orang dewasa’. Dibalik pengertian ini Knowles ingin menempatkan ‘murid’ sebagai subjek dari sistem pendidikan. Murid sebagai orang dewasa diasumsukan memiliki kemampuan aktif untuk merencanakan arah, memilih bahan dan materi yang dianggap bermanfaat, Memikirkan cara terbaik untuk belajar, menganalisis dan menyimpulkan serta mampu mengmbil manfaat pendidikan. Fungsi guru adalah sebagai “fasilitator”, dan bukan menggurui. Oleh karena itu relasi antara guru-murid bersifat’multicommunication’ dan seterusnya.11
      Sebagai pendekatan, andragogy dan pedagogy sering dipergunakan dalam ketiga paradigma magis, naif dan kritis tersebut. Banyak sekali dijumpai proses pendidikan yang magik atau naif, tetapi dilakukan dengan cara pendekatan andragogy. Perkawinan antara andragogy dan paradigma magis dan naif sesungguhnya adalah menghubungkan dua hal yang kontrdiktif. Pendidikan kritis mensyaratkan penggunaan andragogy sebagai pendekatan ketimbang pedagogy. Secara prinsipil meletakkan ‘anak didik’ sebagai ‘objek’ pendidikan adalah problem dehumanisasi. Sebaliknya pendidikan liberal yang bersifat individualis (blaming the victim) meskipun digunakan pendekatan andragogy, namun yang terjadi pada dasarnya adalah menjadikan pendidikan sebagai proses ‘menjinakkan’ untuk menyesuaikan ke dalam sitem dan struktur yang sudah mapan. “Penjinakan” sendiri sebenarnya bukan karakter dari andragogy.
Sebaliknya banyak juga pendidikan yang bertujuan untuk membangkitkan kesadaran kritis namun dilakukan dengan cara pedagogy ataupun indoktrinasi. Meskipun materi pendidikan sesungguhnya menyangkut persoalan-persoalan mendasar tentang sistem dan struktur mayarakat, namun dalam proses pendidikannya lebih ‘banking concept of education’ bersifat indoktrinatif dan menindas. Indoktrinasi sendiri adalah anti-pendidikan dan pembunuhan sikap kritis manusia sehingga bertentangan dengan hakekat pendidikan kritis. Sehingga dengan demikian pendidikan kritis yang dilakukan secara pedagogy pada dasarnya adalah kontradiktif dan anti pendidikan.


Menuju Pendidikan Untuk Transformasi Sosial

Tradisi liberal telah mendominasi konsep pendidikan hingga saat ini. Paradigma liberal adalah menjadi bagian dari globalisasi ekonomi ‘liberal’ kapitalisme. Dalam konteks lokal, paradigma pendidikan liberal telah menjadi bagian dari sistem developmentalisme, dimana pada sistem tersebut ditegakkan pada suatu asumsi bahwa akar ‘underdevelopment’ karena rakyat tidak mampu terlibat dalam sistem kapitalisme. Pendidikan harus membantu peserta didik masuk dalam  sistem developmentalisme tersebut.
      Dengan agenda liberal seperti itu, maka tidak memungkinkan bagi pendidikan untuk menciptakan ruang (space) bagi sistem pendidikan untuk secara kritis mempertanayakan tentang, pertama struktur ekonomi, politik, ideology, gender, lingkungan serta hak-hak azasi manusia dan kaitannya dengan posisi pendidikan. Kedua, pendidikan untuk menyadari relasi pengetahuan sebagai kekuasaan (knowledge/power relation) menjadi bagian dari masalah demokratisasi. Tanpa mempertanayakan hal itu, tidak saja pendidikan gagal untuk menjawab akar permasalahan masyarakat tetepi justru melanggengkannya karena merupakan bagian pendukung  dari kelas, penindasan dan dominasi. Pendidikan dalam konteks itu tidaklah mentransformasi struktur dan sistem domonasi, tetapi sekedar menciptakan agar sistem yang ada berjalan baik. Dengan kata lain pendidikan justru menjadi bagian dari masalah dan gagal menjadi solusi.
      Kuatnya pengaruh filsafat positivisme dalam pendidikan dalam kenyataannya mempengaruhi pandangan pendidikan terhadapa masyarakat. Metode yang dikembangkan pendidikan mewarisi positivisme seperti objektifitas, empiris, tidak memihak, detachment, rasionaldan bebas nilai juga mempengaruhi pemikiran tentang pendidikan dan pelatihan.12 Pendidikan dan pelatihan dalam positivistic bersifat fabrikasi dan mekanisasi untuk memproduksi keluaran pendidikan yang harus sesuai dengan ‘pasar kerja’. Pendidikan juga tidak toleran terhadap segala bentuk ‘non positivisticway of knowing’ yang disebut sebagai ilmiah. Pendidikan menjadi a historis,Yakni mengelaborasi model masyarakat dengan mengisolasi banayak variable dalam model tersebut. Murid dididik untuk pada struktur yang ada mencari cara-cara dimana peran, norma, dan nilai serta lembaga yang dapat diintegrasikan dalam rangka melanggengkan sistem tersebut. Asumsinya adalah bahwa tidak ada masalah dalam sistem yang ada, maslahnya terletak pada mentalitas anak didik, kreativitas, motivasi, keterampilan teknis, serta kecerdasan anak didik.
      Dari kerangka paradigma dan pendekatan pendidikan diatas, maka diperlukan suatu usaha untuk meletakkan dalam proses transformasi dalam keseluruhan sistem perubahan social. Setiap usaha pendidikan perlu melakukan transformasi hubungan antara fasilitator dengan peserta pendidikan. Untuk melakukan transformasi terhadap setiap usaha pendidikan perlu dilakukan analisa structural dan menempatkan posisi dimana sesungguhnya lokasi pemihakan usaha pendidikan dan pelatihan dalam struktur tersebut. Tanpa visi dan pemihakan yang jelas, setiap usaha pendidikan sesungguhnya sulit diharapkan menjadi institusi kritis menuju pada perubahan. Usaha pendidikan dan pelatihan juga perlu melakukan identifikasi issue strategis dan menetapkan, visi dan melanggengkan ketidakadilan.
      Selain itu, paradigma kritis juga berimplikasi terhadap metodologi dan pendekatan pendidikan serta proses belajar mengajar yang diterapkan. Pandangan kritis termasuk melakukan transformasi hubungan guru-murid dalam perspektif yang didominasi dan yang mendominasi. Dimana guru menjadi subjek pendidikan dan pelatihan sementara murid menjadi objeknya. “Subjection” yang menjadikan murid menjadi objek pendidikan dalam perspektif kritis adalah bagian dari problem dehumanisasi. Dengan kata lain paradigma pendidikan dan pelatihan kritis tidak saja ingin membebaskan dan mentransformasikan pendidikan dengan struktur diluarnya, tapi juga bercita-cita mentrasnsformasikan relasi ‘knoeledge/power dan dominasi hubungan yang ‘mendidik’ dan ‘yang dididik’ didalam pendidikan sendiri.
      Usaha pendidikan dan pelatihan sesungguhnya secara struktura adalah bagian dari sistem social, ekonomi dan politik yang ada. Oleh karena itu banyak orang pesimis untuk berharapa sebagai badan independent untuk berdaya kritis. Penganut paham ‘reproduksi’ dalam pendidikan umumnya percaya bahwa pendidikan sulit diharapkan untuk memerankan perubahan, melainkan mereka justru yang mereproduksi sistem yang ada atau hokum yang berlaku. Setiap upaya pendidikan haruslah  Dalam perspektif kritis, terutama alira produksi dalam pendidikan dan pelatihan, setiap upaya pendidikan haruslah menciptakan peluang untuk senantiasa mengembalikan fungsinya sebagai proses independent untuk transformasi social. Halini berarti prosespendidikan haris memberi ruang untuk menyingkirkan segenap ‘tabu’ untuk mempertanyakan secara kritis sitem dan struktur yang ada serta hokum yang berlaku. Sebaliknya, dalam rangka melakukan pendidikan kritis dalam prosesmelakukan trnsformasi social yang juga perlu dilakukan adalah mentransformasi dirinya mereka sendiri dahulu, yakni membongkar sstruktur tidak adil di dalam dunia pendidikan terlebih dahulu, yakni antara peserta dan fasilitator.



Pendidikan Kritis Apa Pula Itu ?
Pendidikan kritis pada dasarnya merupakan aliran, paham dalam dan pembebasan dan pemberdayaan. Perdebatan mnegenai peran pendidikan di lingkungan teoritisi dan praktisi yang merunut paham dan tradisi dari pemikiran kritis terhadap sistem kapitalisme dan dari tradisi pemikiran mereka yang mencita-citakan perubahan social dan struktural menuju masyarakat yang adil dan demokratis, suatu masyarakat tanpa eksploitasi dan penindasan, yakni seperti para penganut aliran gerakan social untuk keadila maupun golongan penganut paham dan teori kritik lainnya. Namun, ketika membahas peranan pendidikan dan peranannya dalam kaitan dengan perubahan social, mereka menjadi dua aliran menyangkut pendidikan- apakah pendidikan dapat digunakan sebagai media transformasi social.
  • Golongan pertama, adalah penganut paham “reproduksi”. Golongan ini sangat pesimis bahwa pendidikan mempunyai peran untuk perubahan social menuju transformasi social. Mereka menganut teori reproduksi. Golongan ini menganggap bahwa pendidikan dalam sistem kapitalisme berperan untuk mereproduksi sistem itu sendiri. Pendidikan akan melahirkan peserta didik yang akan memperkuat sistem dalam masyarakat. Sehingga mereka sangat pesimistis bahwa pendidikan akan mampu menjadi penyebab trnsformasi social.
  • Golongan kedua, yakni penganut paham produksi. Golongan ini, mayakini bahwa pendidikan mampu menciptakan ruang untuk tumbuhnya resistensi dan subversi terhadap sistem yang dominant. Bukankah sebagian besar tokoh nasional dunia ketiga uang memimpin bangsa mereka untuk melawan penjajahan, kolonialisme dan imperialisme lahir dari hasil pendidikan oleh sistem pendidikan yang justru dimaksudkan untuk mempertahankan dan melanggengkan kolonialisme? Dengan demikian bagi penganut paham ini, pendidikan senantiasa mempunyai aspek pembebasan dan pemberdayaan, jika dilakukan melalui peoses yang membebaskan serta dilaksanakan dalam rangka membangkitkan kesadaran kritis. Pandangan pendidikan seperti itu yang akan mewariskan lahirnya aliran  pendidikan yang kita sebutkan sebagai pendidikan kritis.

Ada pijakan dasar tradisi pendidikan kritis yakni pemikiran dan paradigma kritik ideology terhadap sistem dan struktur social, ekonomi dan politik yang tidak adil. Dengan demikian pendidikan dalam perspektif paham ini merupakan media untuk resistensi dan aksi social yang tidak dapat dipisahkan dan merupakan bagian dari proses transformasi social. Maka pendidikan kritis merupakan proses perjuangan politik. Bagi penganut pendidikan kritis, diskriminasi gender, serta berbagai bentukketidakadilan social lainnya seperti hegemoni kulturakl dan politik serta dominasi melalui diskursus pengetahuan yang merasuk di dalam masyarakat, akan terefleksi dalam proses pendidikan, dan harus menjadi cermin kondisi social dalam dunia pendidikan. Dalam perspektif kritis, proses pendidikan merupakan proses refleksi dan aksi (praksis)terhadapa seluruh tatanan dan relasi social dari sistem dan struktur social dan bagaimana perannya, cara kerjanya dalam menyumbangkan ketidakadilan dan ketidaksetaraan social. Karena tugas utama pendidikan adalah menciptakan ruang agar sikap kritis terhadap sistem dan struktur yang diskriminatif terhadapa kaum yang tertindas dan kaum yang tersingkirkan seperti kaum miskin, kaum buruh, para penyandang cacat atau mereka yang memiliki kemampuan berbeda, kaum perempuan, anak-anak serta bagaimana melakukan proses dekonstruksi dan berbagai aksi praktis maupun strategis menuju sistem social yang sensitive dan non diskriminatif.
Pendidikan kritis sangat memerlukan perspektif kelas dalam melakukan analisis dalam proses pendidikan, karena analisis kelas memberi perangkat dalam rangka memahami sistim ketidakadilan social. Hampir semua golongan masyarakat menjadi korban dari ketidakadilan kelas, namun karena mayoritas yang menjadi Koran ketidakadilan kelas adalah masyarakat bawah, maka seolah-olah analisis kelas hanya menjadi alat perjuangan bagi golongan miskin. Analisis kelas mestinya bisa menjadi media untuk membongkar sistem ketidakadilan social secara luas. Tanpa analisis kelas, perubahan social menjadi reduksionisme, dimana lebih memusatkan perhatian pada manusisnya saja. Lebih lanjut analisis kelas membantu memahami bahwa laki-laki dan perempuan mengalami dehumanisasi, kaum buruh mengalami dehumanisasi disebabkan eksploitasi, sementara kelas ‘menengah’ sebagai penyelenggara eksploitasi juga mengalami dehumanisasi karena melanggengkan eksploitasi. Baik pengeksploitasi, penyelenggara eksploitasi maupun yang dieksploitasi memrlukan proses yang membebaskan mereka dari sistem yang tidak adil tersebut. Maka proses pendidikan yang mengabaikan realitas kelas social akan kehilangan makna pemberdayaan dan pembebasannya.
Analisis kelas dalam proses pendidikan memfokuskan pada relasi struktur social ketimbang hanya memfokuskan pada korban eksploitasi. Dengan demikian yang menjadi agenda utama pendidikan kritis tidak sekedar menjawab “kebutuhan praktis” untuk mengubah kondisi golongan miskin, melainkan juga menjawab kebutuhan strategis golongan miskin, yakni memperjuangkan perubahan posisi golongan miskin, termasuk konter hegemoni dan konter wacana terhadap ideology sosial yang telah mengakar dalam keyakinan.
Konsep hegemoni yang diwariskan oleh Antonio Gramsci, yakni hegemoni terjadi apabila golongan masyarakat yang tertindas, tereksploitasi secara suka rela mengabdi pada penindasannya. Konsep ‘hegemoni’ merupakan proses penjinakan budaya dan ideology kaum tertindas dan tereksploitasi untuk ‘concern’ dan mengabdi secara sukarela kepada para penindas mereka.27 Dalam proses tersebut para pendidik secara tidak sadar justru berperan sebagai pelaksana hegemoni dari penguasa Negara maupun ekonomi. Sehingga prosesw pendidikan tidak dapat lagi dilihat sebagai proses pengajaran yang netral dan bebas nilai. Apalagi rezim penguasa ekonomi dan modal banyak sekali mengeluarkan biaya bagi penyelenggaraan bentuk pendidikan dalam rangka membangun kepentingan sejak dini dari penjinakan ideology sampai dengan untuk melariskan dagangannya. Oleh karena itu pendidikan senantiasa menjadi arena yang menarik diperebutkan. Pertanyaan maupun pernyataan bahwa “pendidikan tanpa kesadaran kritis terhadap hegemoni dominant, pada dasarnya mengelabui kenyataan.



Warisan Foucault Pada Pendidikan Kritis

Pengaruh lain yang mewarnai pada aliran pendidikan kritis diantaranya juga warisan pemikiran Foucault. Bagi perkembangan pengetahuan, kelihatannya yang paling dekat adalah mewarnai ilmu-ilmu social khususnya sosiologi dan praktek perubahan social, meskipun terdapat indikasi kuat pengaruh pemikiran Foucault dalam bidang sastra dan arsitektur. Pikiran Foucault berpengaruh terhadap perkembangan “Post-modern Sociology” yakni suatu analisis terhadap masyarakat modern dengan menggunakan konsep dan perspektif post-modern. Secara substansial sesungguhnya Foucault membuat sosiologi lebih sensitive terhadap ‘power relation’ atau relasi kekuasaan dan bagaimana dominasi bekerja dalam relasi kekuasaan (power), teranyam pada setiap aspek kehidupan serta kehidupan pribadi, pikiran tersebut menantang ilmu sosiologi yang cenderung memisahkan dan mengabaikan “kekuasaan” dalam dunia ilmu pengetahuan, dan berasumsi pengetahuan itu netral, objektif dan tak berdosa. Sosiologi yang cenderung menganggap bahwa akar kekuasaan terletak pada negara ataupun kelas, dianggap oleh Foucault sebagai mengingkari kenyataan, karena baginya relasi kekuasaan terjadi pada hamper setiap aspek kehidupan sehari-hari. Konsep dan pikiran tentang kekuasaan (power)ini memberikan pengaruh besar tentang bagaimana aspek dan pusat lokasi dari kekuasaan serta bentuk perjuangan untuk membatasi dan bagaimana berbagi kekuasaan. Jika umumnya pemikiran kekuasaan hanya tertuju pada Negara dan kelas elit, maka Foucault membuka kamungkinan untuk membongkar semua dominasi dan relasi kekuasaan, seperti kekuasaan dalam pengetahuan antara pencipta diskursus, birokrat, akademisi dan rakyat miskin jelata yang “tidak beradab” yang harus didisiplinkan, diregulasi dan “dibina”. Kaum feminis juga mendapat legitimasi untuk membongkar dominasi dan relasi kekuasaan “gender” antara lelaki dan perempuanyang sejak lama tidak mendapat perhatian dari filasafat social. Foucault juga memberi pengaruh terhadap relasi kekuasaan antara birokrat dan intelektual universitas yang “modern, ilmiah dan positivistic” dan masyarakat adapt atau masyarakat “awam” yang ‘tradisional suku terasing, perambah hutan, tidak ilmiah, tahayul, tidak bisa mengelola sumber daya alam dan belum berbudaya, yang perlu dibudayakan”. Pikirannya tentang kekuasaan bahkan menyadarkan orang akan relasi ‘kekuasaan’ antara penganut agma-agama barat yang turun dari langit dan merupakan “kebenaran” dengan keyakinan dan kepercayaan teologi lokal, ‘pagan’ dan ‘animisme’, yang perlu diselamatkan.
      Pendek kata pandangannya memberi pengaruh besar pada pendidikan kritis sehingga melahirkan apa yang dikenal dengan pendidikan sebagai konter terhadap diskursus dominant yang memberi inspirasi pada gerakan budaya perlawanan. Apa yang disebutnya sebagai ‘genealogy’ membawa pengaruh pada pendidikan kritis mendorong pada pemberdayaan lokal dan akar rumput melalui penyembuhan atau pemuliaan pengetahuan masyarakat yang ‘ditundukkan’ (subjugated) dan diskualifikasi oleh kekuasaan/ pengetahuan yang dominant. Maka pengetahuan mungkin bisa menjalankan tugas transformasi kalau pengetahuan membongkar dan menghentikan relasi kekuasaan. Suatu analisis yang dikenal dengan “Discourse analysis”. Jika Karl Marx dikenal karena teori analisis kelasnya yang memfokuskan analisisnya pada suatu proses bagaimana eksploitasi (apropriasi) nilai lebih (surplus value) terjadi dalam rangka akumulasi capital, maka Foucault namanya diasosiasikan dengan discourse analysis, yang membongkar relasi kekuasaan dan dominasi pada suatu konsep atau wacana, karena konsepsi dan wacana baginya memang tidak pernah netral, objektif dan bebas nilai.Pendidikan sudah lama menjadi penyelengara dan melanggengkan dominasi melalui diskursus yang ada dalam pengetahuan modernisasi. Bahkan banyak proses pendidikan yang diselenggarakan oleh kalangan NGO, juga aktivis pemberdaya rakyat lainnya tanpa mereka sadari ternyata menjadi bagian dari penundukan masyarakat serta menjadi bagian dari diskursus modernisasi dan pembangunan model Neo-Liberalisme. Oleh karena itu perspektif pendidikan kritis secara sadar, menjadi bagian dari proses konter terhadap diskursus dominant.

Pendidikan Kritis Sebagai Warisan Paradigma Pembebasan
Pendidikan kritis merupakan kelanjutan dari gerakan pembebasan. Maka dalam perspektif pendidikan kritis, “pembebasan” pada dasarnya dua hal yang tak bisa dipisahkan, dan bahkan boleh dikatakan bahwa pada dasarnya hakekat seni adalah pembebasan. Kata “pembebasan” dalam pendidikan kritis mewarisi semangat pembebasan yang memiliki konteks makna dari satu formasi social ke formasi social lainnya. Sesuai dengan konteks dan bentuk penindasan dan ketidakadilan di zamannya. Pada zaman kolonialisme misalnya diskursus tentang pembebasan yang sering diungkapkan oleh tokoh seniman, sastrawan dan budayawan zaman itu lebih memberi makan bahwa pembebasan dalam konteks kemerdekaan dipahami sebagai lepas dari penjajahan kolonialisme. Akan tetapi diskursus pada era ketergantungan pasca kolonialisme, dimana penderitaan rakyat justru diakibatkan bentuk penindasan melalui proses pemiskinan akibat dari penerapan paham “developmentalisme”, yang bersandar pada paham modernisasi. Para seniman dan budayawan merespon penindasan model seperti itu dalam diskursus pembebasan dalam konotasi yang berbeda pula. Sehingga pada era itu diskursus pembebasan (liberation) lebih berdimensi pembebasan kaum miskin tertindas di grasroot.
      Ambil contoh Gustavo Guiterez tokoh “Teologi Pembebasan” dunia selatan asala Guatemala, justru memaknakan ajaran teologinya bagi pembebasan spiritual dan sosio-kultural golongan yang dimarjinalkan oleh ‘pembangunan’. Oleh karena itu bagi Guiterez konsep pembebasan diberi pengertian lebih sebagai ekspresi dari aspirasi rakyat miskin kaum tertindas, yang dikaitkan sebagai proses relasi konflik ekonomi, social dan politik yang tidak adil dengan Negara-negara kaya dan kelas elit di Negara-negara pinggiran. Jelas paham pembebaxsan seperti ini erat kaitannya dengan refleksi dan analisis social terhadap formasi social yang dianggap memiskinkan rakyat jelata di dunia Selatan. Dengan demikian konsep teologi pembebasannya tidak bisa dipisahkan dari kerangka dan konteks pemikiran “teori ketergantungan” (dependency theories) yang berkembang subur pada tahun 70-an di Amerika Latin dan Amerika Selatan. Sungguh pun demikian, di tempat lain dalam konteks agama yang berbeda, seperti Teologi Pembebasan Islam maupun Teologi Pembebasan bagi masyarakat Hindu dan Budha di Asia selatan28 ternyata teologi untuk pemebebasan juga muncul dalam berbagai gerkan social politik. Di Amerika latin misalnya, dimana gerkan itu pertama kali muncul, justru praktek teologi pembebasan muncul dalam bentuk gerakan social (social movement) seperti Basic Christian Communities yang merupakan gerakan dengan alasan spiritual keagamaan maupun alasan social politik yakni mempertahankan diri dari penggusuran dan peminggiran.
      Semangat pembebasan dalam pendidikan kritis juga juga belajar dari pemikir lain yang juga menaruh perhatian terhadap ‘pemebebasan’ dalam konteks yang lain. Pemikir kritik sosial Erich From misalnya, meletakkan dasar teori pembebasan dari perspektif psikologi kritik. Dalam jaryanya yang diberi judul Fear From Freedom (1942) dan Beyound the Chains of Illusion (1962) menyediakan argumen permulaan yang baik sekitar psikologi pembebasan yang dapat digunakan untuk memahami gerakan pemebebasan rakyat tertindas di Selatan. Analisis psikologi dan politiknya mengenai tumbuhnya mentalitas borjuasi dan kaitannya dengan etika agamis konservatif dan sumbangannya terhadap berfungsinya kapitalisme. Baginya sebagian besar orang mudah beradaptasi dengan masyarakat industri kapitalisme telah kehilangan kepribadian asli dan spontanitas mereka, sehingga menderitalantaran gagal mendapatkan kebahagiaan dan aktualisasi diri akibat dari kesepian dan ketakberdayaan sebagai konsekuensi dari “alienasi” dari sistem industri. Pembebasan dalam konteks keterasingan manusia dalam sistem kapitalisme tersebut adalah jika manusia dapat mengkaitkan diri secara spontanitas kepada dunia cinta dan karya dalam ekspresi emosional,sensasional dan kapasitas intelektual yang asli sehingga dapat bersama manusia, alam dan diri mereka tanpa kehilangan kemerdekaan dan integritas pribadinya.
      Frantz Fanon salah seorang pemikir “psikologi bagi kaum tertindas” dari Afrika pada era pasca kolonialisme juga telah menyumbangkan dasar bagi argument kaitan antara pendidikan dan pembebasan. Dalam salah satu karyanya yang berjudul The Wretched of Earth (1961) pada dasarnya menyimpan berbagai pemikiran dan analisisnya mengenai psikologi pembebasan. Buku yang ditulis pada era pasca kolonialisme dalam konteks negara-negara Afrika tersebut memberikan banyak pelajaran tentang bagaimana mentalitas para elit, kaum borjuasi dan bahkan rakyat jelata dari bangsa-bangsa maupun bekas terjajah. Fanon secara baik melakukan analisis kritis terhadap para elit dan kelas menengah dari bangsa-bangsa yang tengah memasuki era neo-kolonialisme pasca penjajahan yang disebutnya menderita kemalasan dean ketamakan intelektual. Mereka dalam posisi yang diuntungkan oleh kolonialisme dan berkesempatan menikmati pendidikan di universitas dan menerima pendidikan bangsa-bangsa penjajah, setelah berakhirnya kolonialisme, bukannya menularkan pengetahuan dan pendidikan kritis kepada rakyat jelata, sebaliknya para elit tersebut justru meneruskan relasi neo-kolonialisme dan terus menjual negeri mereka bahan mentah murah bagi perkembangan industri Negara bekas penjajah mereka. Bahkan mereka membangun tempat-tempat peristirahatan mewah untuk menampung liburan bangsa bekas penjajah mereka, mereka bergaya, berpakiaian dan berselera meniru selera bangsa yang menjajah mereka. Oleh karena itu Frantz Fanon sangat meragukan manfaat dan adanya kebaikan para kelas menengah dan elit borjuasi bangsa neo-kolonial bagi kesejahteraan ataupun pemberdayaan dan pendidikan kesadaran kritis bagi rakyat keseluruhan. Atas dasar analisisnya terhadap psikologi para borjuasi bangsa bekas terjajah itulah, selanjutnya Fanon mengembangkan gagasannya mengenai pembebasan dimana tema sentral gagasan pembebasannnya berfokus dan memprioritaskan pada pembebasan atau liberasi manusisa bangsa terjajah dari mentalitas colonial atau “colonial mind” tersebut.
      Ketika harus menjawab pertanyaan bagaimana proses pembebasan dilakukan, Fanon memfokuskan gagasannya melalui pendidikan politik rakyat untuk membangun budaya nasional bangsa sebagai alternative sekaligus sebagai sarana untuk melakukan aksi perlawanan cultural terhadapa budaya penjajah yang pada zaman dan konteks pada waktu gagasan itu dikembangkan adalah budaya barat. Dalam konteks inilah untuk pertama kalinya di Afrika pengembangan kultur lokal menjadi arena strategis untuk kemerdekaan. Disinilah seni selanjutnya dilihatnya sebagai media aksi cultural untuk perlawanan budaya yang strategis. Gagasan ini sekali lagi memberi validitas terhadap seni dan para seniman dalam pendidikan politik untuk aksi cultural. Dalam konteks zaman dan formasi social yang berbeda dimana lawan dan sumber kesengsaraan, proses peminggiran serta proses pemiskinan rakyat bersumber dari menguatnya sistem kapitalisme global (globalisasi) dan berkembangnya budaya kekerasan akibat dari jeratan sistem dan struktur budaya militerisme, maka Frantz Fanon sesungguhnya mendorong untuk memberikan ruang bagi perkembangan dan peran seni budaya, maupun peran seniman dalam proses aksi cultural untuk membangun kesadaran kritis melawan budaya kekerasan dan budaya dominasi menjadi sangat relevan.
      Akhirnya, tradisi pendidikan kritis juga sangat berhutang pada Paulo Freire sebagai peletak dasar filosofinya. Freire tokoh pendidikan kritis yang meletakkan dasar “pendidikan bagi kaum tertindas” asal Brazil memberikan makna pembebasan lebih ditekankan pada kebangkitan kesadaran kritis masyarakat. Dengan kata lain bagi Freire mengumgkapkan bahwa hakekat ‘pembebasan’ adalah suatu proses bangkitnya “kesadaran kritis” rakyat terhadapa sistem dan struktur social yang menindas. Pembebasan bagi mereka tidak saja terbebas dari kesulitan aspek material saja, tapi juga adnya ruang kebebasan dari aspek spiritual, ideology maupun cultural. Dijelaskannya bahwa sesungguhnya rakyat memerlukan tidak saja bebas dari kelaparan, tetapi juga “bebas” untuk mencipta dan mengkonstruksi dan untuk bercita-cita.
      Meskipun pendidikan yang dikembangkan oleh Freire mulanya dikembangkan dan dipraktekkan dalam rangka bagi pembebasan buta huruf, namun meningkatkan kesadaran kritis (critical consciousness) atau yang di Indonesia lebih dikenal sebagai proses ‘konsientitasi’ merupakan hakekat pendidikan Freire. Analisis Freire berangkat dari kajiannya terhadap bagaimana proses dominasi budaya dan politik terhadap rakyat telah melahirkan ideology rakyat tertindas sebagai akibat dari hegemoni. Oleh karenanya dalam mengembangkan pemikiran ideologi pendidikannya Freire memulai dengan mengkaji watak budaya dari tiga kernagka kesadaran ideologi masyarakat tertindas.29 Sesungguhnya Paulo Freire lebih dikenal sebagai tokoh pendidikan, namun kerangka analisisnya banyak digunakan justru untuk melihat kaitan ideologi perubahan social pada pemberdayaan masyarakat. Tema pokok gagasan Freire sesungguhnya mengacu pada suatu landasan keyakinan bahwa pendidikan pada dasarnya merupakan “proses memanusiakan manusia kembali”. Gagasan ini berangkat dari suatu analisa bahwa sistem kehidupan social, politik, ekonomi dan budaya membuat masyarakat mengalami suatu proses “dehumanisasi”. Pendidikan sebagaimana dipraktekkan di sekolah-sekolah, sebagai bagian dari sistem masyarakat justru pada kenyataannay menjadi pelanggeng proses dehumanisasi tersebut. Secara rinci Freire menjelaskan proses dehumanisasi tersebut dengan menganalisis tentang kesadaran atau pandangan hidup masyarakat terhadap diri mereka sendiri.
      Lebih lanjut dapat disimpulkan bahwa sebenarnya pandangan filsafat pendidikan Freire bermula dari kritiknya terhadap praktek pendidikan di dunia dewasa ini, yakni yang disebutnya sebagai “banking concept of education”. Murid dalam proses pendidikan model bank yang dipraktekkan di sekolah-sekolah lebih menjadi objek pendidikan, mereka pasif dan hanya mendengar, mengikuti, mentaati dan mencontohi para guru. Praktek pendidikan seperti itu, bagi Freire tidak saja bersifat menjinakkan, tetapi bahkan lebih jauh merupakan proses dehumanisasi dan penindasan. Sebagai antitesis Freire selanjutnya mengembangkan suatu pendidikan yang tidak saja mentransformasikan hubungan guru dan murid lebih membebaskan, serta meletakkan dasar konsep pendidikan yang memposisikan justru murid sebagai subjek pendidikan dengan tidak saja memperkenalkan berbagai metodologi dan praktek hubungan pendidikan yang bersifat membebaskan, namun juga membangkitkan kesadaran kritis warga belajar terhadap ketidakadilan sistemik. Proses dan metodologi pendidikan konsientisasi ini telah mempengaruhi berbagai praktek pendidikan pendidikan politik rakyat tertindas di Dunia Selatan. Konsientisasi juga berpengaruh ke aspek kehidupan lainnya dan salah satunya berpengaruh ke arena kesenian dan kebudayaan, maka lahirlah kesenian untuk kaum tertindas.