“ Mari bersyukur kawan,
sebab kita masih berada pada atmosfer dialektika yang membara, masih melihat
bedah buku dipojok-pojok koridor kampus, masih menikmati diskusi ringan bersama
hangatnya kopi hitam dikantin Mace-mace, masih mengangkat tangan kiri ketika
melakukan parlemen jalanan, masih ditutupkan pintu ketika dipaksa untuk membaca
oleh para senior”
song
Senin, 22 Desember 2014
Kamis, 16 Oktober 2014
PEREMPUAN
Wanita
adalah sebutan untuk perempuan yang sudah dewasa. Perempuan yang masih muda
atau perawan bolehlah kita sebut gadis. Atau cewek saja. Lantas, perempuan?
Perempuan, hm, tidak ada kata yang sanggup menyederhanakan kerumitannya. Tidak
ada syair yang mampu menguraikan kebersahajaannya. Fotografi yang katanya
bersuara lebih dari seribu kata, ternyata hanya diam seribu bahasa membingkai
perempuan dalam keabadian. Mari kita buka salah satu kamus produksi dalam
negeri. Kamus membatasi perempuan sebagai [n] (1) orang (manusia) yg mempunyai
puki, dapat menstruasi, hamil, melahirkan anak, dan menyusui.
Kamus itu lupa mengatakan bahwa perempuan dikodekan oleh adanya dua kromosom X
pada setiap inti sel diploidnya. Artinya bahwa setiap sel otak, otot, jantung
dan hampir semua sel lainnya akan ditandai dengan sandi XX. Perempuan adalah
keperempuanan dalam jiwa dan raganya.
Laki-laki berkromosom XY. Kromosom x didapat dari ibunya, dan kromosom y
pastilah dari ayahnya. (Bisa juga dari tetangganya atau supirnya sih). Yang
perlu Anda ketahui kromosom X adalah pilot yang mengendalikan proses biokimia
manusia untuk menjadi seorang perempuan. Kromosom y hanyalah kopilot bagi sel tersebut.
Tepatnya kromosom y yang kerdil dan berisi lebih sedikit gen itu hanyalah
pelengkap penderita dari pasangannya kromosom X yang gagah perkasa. Saya
tergoda memaparkan lika-liku laki-laki lebih dalam, tapi karena saya laki-laki,
saya mungkin akan bias. Untuk jurnal Kompasiana ini, terlalu egois kiranya
membicarakan makhluk yang katanya berhidung belang, bermata keranjang dan
berotak koboi kucai itu. (Sueeer saya tidak sejelek ituuuuu)
Tahukah Anda bahwa jenis kelamin default spesies manusia adalah perempuan?
Semua manusia adalah perempuan pada tahap dini perkembangan janin. Nah pada
perkembangan selanjutnya si kopilot kromosom y akan menutup pintu vaginanya
supaya penisnya lebih berkembang. Kelak si penis akan bernostalgia ke masa
lalunya dengan mencari vagina lain dalam kehidupan nyatanya. Selain itu
kadang-kadang terjadi kegagalan sehingga kedua jenis kelamin tetap bertahan
sampai lahir. Dalam keadaan seperti ini apakah si pemilik kedua kelamin bisa
‘melakukannya’ secara swalayan yaaaach? (Maaf, saya tidak bermaksud melecehkan
penyakit ini, tapi saya bertanya-tanya apakah secara kejiwaan mereka menjadi
hermafrodit juga?).
Uff, kembali kepada perempuan?
Bisakah perempuan hidup tanpa laki-laki? Maksudnya bisakah dibayangkan
kehidupan di dunia ini tanpa laki-laki? Jangan tanyakan ini pada seorang cewek
yang baru diputusin cowoknya. Karena jawabannya terdapat pada semua lagu-lagu
cengeng yang syairnya kurang lebih berkata semacam ini ” I cant live if living
is without you…
Lucu,bukan,bagaimana satu orang yg pergi bisa membuat seluruh dunia tampak
begitu kosong?” (AFTER, Francis Chalifour)
Jadi tanyakan saja kepada ahli kloning. Ian Wilnut. Severino Antinori. Atau
Pavos Zavos.(Glodak! Mereka semua laki-laki).
Sains sudah bisa membuktikan bahwa perempuan tidak perlu laki-laki untuk
membuat keturunan. Perempuan mempunyai sel telur yang haploid dan sel tubuh
yang genomnya diploid. Hebatnya lagi, perempuan mempunyai rahim! Ketiga hal itu
adalah syarat mutlak dalam teknologi kloning yang telah melahirkan Eve, manusia
pertama hasil kloning.
Kloning adalah teknologi penggandaan individu secara identik. Kasarnya
teknologi ini membuat zygot yang bukan dari pembuahan sel sperma laki-laki
dengan sel telur wanita. Hubungan seksual adalah salah satu cara untuk menyatukan
23 kromosom sel sperma laki-laki ke dalam 23 kromosom sel telur perempuan
sehingga kromosomnya lengkap menjadi 46. Cara pembuahan lainnya adalah
teknologi bayi tabung yang menyatukan kedua sel tersebut secara buatan dalam
tabung reaksi. Untuk ide jenius ini, Robert Edwards, perintisnya sudah diganjar
hadiah nobel kedokteran Tahun 2010. Kedua cara ini masih memerlukan sel sperma
dari laki-laki.
Pada teknologi kloning, alih-alih menyatukan dua jenis sel yang masih ’separuh
lengkap” alias haploid(n=23) kenapa tidak menggunakan sel yang sudah ‘lengkap ‘
alias diploid (n=46) saja? Ambil sel telur perempuan, buang intinya yang
haploid itu, lalu injeksikan inti sel dewasa yang kromosomnya sudah 46. Beri
perlakuan khusus, maka jadilah zygot. Zygot kemudian melakukan tugasnya secara
alami. Sesuai kodratnya, embrio itu akan membelah diri dan berdiferensiasi
menjadi bermacam-macam sel yang dibutuhkan untuk membangun seorang perempuan.
Itulah kloning. Jelas-jelas tidak perlu seorang laki-laki dalam proses ini kan?
Menurut statistik 2010, dalam penduduk Indonesia terdapat 101 perempuan untuk
100 laki-laki. Jumlah perempuan masih dominan. Tapi kenapa pemerintahan dan
penguasa kita didominasi laki-laki? Kenapa marga harus diturunkan dari
laki-laki? Kenapa kebudayaan kita dipengaruhi kelaki-lakian?
Tanpa laki-laki, perempuan bisa hidup kok. Sebaliknya, tanpa perempuan apakah
kita bisa hidup?
Perhatikan fakta ini. Kehidupan digerakkan oleh sejumlah besar mesin-mesin
renik di segenap sel tubuh kita yaitu mitokondria. Mitokondria memasok 90
persen energi kita dari proses redoks yang melibatkan perpindahan elektron dari
oksigen. Tidak seorang manusia pun bisa hidup tanpa mitokondria. Tapi tahukah
Anda bahwa gen-gen yang membentuk mitokondria dalam setiap sel tubuh, kita warisi
dari perempuan yang kita kita kenal sebagai ibu kita? Laki-laki tidak pernah
menurunkan mitokondria kepada keturunannya. Karena mitokondria pasti diturunkan
dari pihak ibu, maka silsilah dunia harusnya ditelusuri dari garis perempuan.
Bukan laki-laki. Dan sains memang punya cabang ilmu khusus yaitu genealogi yang
telah berhasil melacak evolusi manusia sampai kepada mitokondria Hawa di masa
silam Afrika.
Hai, perempuan, banggalah kamu dilahirkan sebagai perempuan
Sabtu, 11 Januari 2014
Penciptaan
Dengan NamaNya
dan KehadiranNya di segala ahwal, sungguh keberadaan sesuatu mungkin di dalam
dirinya mungkin tidak di dalam dirinya. Contoh keberadaan sesuatu yang di dalam
dirinya adalah KeberadaanNya. Sedangkan keberadaan segala substansi dan aksiden
ditinjau dari bahwa keberadaan tersebut adalah sejenis relasi antara hal-hal
yang mungkin adalah keberadaan yang tidak di dalam dirinya sendiri, mereka
semua hanyalah citra dan bebayangan; dengan dirinya sendiri mereka semua
bukanlah sesuatu dan bukanlah kenyataan.
Sedang dalam
sekalian alam, yang tak lain adalah ManifestasiNya, terdapat tiga hal primer
yang "menyusun" realitas, yakni, keberadaan (eksistensi), quiditas
(esensi), kemenjadian (yang merepresentasikan "gerak" atau
"perubahan"). Maka apakah yang diciptakan atau dibuat-Nya? Apakah Ia
membuat ketiga-tiganya ataukah Ia hanya membuat beberapa di antara ketiganya?
Maka, sungguh
secara hakiki Ia membuat eksistensi (kopulatif) segala, dan tak membuat
quiditas maupun kemenjadian. Quiditas maupun kemenjadian hanyalah efek
aksidental pancaran (pembuatan) eksistensiNya. Allah adalah Cahaya Langit dan
Bumi. Sungguh quiditas hanyalah ada dalam fikiran, karena dalam realitas suatu
efek atau akibat tak pernah bisa dipisahkan dengan sebabnya, sedang quiditas
suatu hal sebagai sebab dapat dipisahkan dengan quiditas hal yang menjadi
akibatnya. Kemenjadian, yakni perubahan dari satu quiditas menjadi quiditas
lain pun, hanya ada dalam fikiran.
Maha Suci Dia,
Yang Melimpahkan DiriNya, yakni WujudNya, pada sekalian alam dan sungguh
sekalian alam tak lain adalah "bayangan"Nya. Maha Suci Dia, Yang
Membuat segalanya adalah keberadaan, dan sungguh semua keberadaaan bukanlah
selain diriNya tapi bukan pula diriNya. Maha Suci Dia, Yang Membuat segala
keberadaan "kopulatif" (al-wujud ar-robith) dan hanya Dia-lah
Keberadaan Murni tanpa kebutuhan, tanpa relasi dengan apa pun, tanpa
keterbatasan, Sempurna Mutlak dalam Ketunggalannya.
Maha Suci Dia,
yang membuat segala kejamakan tak terlepas dari KetunggalanNya, bahkan adalah
Manifestasi KetunggalanNya, bisu-lah, terkuncilah mulut-mulut, lidah-lidah dan
pena-pena yang hendak mengungkapkanNya, sungguh Dia menyaksikan bahwa Tiada
Tuhan selain Dia, yang tak pernah menyentuhnya fikiran para pemikir dan
renungan para perenung. Anugerahilah, Duhai Dia, Mata KetunggalanMu yang tak
lain adalah DiriMu, yang dengannya kutatapi Keagungan Samudera KeberadaanMu.
Amin.
Dan Dia Lebih
Mengetahui
Dengan NamaNya
dan KehadiranNya di segala ahwal, sungguh keberadaan sesuatu mungkin di dalam
dirinya mungkin tidak di dalam dirinya. Contoh keberadaan sesuatu yang di dalam
dirinya adalah KeberadaanNya. Sedangkan keberadaan segala substansi dan aksiden
ditinjau dari bahwa keberadaan tersebut adalah sejenis relasi antara hal-hal
yang mungkin adalah keberadaan yang tidak di dalam dirinya sendiri, mereka
semua hanyalah citra dan bebayangan; dengan dirinya sendiri mereka semua
bukanlah sesuatu dan bukanlah kenyataan.
Sedang dalam
sekalian alam, yang tak lain adalah ManifestasiNya, terdapat tiga hal primer
yang "menyusun" realitas, yakni, keberadaan (eksistensi), quiditas
(esensi), kemenjadian (yang merepresentasikan "gerak" atau
"perubahan"). Maka apakah yang diciptakan atau dibuat-Nya? Apakah Ia
membuat ketiga-tiganya ataukah Ia hanya membuat beberapa di antara ketiganya?
Maka, sungguh
secara hakiki Ia membuat eksistensi (kopulatif) segala, dan tak membuat
quiditas maupun kemenjadian. Quiditas maupun kemenjadian hanyalah efek
aksidental pancaran (pembuatan) eksistensiNya. Allah adalah Cahaya Langit dan
Bumi. Sungguh quiditas hanyalah ada dalam fikiran, karena dalam realitas suatu
efek atau akibat tak pernah bisa dipisahkan dengan sebabnya, sedang quiditas
suatu hal sebagai sebab dapat dipisahkan dengan quiditas hal yang menjadi
akibatnya. Kemenjadian, yakni perubahan dari satu quiditas menjadi quiditas
lain pun, hanya ada dalam fikiran.
Maha Suci Dia,
Yang Melimpahkan DiriNya, yakni WujudNya, pada sekalian alam dan sungguh
sekalian alam tak lain adalah "bayangan"Nya. Maha Suci Dia, Yang
Membuat segalanya adalah keberadaan, dan sungguh semua keberadaaan bukanlah
selain diriNya tapi bukan pula diriNya. Maha Suci Dia, Yang Membuat segala
keberadaan "kopulatif" (al-wujud ar-robith) dan hanya Dia-lah
Keberadaan Murni tanpa kebutuhan, tanpa relasi dengan apa pun, tanpa
keterbatasan, Sempurna Mutlak dalam Ketunggalannya.
Maha Suci Dia,
yang membuat segala kejamakan tak terlepas dari KetunggalanNya, bahkan adalah
Manifestasi KetunggalanNya, bisu-lah, terkuncilah mulut-mulut, lidah-lidah dan
pena-pena yang hendak mengungkapkanNya, sungguh Dia menyaksikan bahwa Tiada
Tuhan selain Dia, yang tak pernah menyentuhnya fikiran para pemikir dan
renungan para perenung. Anugerahilah, Duhai Dia, Mata KetunggalanMu yang tak
lain adalah DiriMu, yang dengannya kutatapi Keagungan Samudera KeberadaanMu.
Amin.
Dan Dia Lebih
Mengetahui
IDEOLOGI SOSIALISME DAN KITA
I. Ideologi Sosialisme
Apakah ideologi sosialisme itu? Ideologi sendiri berasal dari bahasa Yunani
yakni idea (gagasan) dan logos (studi tentang, ilmu pengetahuan tentang).
Idelogi artinya sistem gagasan yang mempelajari keyakinan-keyakinan dan hal-hal
ideal filosofis, ekonomis, politis dan sosial. Istilah “ideologi” dipergunakan
oleh Marx dan Engels mengacu kepada seperangkat keyakinan yang disajikan
sebagai obyek. Obyek tersebut tidak lain adalah pencerminan kondisi-kondisi
material masyarakat.
Sosialisme sebagai ideologi, telah lama berkembang sejak ratusan tahun yang lalu. Sosialisme sendiri berasal dari bahasa Latin yakni socius (teman). Jadi sosialisme merujuk kepada pengaturan atas dasar prinsip pengendalian modal, produksi dan kekayaan oleh kelompok.
Istilah sosialisme pertama kali dipakai di Prancis pada tahun 1831 dalam sebuah artikel tanpa judul oleh Alexander Vinet. Pada masa ini istilah sosialisme digunakan untuk pembedaan dengan indvidualisme, terutama oleh pengikut-pengikut Saint-Simon, bapak pendiri sosialisme Prancis. Saint-Simon lah yang menganjurkan pembaruan pemerintahan yang bermaksud mengembalikan harmoni pada masyarakat.
Pada akhir abad ke-19, Karl Marx dan Friedrich Engels mencetuskan apa yang disebut sebagai sosialisme ilmiah. Ini untuk membedakan diri dengan sosialisme yang berkembang sebelumnya. Marx dan Engels menyebut sosialisme tersebut dengan sosialisme utopia, artinya sosialisme yang hanya didasari impian belaka tanpa kerangka rasional untuk menjalankan dan mencapai apa yang disebut sosialisme. Oleh karena itu Marx dan Engels mengembangkan beberapa tesis untuk membedakan antara sosialisme dan komunisme. Menurut mereka, sosialisme adalah tahap yang harus dilalui masyarakat untuk mencapai komunisme. Dengan demikian komunisme atau masyarakat tanpa kelas adalah tujuan akhir sejarah. Konsekwensinya, tahap sosialisme adalah tahap kediktatoran rakyat untuk mencapai komunisme, seperti halnya pendapat Lenin yang mengatakan bahwa Uni Sovyet berada dalam tahap sosialisme.
Dalam perkembangannya hingga pertengahan abad ke-20, sosialisme memiliki beberapa cabang gagasan. Secara kasar pembagian tersebut terdiri dari pertama adalah Sosialisme Demokrasi, kedua adalah Marxisme Leninisme, Ketiga adalah anarkisme dan sindikalisme [lihat tabel]. Harus diakui bahwa pembagian ini sangatlah sederhana mengingat begitu banyak varian sosialisme yang tumbuh dan berkembang hingga saat ini. Sebagai contoh Marxisme yang di satu sisi dalam penafsiran Lenin menjadi Komunisme dan berkembang menjadi Stalinisme dan Maoisme. Disisi lain Marxisme berkembang menjadi gerakan Kiri Baru dalam pemahaman para pemikir seperti Herbert Marcuse di era 1970an. Sama halnya dengan anarkisme yang terpecah menjadi beberapa aliran besar seperti anarkisme mutualis dengan bapak pendirinya yakni P J Proudhon dan anarkis kolektivis seperti Mikhail Bakunin. Anarkisme juga memberi angin bagi tumbuhnya gerakan gerakan sindikalis yang menguasai banyak pabrik di Barcelona semasa Perang Saudara Spanyol 1936-1939.
Hingga saat ini, partai-partai Sosial Demokrat masih tetap berdiri seperti halnya di Eropa seperti Jerman, Belanda, Norwegia dan Prancis. Beberapa yang menganut sosialisme juga seperti halnya partai-partai buruh seperti di Inggris dan Itali. Partai-partai Komunis banyak yang membubarkan diri atau bertahan dengan berganti nama dan mencoba untuk tetap hidup dengan ikut pemilu di negara-negara Eropa Timur setelah runtuhnya Uni Sovyet. Beberapa diantaranya bahkan bisa berkuasa kembali seperti di Polandia dan Ceko dengan jalan yang demokratis.
Uraian diatas menimbulkan banyak pertanyaan diantara kita, apakah Marxisme sebagai dasar sosialisme yang mengklaim dirinya ilmiah masih layak dipakai? Bagaimanakah masa depan sosialisme nantinya? Bagaimanakah peran ideologi dalam sebuah perjalanan bangsa?
Sosialisme sebagai ideologi, telah lama berkembang sejak ratusan tahun yang lalu. Sosialisme sendiri berasal dari bahasa Latin yakni socius (teman). Jadi sosialisme merujuk kepada pengaturan atas dasar prinsip pengendalian modal, produksi dan kekayaan oleh kelompok.
Istilah sosialisme pertama kali dipakai di Prancis pada tahun 1831 dalam sebuah artikel tanpa judul oleh Alexander Vinet. Pada masa ini istilah sosialisme digunakan untuk pembedaan dengan indvidualisme, terutama oleh pengikut-pengikut Saint-Simon, bapak pendiri sosialisme Prancis. Saint-Simon lah yang menganjurkan pembaruan pemerintahan yang bermaksud mengembalikan harmoni pada masyarakat.
Pada akhir abad ke-19, Karl Marx dan Friedrich Engels mencetuskan apa yang disebut sebagai sosialisme ilmiah. Ini untuk membedakan diri dengan sosialisme yang berkembang sebelumnya. Marx dan Engels menyebut sosialisme tersebut dengan sosialisme utopia, artinya sosialisme yang hanya didasari impian belaka tanpa kerangka rasional untuk menjalankan dan mencapai apa yang disebut sosialisme. Oleh karena itu Marx dan Engels mengembangkan beberapa tesis untuk membedakan antara sosialisme dan komunisme. Menurut mereka, sosialisme adalah tahap yang harus dilalui masyarakat untuk mencapai komunisme. Dengan demikian komunisme atau masyarakat tanpa kelas adalah tujuan akhir sejarah. Konsekwensinya, tahap sosialisme adalah tahap kediktatoran rakyat untuk mencapai komunisme, seperti halnya pendapat Lenin yang mengatakan bahwa Uni Sovyet berada dalam tahap sosialisme.
Dalam perkembangannya hingga pertengahan abad ke-20, sosialisme memiliki beberapa cabang gagasan. Secara kasar pembagian tersebut terdiri dari pertama adalah Sosialisme Demokrasi, kedua adalah Marxisme Leninisme, Ketiga adalah anarkisme dan sindikalisme [lihat tabel]. Harus diakui bahwa pembagian ini sangatlah sederhana mengingat begitu banyak varian sosialisme yang tumbuh dan berkembang hingga saat ini. Sebagai contoh Marxisme yang di satu sisi dalam penafsiran Lenin menjadi Komunisme dan berkembang menjadi Stalinisme dan Maoisme. Disisi lain Marxisme berkembang menjadi gerakan Kiri Baru dalam pemahaman para pemikir seperti Herbert Marcuse di era 1970an. Sama halnya dengan anarkisme yang terpecah menjadi beberapa aliran besar seperti anarkisme mutualis dengan bapak pendirinya yakni P J Proudhon dan anarkis kolektivis seperti Mikhail Bakunin. Anarkisme juga memberi angin bagi tumbuhnya gerakan gerakan sindikalis yang menguasai banyak pabrik di Barcelona semasa Perang Saudara Spanyol 1936-1939.
Hingga saat ini, partai-partai Sosial Demokrat masih tetap berdiri seperti halnya di Eropa seperti Jerman, Belanda, Norwegia dan Prancis. Beberapa yang menganut sosialisme juga seperti halnya partai-partai buruh seperti di Inggris dan Itali. Partai-partai Komunis banyak yang membubarkan diri atau bertahan dengan berganti nama dan mencoba untuk tetap hidup dengan ikut pemilu di negara-negara Eropa Timur setelah runtuhnya Uni Sovyet. Beberapa diantaranya bahkan bisa berkuasa kembali seperti di Polandia dan Ceko dengan jalan yang demokratis.
Uraian diatas menimbulkan banyak pertanyaan diantara kita, apakah Marxisme sebagai dasar sosialisme yang mengklaim dirinya ilmiah masih layak dipakai? Bagaimanakah masa depan sosialisme nantinya? Bagaimanakah peran ideologi dalam sebuah perjalanan bangsa?
II. Kegagalan
Marxisme
Banyak
diantara para pemikir sosialis maupun praktisi gerakan gerakan sosialisme masih
mengandalkan Marxisme sebagai dasar pemikiran maupun gerakannya. Ada yang
menggunakan Marxisme secara kritis akan tetapi ada juga yang secara dogmatis
memujanya habis habisan hingga saat ini. Kecenderungan kecenderungan demikian
terjadi tidak hanya di negara-negara Eropa akan tetapi juga di negara-negara
dunia ketiga sepertihalnya Indonesia. Di Eropa, Marxisme digunakan sebagai alat
analisa pemikiran, artinya peran Marxisme lebih berlaku pada
perdebatan-perdebatan intelektual filsafat dalam melahirkan berbagai varian
varian baru. Sementara di negara-negara dunia ketiga dimana tingkat kegiatan
praksis sosialisme lebih berjalan, Marxisme masih menjadi ideologi dasar dan
terutama bagi mereka yang baru saja lepas dari kungkungan rezim otoriter
militeristik dimana Marxisme masih memukau seperti ‘menemukan air ditengah
dahaga ideologi’ dengan teori-teori pembebasannya.
Harus diakui bahwa hampir satu abad Marxisme memberi kontribusi baik maupun buruk yang tak terhingga kepada dunia. Marxisme memberi peringatan kepada kita tentang bahaya kapitalisme industri dan menyadarkan kita tentang pentingnya kebersamaan manusia secara kolektif.
Meski demikian, Marxisme gagal untuk membuktikan teori-teorinya dan gagal pula didalam tingkatan yang lebih kongkret. Bubarnya Uni Sovyet, yang dikatakan masih berada dalam fase sosialis menuju masyarakat komunis adalah kegagalan Marxisme pada tingkatan tersebut. Maka dapat dikatakan bahwa Marxisme gagal baik secara teori maupun prakteknya.
Kegagalan teoritis Marxisme yang pertama adalah tentang teori nilai lebih. Marx menafisrkan kapitalisme dengan teori lebih kerja sebagai suatu sistem eksploitasi kelas buruh oleh kaum kapitalis. Kaum kapitalis menyimpan bagi dirinya sendiri nilai lebih itu yang dihasilkan oleh kaum pekerja. Akumulasi dan konsentrasi kekayaan dalam tangan kelompok kapitalis yang jumlahnya semakin kecil, bersama dengan hukum kemunduran tingkat keuntungan, menuju kepada kehancuran diri sistem eksploitasi tersebut. Pada akhirnya menurut Marx, akan terjadi pengambil alihan oleh kelas buruh. Artinya kelas buruh (proletariat) memegang kendali sarana produksi dan untuk membangun kediktaturan proletariat sebagai tahap awal transisi menuju masyarakat tanpa kelas. Hal ini gagal karena kapitalisme tidaklah menyusut hingga masa sekarang. Kapitalisme sendiri bisa menyesuaikan perkembangan dengan memberi tuntutan tuntutan buruhnya di bawah standar. Hal ini terlihat seperti di Indonesia, kaum pekerja terjebak dan larut dalam tuntutan tuntutan upah minimum yang memang di rekayasa olah para kapitalis. Kaum buruh pun tidak pernah terjadi untuk mengambil alih kepemilikan kaum kapitalis secara ekonomis mengingat faktor faktor sekunder seperti politik memang tidak pernah diperhitungkan secara jelas dalam Marxisme.
Kegagalan Marxisme yang kedua adalah klaim tentang sosialisme ilmiah itu sendiri. Marx memang menolak sosialisme bentuk lama yang dikatakan utopis dan mencoba memberi kerangka rasional dalam gagasannya. Akan tetapi Marxisme juga tenggelam dalam mimpi utopiannya sendiri tentang masyarakat tanpa kelas. Mengapa? Sebab penentuan cita-cita akhir, bagaimanapun hakekatnya bertentangan langsung dengan prinsip dialektis yang didengungkan oleh Marx sendiri.
Kegagalan Marxisme yang ketiga adalah pemahaman yang dilanjutkan oleh Lenin dan Stalin telah berubah menjadi suatu kolektivisme sempit. Produksi barang material tidak lagi diarahkan kepada peningkatan keberadaan personal, melainkan kepada pertumbuhan kekuasaan kolektif tersebut.
Bukti paling kongkret dari kegagalan kegagalan diatas adalah bubarnya negara Uni Sovyet yang selama 70 tahun lebih memakan korban jutaan warganya. Prinsip sosialisme sebagai kebersamaan sangatlah penting, meski demikian kita juga tidak bisa mengingkari hak hak azasi yang paling pribadi sebagai manusia dalam kerangka nilai etis. Fase kediktaturan proletarian yang sama otoriternya dengan fasisme jelas tidak bisa diterima bahkan oleh warganya sekalipun.
III. Kritik AnarkismeHarus diakui bahwa hampir satu abad Marxisme memberi kontribusi baik maupun buruk yang tak terhingga kepada dunia. Marxisme memberi peringatan kepada kita tentang bahaya kapitalisme industri dan menyadarkan kita tentang pentingnya kebersamaan manusia secara kolektif.
Meski demikian, Marxisme gagal untuk membuktikan teori-teorinya dan gagal pula didalam tingkatan yang lebih kongkret. Bubarnya Uni Sovyet, yang dikatakan masih berada dalam fase sosialis menuju masyarakat komunis adalah kegagalan Marxisme pada tingkatan tersebut. Maka dapat dikatakan bahwa Marxisme gagal baik secara teori maupun prakteknya.
Kegagalan teoritis Marxisme yang pertama adalah tentang teori nilai lebih. Marx menafisrkan kapitalisme dengan teori lebih kerja sebagai suatu sistem eksploitasi kelas buruh oleh kaum kapitalis. Kaum kapitalis menyimpan bagi dirinya sendiri nilai lebih itu yang dihasilkan oleh kaum pekerja. Akumulasi dan konsentrasi kekayaan dalam tangan kelompok kapitalis yang jumlahnya semakin kecil, bersama dengan hukum kemunduran tingkat keuntungan, menuju kepada kehancuran diri sistem eksploitasi tersebut. Pada akhirnya menurut Marx, akan terjadi pengambil alihan oleh kelas buruh. Artinya kelas buruh (proletariat) memegang kendali sarana produksi dan untuk membangun kediktaturan proletariat sebagai tahap awal transisi menuju masyarakat tanpa kelas. Hal ini gagal karena kapitalisme tidaklah menyusut hingga masa sekarang. Kapitalisme sendiri bisa menyesuaikan perkembangan dengan memberi tuntutan tuntutan buruhnya di bawah standar. Hal ini terlihat seperti di Indonesia, kaum pekerja terjebak dan larut dalam tuntutan tuntutan upah minimum yang memang di rekayasa olah para kapitalis. Kaum buruh pun tidak pernah terjadi untuk mengambil alih kepemilikan kaum kapitalis secara ekonomis mengingat faktor faktor sekunder seperti politik memang tidak pernah diperhitungkan secara jelas dalam Marxisme.
Kegagalan Marxisme yang kedua adalah klaim tentang sosialisme ilmiah itu sendiri. Marx memang menolak sosialisme bentuk lama yang dikatakan utopis dan mencoba memberi kerangka rasional dalam gagasannya. Akan tetapi Marxisme juga tenggelam dalam mimpi utopiannya sendiri tentang masyarakat tanpa kelas. Mengapa? Sebab penentuan cita-cita akhir, bagaimanapun hakekatnya bertentangan langsung dengan prinsip dialektis yang didengungkan oleh Marx sendiri.
Kegagalan Marxisme yang ketiga adalah pemahaman yang dilanjutkan oleh Lenin dan Stalin telah berubah menjadi suatu kolektivisme sempit. Produksi barang material tidak lagi diarahkan kepada peningkatan keberadaan personal, melainkan kepada pertumbuhan kekuasaan kolektif tersebut.
Bukti paling kongkret dari kegagalan kegagalan diatas adalah bubarnya negara Uni Sovyet yang selama 70 tahun lebih memakan korban jutaan warganya. Prinsip sosialisme sebagai kebersamaan sangatlah penting, meski demikian kita juga tidak bisa mengingkari hak hak azasi yang paling pribadi sebagai manusia dalam kerangka nilai etis. Fase kediktaturan proletarian yang sama otoriternya dengan fasisme jelas tidak bisa diterima bahkan oleh warganya sekalipun.
Anarkisme sendiri sering disalahartikan sebagai kekacauan (chaos) yang berdampak penghancuran kepada masyarakat. Hal ini dimaklumi bahwa orang jarang mengenal gagasan-gagasan anarkisme yang dibawa oleh Pierre Joseph Proudhon, Mikhail Bakunin, Piotr Kropotkin dan lainnya. Ini disebabkan anarkisme memang bukan ideologi terstruktur seperti halnya sosialisme atau komunisme. Pada awal abad ke-19 anarkisme tumbuh dan menjadi lawan bagi Marxisme, karena klaim anarkisme yang libertarian berhadapan dengan Marxisme yang otoriterian. Baik anarkisme maupun Marxisme pada masa itu sepakat bahwa sebuah revolusi dibutuhkan untuk menumbangkan pemerintah borjuis. Akan tetapi para pengikut Marx menginginkan Negara digunakan sebagai sarana kediktaturan proletariat dan baru akan dibubarkan bila fase komunisme yakni masyarakat tanpa kelas sudah terwujud. Kaum anarkis justru menginginkan Negara harus dibubarkan sedari awal. Mereka berkeyakinan bahwa pengambil alihan kekuasaan dengan membiarkan Negara berdiri hanya akan melestarikan dan membuat kekuasaan yang jauh lebih sulit untuk ditumbangkan.
Pada tulisan ini, hanya akan dibahas kritik anarkisme terhadap demokrasi, khususnya seperti yang diungkapkan oleh George Woodcock dan Noam Chomsky pada dekade akhir abad 20. Menurut kaum anarkis, demokrasi adalah hal yang terbaik diantara semua yang terburuk. Demokrasi, kalau pun mau digunakan, haruslah dalam bentuk langsung dan partisipatoris. Artinya, demokrasi yang benar benar melibatkan seluruh peran warga masyarakat dalam menjalan fungsinya.
Ada beberapa kritik anarkisme terhadap demokrasi. Pertama, pemilu sebagai sarana demokrasi dianggap melenyapkan hak hak individu. Sebagai contoh, orang akan memilih wakil wakilnya yang tidak dikenal dan belum tentu menjalankan aspirasi si pemilih. Hal ini akan terus berulang dalam setiap pemilu berikutnya dan menjadi suatu kebiasaan yang buruk bagi kesadaran setiap orang. Oleh karena itu kaum anarkis menolak bentuk perwakilan (representation) dan menyukai bentuk pendelegasian bagi setiap keputusan atau kepentingan karena dirasa lebih menyeluruh.
Kritik kedua, demokrasi mengandung ancaman berupa kediktaturan mayoritas. Bagi kaum anarkis tidak ada jaminan bagi para pemeluk demokrasi terhadap golongan minoritas atau kelompok kecil. Hal ini seringkaliterjadi berupa pengabaian hak hak minoritas suara baik dalam bentuk populasi suku, agama, ras, maupun kebudayaan.
Kritik ketiga, demokrasi mengandung bahaya kongkret yakni diterimanya kembali kelompok-kelompok otoriterian seperti partai komunis untuk mendapat peluang menang secara demokratis dalam pemilu. Hal ini terbukti dalam pemilu di Polandia dan Ceko dimana partai komunis kembali memerintah dengan suara mayoritas. Jika demikian, ancaman yang akan terjadi adalah penumbangan demokrasi itu sendiri oleh kelompok-kelompok otoriterian.
IV. Masa Depan Indonesia
Dari tulisan diatas jelaslah sangat penting sebuah ideologi untuk bisa dipahami dengan kesadaran rasional dan dimiliki sebagai sebuah pijakan langkah kedepan bagi perkembangan sebuah masyarakat. Ideologi tidak bisa dipahami secara buta dan dogmatis, karena masyarakat terus berubah dan berkembang sesuai dengan situasinya baik secara subyektif maupun obyektif. Secara subyektif, kesadaran masyarakat memang harus dibangun. Problem di Indonesia untuk hal ini adalah pemahaman ideologi bukanlah di pelajari secara rasional, melainkan sekedar penerimaan warisan tradisi akan pergerakan politik yang mengatasnamakan ideologi. Orang lebih cenderung mengidentifikasi atau menolak dirinya sebagai sebuah penganut ideologi tertentu bukan karena ia belajar memahami nilai ideologi tersebutsecara rasional, melainkan karena faktor sejarah dan kepentingan yang lebih dominan terhadap dirinya. Demikian pula secara obyektif, problem yang ada dimasyarakat seperti saat ini tentunya juga butuh sebuah keyakinan yang kuat terhadap cita cita perubahan. Ideologi sebagai sebuah cita cita haruslah bisa diandalkan dan dipercaya untuk bisa memberi jalan terhapa permasalahan tersebut.
Maka meski dengan usia baru 100 tahun sejak para founding fathers seperti Soekarno, Hatta, Sjahrir dan lainnya, Republik Indonesia boleh dibilang sangatlah miskin akan pemahaman ideologi yang berkelanjutan. Orang lebih senang melihat figur tertentu untuk tampil ke panggung politik bila dibandingkan tahu secara jelas pemikiran pemikiran macam apa yang dihasilkan oleh figur tersebut. Inilah yang disebut favoritisme, seperti halnya yang terjadi di Amerika Latin pada abad ke 19 dimana banyak junta militer jatuh bangun berkuasa silih berganti.
Sosialisme sebagai ideologi yang telah menjadi pilihan kita, tentunya juga harus dipahami dan dijalankan dalam konteks nalar yang rasional. Artinya, mengetahui dan meyakini sosialisme bukanlah sekedar memahami sejarah, mendogmakan pemikiran lampau dan enggan lepas dari pewarisan tradisi yang sudah ada. Sosialisme harus mampu menjawab berbagai tantangan perkembangan masyarakat dan zaman yang kini sedang terjadi. Seperti halnya problem lingkungan hidup, kemanusiaan, gender dan nilai etis moral lainnya yang pada dekade lalu belum dianggap sebagai suatu hal yang sangat penting. Oleh karena itu Sosialisme yang harus diperjuangkan adalah sosialisme yang benar-benar mengakui nilai nilai kemanusiaan, sosialisme yang benar-benar kerakyatan dalam arti mampu secara maksimal memberi rasa keadilan terhadap masyarakat dan sosialisme yang secara sungguh-sungguh tumbuh karena gagasan-gagasan mulia, bukan sekedar jargon masa lalu.
Sumbangan sosialisme tradisional seperti Marxisme dan kritik anarkisme terhadap demokrasi tentunya juga merupakan hal yang patut untuk diperhatikan. Demokrasi telah menjadi pilihan kita dan kita secara sadar paham segala kemungkinan penyimpangan-penyimpangannya. Penyalahgunaan kekuasaan, pengatasnamaan hukum, konflik kepentingan mayoritas–minoritas, adalah hal-hal yang telah tampak di depan mata. Indonesia memang sedang dalam masa transisi. Hal inilah yang harus benar benar dijaga dan diperhatikan agar perubahan yang sekarang terjadi tidak akan salah arah dalam proses berdemokrasi sebagai pelajaran pertama menuju masyarakat yang adil dan makmur.
Paradigma Pendidikan dan Implikasinya Terhadap Metode dan Praktek Pendidikan
Proses
pendidikan baik formal maupun non formal pada dasrnya memiliki peran penting
melegitimasi bahkan melanggengkan sistem dan struktur social yang ada, juga
sebaliknya merupakan proses perubahan social yang lebih adil. Peran pendidikan
terhadap sistem dan struktur social tersebut sangat bergantung pada paradigma
pendidikan yang mendasarinya. Untuk memahami kedua paradigma tersebut, perlu
dipahami terlebih dahulu ideology social dan implikasinya terhadap berbagai
teori pendidikan yang dianut masing-masing. Berikut ini dibahas berbagai
paradigma, ideology, teori dan implikasinya terhadapa pilihan teknik proses
belajar mengajar dalam pendidikan. Untuk itu pembahasan paradigma ini akan
difokuskan ke dalam tiga aspek, yakni:
- Paradigma teori pendidikan
- Implikasi paradigma pendidikan terhadap metodologi pendidikan
- Implikasinya terhadap model pendekatan dan teknik pendidikan.
Perlu dibahas
terlebih dahulu berbagai aliran pendekatan pendidikan. Pemetaan aliran
pendidikan yang dipergunakan disini adalah mengikuti Giroux and Aronowitz (1985) yang mengkategorikan pendekatan
pendidikan menjadi tiga aliran, yakni pendekatan konservatif, liberal dan kritis serta mengupas
bagaimana masing-masing paradigma pendidikan tersebut berimplikasi terhadap sub
sistem pendidikan lainnya.
PARADIGMA/
METODE
|
KONSERVATIF
|
LIBERAL
|
RADIKAL
|
IMPLIKASI
KESADARAN
|
PEDAGOGI
|
1
|
2
|
3
|
MAGIS
|
ANDRAGOGI
|
4
|
5
|
6
|
NAIF
|
DIALOGIS
|
7
|
8
|
9
|
KRITIS
|
Paradigma Konservatif
Bagi kaum
konservatif, ketidaksederajatan masyarakat merupakan suatu hokum keharusan
alami, suatu hal yang mustahil bisa dihindari serta sudah merupakan ketentuan
sejarah atau bahakan takdir tuhan. Perubahan social bagi mereka bukanlah suatub
yang harus diperjuangkan, karena perubahan hanya akan membuat manusia lebih
sengsara saja. Dalam bentuknya yang klasik atau awal paradigma konservatif
dibangun berdasrkan keyakinan bahwa masyarakat pada dsarnya tidak bisa
merencanakan perubahan arau mempengaruhi perubahan social, hanya Tuhanlah yang
merencanakan keadaan masyarakat dan hanya dialah yang tahu makna dibalikitu
semua. Dengan pandangan seperti itu, kaum konservatif lama tidak menganggap
rakyat memiliki kekuatan atau kekuasaan untuk merubah kondisi mereka.
Namun dalam perjalanan selanjutnya,
paradigma konservatif cenderung lebih menyalahkan subjeknya. Bagi kaum
konservatif, mereka yang menderita, yakni orang-orang miskin, buta huruf, kaum
tertindas dan mereka yang dipenjara, menjadi demikian karena salah mereka sendiri.
Karena toh banyak orang lain yang ternyata bisa bekerja keras dan berhasil
meraih sesuatu. Bnayak orang ke sekolah dan belajar untuk berperilaku baik, dan
oleh karenanya tidak dipenjara. Kaum miskin haruslah sabar dan belajar untuk
menunggu samapai giliran mereka dating, karena pada akhirnya kelak semua orang
akan mencapai kebebasan dan kebahagiaan. Kaum konservatif sangat melihat
pentingnya harmoni dalam masyarakat dan menghindarkan konflik dan kontradiksi.
Paradigma Liberal
Golongan kedua
yakni kaum Liberal, berangkat dari keyakinan bahwa memang ada masalah di
masyarakat tetapi bagi mereka pendidikan tak ada kaitannya dengan persoalan
politik dan ekonomi masyarakat. Dengan keyakinan seperti itu tugas pendidikan
juga tidak ada sangkut pautnya dengan persolan politik dan ekonomi. Sungguhpun
demikian, kaum Liberal selalu berusaha menyesuaikan pendidikan dengan keadaan
ekonomi dan politik di uar pendidikan, dengan jalan memecahkan berbagai masalah
yang ada dalam pendidikan dengan usaha reformasi “kosmetik”. Umumnya yang
dilakukan adalah seperti: perlunya membangun fasilitas dan kelas baru,
memodernkan peralatan sekolah dengan pengadaan computer yang lebih canggih dan
laboratorium, serta berbagai uasaha untuk menyehatkan rasio guru-murid. Selain
itu juga berbagai investasi untuk meningkatkan metodologi pengajaran dan
pelatihan yang lebih efisien dan partisipatif, seperti kelompok dinamik (group dynamics) ‘learning by doing’, experimental
learning’, ataupun bahkan Cara Belajar Siswa Aktif (CBSA) dan sebagainya.
Usaha peningkatan tersebut terisolasi dengan sistem dan struktur ketidakadilan
kelas dan gender, dominasi budaya dan
represi politik yang ada dalam masyarakat.
Kaum konservatif dan Liberal sama-sama
berpendirian bahwa pendidikan adalah a-politik, dan “excellence” haruslah merupakan target utama pendidikan. Kaum
Liberal beranggapan bahwa masalah masyarakat dan pendidikan adalah dua masalah
yang berbeda. Mereka tidak melihat kaitan pendidikan dalam struktur kelas dan
dominasi politik dan budaya serta diskriminasi gender di masyarakat luas.
Bahkan pendidikan menurut salah satu aliran Liberalyakni structural functionalisme justru dimaksud sebagai sarana untuk
menstabilkan norma dan nilai masyarakat. Pendidikan justru dimaksudkan sebagai
media untuk mensisialisasikan dan mereproduksi nilai-nilai tata susila
keyak8inan dan nilai-nilai dasar agar masyarakat luas berfungsi secara baik.
Pendekatan Liberal inilah yang mendominasi
segenap pemikiran tentang pendidikan baik pendidikan formal seperti sekolah,
maupun pendidikan non formal seperti berbagai macam pelatihan. Akar dari
pendidikan ini adalah Liberalisme, yakni suatu pandangan yang menekankan
pengembangan kemampuan, melindungi hak, dan kebebasan (freedom) serta mengidentifikasi problem dan upaya perubahan social
secara inskrimental demi menjaga stabilitas jangka panjang. Konsep pendidikan
dalam tradisi Liberal berakar pada cita-cita Barat tentang individualisme. Ide
politik Liberalisme sejarahnya berkait erat dengan bangkitnya kelas menengah
yang diuntungkan oleh Kapitalisme. Pengaruh Liberalisme dalam pendidikan dapat
dianalisa dengan melihat komponen-komponennya. Komponen pertama, adalah
komponen pengaruh filsafat Barat tentang model manusia universal yakni model
manusia Amerika dan Eropa. Model tipe ideal mereka adalah manusia “rationalis liberal”, seperti: pertama bahwa semua manusia memiliki
potensi sama dalam intelektual, Kedua
baik tatanan alam maupun norma social dapat ditangkap oleh akal. Ketiga adalah “individualis” yakni adanya anggapan bahwa manusia adalah atomistic dan otonom (Bay, 1998). Menempatkan
individu secara atomistic, membawa
pada keyakinan bahwa hubungan social sebagai kebetulan, dan masyarakat dianggap
tidak stabil karena interest
anggotanya yang tidak stabil.
Pengaruh liberal ini kelihatan dalam
pendidikan yang mengutamakan prestasi melalui proses persaingan antar murid.
Perangkingan untuk menentukan murid terbaik, adalah implikasi dari paham
pendidikan ini. Pengaruh pendidikan liberal juga dapat dilihat dalam berbagai
pendekatan “andragogy” seperti dalam training management, kewiraswataan,
manajemen lainnya. Achievement Motivation
Training (AMT) yang diciptakan oleh David Mclelland adalah contoh terbaik
pendekatan liberal. Mclelland berpendapat bahwa akar masalah keterbelakangan
dunia ketiga karena mereka tidakl memiliki apa yang dinamakan N
Ach . Oleh karena syarat pembangunan bagi rakyat dunia ketiga
adalah perlu virus “N Ach " yang membuat
individu agresif dan rasional (Mclelland, 1961)4. Berbagai pelatihan
pengembangan masyarakat (Community
Development) seperti usaha bersama, pertanian dan lain sebagainya, umumnya
berpijak pada paradigma pendidikan liberal ini.
Positivisme juga berpengaruh dalam
pendidikan liberal. Positivisme sebagai suatu paradigma ilmu social yang
dominant dewasa ini juga menjadi dasar bagi model pendidikan Liberal.
Positivisme pada dasarnya adalah ilmu social yang dipinjam dari pandangan,
metode dan teknik ilmu alam memahami realitas. Positivisme sebagai suatu aliran filsafat berakar pada
tradisi ilmu-ilmu social yang dikembangkan dengan mengambila cara ilmu alam
menguasai benda, yakni dengan kepercayaan adanya universalisme dan
generalisasi, melalui metode determinasi, ‘fixed
law’ atau kumpulan hokum teori (Schoyer, 1973). Positivisme berasumsi bahwa
penjelasan tunggal dianggap ‘appropriate’ untuk semua fenomena. Oleh karena itu
mereka percaya riset social ataupun pendidikan harus didekati dengan metode
ilmiah, yakni objektif dan bebas nilai. Pengetahuan selalu menganut hukum ilmiah
yang bersifat universal, prosedur harus dikuantifisir dan diverifikasi dengan
metode “scientific”. Dengan kata
lain, positivisme mensyaratkan pemisahan fakta dan values dalam rangka menuju
pada pemahaman objektif atas realitas social. Habermas, seorang penganut teori
Kritik melakukan kritik terhadap positivisme dengan menjelaskan berbagai
kategori pengetahuan sebagai berikut.5 Pertama, adalah apa yang disebutnya sebagai ‘instrumental knowledge’ atau positivisme dimana tujuan pengetahuan
adalah untuk mengontrol, memprediksi, memanipulasi dan eksploitasi terhadap
objeknya. Kedua, ‘hermeneutic knowledge’ atau interpretative knowledge, dimana tugas
ilmu pengetahuan hanyalah untuk memahami. Ketiga
adalah cirri ‘critical knowledge’
atau ‘emancipatory knowledge’ yakni
suatu pendekatan yang dengan kedua pendekatan sebelumnya. Pendekatan ini
menempatkan pengetahuan sebagai katalis untuk membebaskan potensi manusia.
Paradigma pendidikan liberal pada dasarnya sangatlah positivistic.
Paradigma Kritis/ Radikal
Pendidikan bagi
mereka merupakan arena perjuangan politik. Jika bagi konservatif pendidikan
bertujuan untuk menjaga status quo, sementara bagi kaum liberal untuk perubahan
moderaqt, maka paradigma kritis menghendaki perubahan struktur secara
fundamental dalam ekonomi politik masyarakat dimana pendidikan berada.6
Bagi mereka kelas dan diskriminasi gender dalam masyarakat tercermin pula dalam
dunia pendidikan. Paham ini bertentangan dengan pandangan kaum liberal dimana
pendidikan dianggap terlepas dari persoalan kelas dan gender yang ada dalam
masyarakat.
Dalam perspektif kritis, urusan pendidikan
adalah melakukan refleksi kritis, terhadap ‘the
dominant ideology’ kea rah transformaqsi social. Tugas utama pendidikan
adalah menciptakan ruang agar sikap kritis terhadap sistem dan struktur
ketidakadilan, serta dekonstruksi dan advokasi menuju sistem social yang lebih
adil. Pendidikan tidak mungkin dan tidak bisa bersikap netral, bersikap
objektif maupun berjarak dengan masyarakat (detachment) seperti anjuran
positivisme. Visi pendidikan adalah melakukan kritik terhadap sisyem dominan
sebagai pemihakan terhadap rakyat kecil dan yang tertindas untuk mencipta
sistem social baru yang lebih adil. Dalam perspektif kritis, pendidikan harus
mampu mencipta ruang untuk mengidentifikasi dan menganalisa secara bebas dan
kritis untuk transformasi social. Dengan kata lain tugas utama pendidikan
adalah ‘memanusiakan ‘ kembali manusia yang mengalami dehumanisasi karena
sistem dan struktur yang tidak adil.
Implikasi Paradigma Pendidikan Dalam
Metodologi
Bagaimana
implikasi ketiga pandangan pendidikan tersebut terhadap metodologi pendekatan
pendidikan. Untuk itu saya meminjam analisis Freire (1970) dalam membagi
ideology pendidikan dalam tiga kerangka yang didasarkan pada kesadaran ideology
masyarakat.7 Meskipun Freire lebih dikenal sebagai tokoh pendidikan,
namun kerangka analisisnya banyak dipergunakan justru untuk melihat kaitan
ideology dalam perubahan social. Tema pokok gagasan Freire pada dasarnya
mengacu pada suatu landasan bahwa pendidikan adalah “proses memanusiakan
manusia kembali”. Gagasan ini berangkat dari suatu anallisa bahwa sistem
kehidupan social, politik, ekonomi, dan budaya, membuat masyarakat mengalami
proses ‘dehumanisasi’. Pendidikan sebagai bagian dari sistem masyarakat justru
menjadi pelanggeng proses dehumanisasi tersebut. Secara lebih rinci Freire
menjelaskan proses dehumanisasi tersebut dengan menganalisis tentang kesadaran
atau pandangan hidup masyarakat terhadap diri mereka sendiri. Freire
menggolongkan kesadaran mausia menjadi: kesadaran magis (magical consciousness), kesadaran naïf (nival consciousness) dan kesadaran kritis (critical consciousness). Bagaimanaq kesadaran tersebut dan
kaitannya dengan sistem pendidikan dapat secara sederhana diuraikan sebagai
berikut.8
Pertama
kesadaran magis, yakni suatu kesadaran masyarakat yang tidak mampu mengetahui
kaitan antara satu factor dengan factor lainnya. Misalnya saja masyarakat
miskin yang tidak mampu melihat kaitan kemiskinan mereka dengan sitem politik
dan kebudayaan. Kesadaran magis lebih melihat factor diluar manusia (natural
maupun supranatural) sebagai penyebab dan ketakberdayaan. Dalam dunia
pendidikan, jika proses belajar mengajar tidak mampu melakukan analisa terhadap
suatu masalah maka proses belajar-mengajar tersebut dalam perspektif Freirean
disebut sebagai pendidikan fatalistic. Proses pendidikan model ini tidak
memberikan kemampuan analisis, kaitan antara sistem dan struktur terhadapa
suatu permasalahan masyarakat Murid
secara dogmatic menerima ‘kebenaran’ dari guru, tanpa ada mekanismeuntuk
memahami ‘makna’ ideology atas semua konsepsi atas kehidupan masyarakat.
Yang
Kedua adalah kesadaran naïf. Keadaan
yang dikategorikan dalam kesadaran ini adalah lebih melihat ‘aspek manusia’
menjadi akar penyebab masalah masyarakat. Dalam kesadaran ini ‘masalah etika,
kreativitas, ‘need for achevementI’
dianggap sebagai penentu perubahan social. Jadi dalam menganalisa mengapa suatu
masyarakat miskin, bagi mereka disebabkan karena ‘salah’ masyarakat sendiri,
yakni mereka malas, tidak memiliki kewiraswastaan, atau tidak memiliki budaya
‘membangun’ dan seterusnya.9 Oleh karena itu, ‘man power development’ adalah sesuatu yang diharapkan akan menjadi
pemicu perubahan. Pendidikan dalam konteks ini juga tidak mempertanyakan sistem
dan struktur, bahkan sistem dan struktur yang ada adalah sudah baik dan bena,
merupakan factor ‘given’ dan oleh
sebab itu tidak perlu dipertanyakan. Tugas pendidikan adalah bagaimana membuat
dan mengarahkan agar murid bisa beradaptasi dengan sitem yang sudah benar
tersebut.
Kesadaran Ketiga disebut sebagai kesadaran kritis. Kesadaran ini lebih
melihat aspek sistem dan struktur sebagai sumber masalah. Pendekatan structural
menghindari ‘blaming the victims’ dan
lebih menganalisis untuk secara kritis menyadari sitem social, politik, ekonomi
dan budaya dan akibatnya pada keadaan masyarakat. Paradigma kritis dalam
pendidikan, melatih murid untuk mampu mengidentifikasi “ketidakadilan” dalam
sistem dan struktur yang ada, kemudian mampu melakukan melakukan analisis
bagaimana sistem dan struktur itu bekerja. Tugas pendidikan dalam paradigma
kritis adalah menciptakan ruang dan keselamatan agar peserta pendidikan
terlibat dalam suatu proses penciptaan struktur yang secara fundamental baru
dan lebih baik.
Implikasi Paradigma Pendidikan Pada Pendekatan
Pendidikan:
Pedagogy VS Andragogy
Knowles (1970)
secara sederhan menguraikan perbedaan antara anak-anak dan orang dewasa dalam
belajar sebagai model pendekatannya.10 Model penmdekatan tersebut
diklasifikasikan menjadi dua bentuk pendekatan yang kontradiktif yakni antara
pedagogy dan andragogy. Perbedaan kedua pendekatan pendidikan tersebut, tidak
semata perbedaan “obyek”nya. Pedagogy sebagai seni mendidik anak ‘mendapat
pengertian lebih luas dimana suatu proses pendidikan yang ‘menempatkan objek
pendidikannya sebagai anak-anak, meskipun usia biologis mereka sudah termasuk
dewasa. Konsekuensi logis dari pendekatan ini adalah menempatkan peserta didik
sebagai “nurid yang pasif”. Murid sepenuhnya menjadi objek suatu proses belajar
seperti misalnya: guru menggurui, murid digurui, guru memilihkan apa yang harus
dipelajari, murid tundukl pada pilihan tersebut, guru mengevaluasi, murid
dievaluasi dan seterusnya. Kegiatan belajar mengajar modela ini menempatkan
guru sebagai inti terpenting sementara murid menjadi bagian pinggiran.
Sebaliknya, andragogy atau pendekatan
pendidikan ‘orang dewasa’ merupakan pendekatan yang menempatkan peserta belajar
sebagai ‘orang dewasa’. Dibalik pengertian ini Knowles ingin menempatkan
‘murid’ sebagai subjek dari sistem pendidikan. Murid sebagai orang dewasa
diasumsukan memiliki kemampuan aktif untuk merencanakan arah, memilih bahan dan
materi yang dianggap bermanfaat, Memikirkan cara terbaik untuk belajar,
menganalisis dan menyimpulkan serta mampu mengmbil manfaat pendidikan. Fungsi
guru adalah sebagai “fasilitator”, dan bukan menggurui. Oleh karena itu relasi
antara guru-murid bersifat’multicommunication’ dan seterusnya.11
Sebagai pendekatan, andragogy dan pedagogy
sering dipergunakan dalam ketiga paradigma magis, naif dan kritis tersebut.
Banyak sekali dijumpai proses pendidikan yang magik atau naif, tetapi dilakukan
dengan cara pendekatan andragogy. Perkawinan antara andragogy dan paradigma
magis dan naif sesungguhnya adalah menghubungkan dua hal yang kontrdiktif. Pendidikan
kritis mensyaratkan penggunaan andragogy sebagai pendekatan ketimbang pedagogy.
Secara prinsipil meletakkan ‘anak didik’ sebagai ‘objek’ pendidikan adalah
problem dehumanisasi. Sebaliknya pendidikan liberal yang bersifat individualis
(blaming the victim) meskipun
digunakan pendekatan andragogy, namun yang terjadi pada dasarnya adalah
menjadikan pendidikan sebagai proses ‘menjinakkan’ untuk menyesuaikan ke dalam
sitem dan struktur yang sudah mapan. “Penjinakan” sendiri sebenarnya bukan
karakter dari andragogy.
Sebaliknya
banyak juga pendidikan yang bertujuan untuk membangkitkan kesadaran kritis
namun dilakukan dengan cara pedagogy ataupun indoktrinasi. Meskipun materi
pendidikan sesungguhnya menyangkut persoalan-persoalan mendasar tentang sistem
dan struktur mayarakat, namun dalam proses pendidikannya lebih ‘banking concept of education’ bersifat
indoktrinatif dan menindas. Indoktrinasi sendiri adalah anti-pendidikan dan
pembunuhan sikap kritis manusia sehingga bertentangan dengan hakekat pendidikan
kritis. Sehingga dengan demikian pendidikan kritis yang dilakukan secara
pedagogy pada dasarnya adalah kontradiktif dan anti pendidikan.
Menuju Pendidikan Untuk Transformasi Sosial
Tradisi liberal
telah mendominasi konsep pendidikan hingga saat ini. Paradigma liberal adalah
menjadi bagian dari globalisasi ekonomi ‘liberal’ kapitalisme. Dalam konteks
lokal, paradigma pendidikan liberal telah menjadi bagian dari sistem
developmentalisme, dimana pada sistem tersebut ditegakkan pada suatu asumsi
bahwa akar ‘underdevelopment’ karena
rakyat tidak mampu terlibat dalam sistem kapitalisme. Pendidikan harus membantu
peserta didik masuk dalam sistem
developmentalisme tersebut.
Dengan agenda liberal seperti itu, maka
tidak memungkinkan bagi pendidikan untuk menciptakan ruang (space) bagi sistem
pendidikan untuk secara kritis mempertanayakan tentang, pertama struktur ekonomi, politik, ideology, gender, lingkungan
serta hak-hak azasi manusia dan kaitannya dengan posisi pendidikan. Kedua, pendidikan untuk menyadari
relasi pengetahuan sebagai kekuasaan (knowledge/power relation) menjadi bagian
dari masalah demokratisasi. Tanpa mempertanayakan hal itu, tidak saja
pendidikan gagal untuk menjawab akar permasalahan masyarakat tetepi justru
melanggengkannya karena merupakan bagian pendukung dari kelas, penindasan dan dominasi.
Pendidikan dalam konteks itu tidaklah mentransformasi struktur dan sistem
domonasi, tetapi sekedar menciptakan agar sistem yang ada berjalan baik. Dengan
kata lain pendidikan justru menjadi bagian dari masalah dan gagal menjadi
solusi.
Kuatnya pengaruh filsafat positivisme
dalam pendidikan dalam kenyataannya mempengaruhi pandangan pendidikan terhadapa
masyarakat. Metode yang dikembangkan pendidikan mewarisi positivisme seperti
objektifitas, empiris, tidak memihak, detachment,
rasionaldan bebas nilai juga mempengaruhi pemikiran tentang pendidikan dan
pelatihan.12 Pendidikan dan pelatihan dalam positivistic bersifat
fabrikasi dan mekanisasi untuk memproduksi keluaran pendidikan yang harus
sesuai dengan ‘pasar kerja’. Pendidikan juga tidak toleran terhadap segala
bentuk ‘non positivisticway of knowing’
yang disebut sebagai ilmiah. Pendidikan menjadi a historis,Yakni mengelaborasi
model masyarakat dengan mengisolasi banayak variable dalam model tersebut.
Murid dididik untuk pada struktur yang ada mencari cara-cara dimana peran,
norma, dan nilai serta lembaga yang dapat diintegrasikan dalam rangka
melanggengkan sistem tersebut. Asumsinya adalah bahwa tidak ada masalah dalam
sistem yang ada, maslahnya terletak pada mentalitas anak didik, kreativitas,
motivasi, keterampilan teknis, serta kecerdasan anak didik.
Dari kerangka paradigma dan pendekatan
pendidikan diatas, maka diperlukan suatu usaha untuk meletakkan dalam proses
transformasi dalam keseluruhan sistem perubahan social. Setiap usaha pendidikan
perlu melakukan transformasi hubungan antara fasilitator dengan peserta
pendidikan. Untuk melakukan transformasi terhadap setiap usaha pendidikan perlu
dilakukan analisa structural dan menempatkan posisi dimana sesungguhnya lokasi
pemihakan usaha pendidikan dan pelatihan dalam struktur tersebut. Tanpa visi
dan pemihakan yang jelas, setiap usaha pendidikan sesungguhnya sulit diharapkan
menjadi institusi kritis menuju pada perubahan. Usaha pendidikan dan pelatihan
juga perlu melakukan identifikasi issue strategis dan menetapkan, visi dan
melanggengkan ketidakadilan.
Selain itu, paradigma kritis juga
berimplikasi terhadap metodologi dan pendekatan pendidikan serta proses belajar
mengajar yang diterapkan. Pandangan kritis termasuk melakukan transformasi
hubungan guru-murid dalam perspektif yang didominasi dan yang mendominasi.
Dimana guru menjadi subjek pendidikan dan pelatihan sementara murid menjadi
objeknya. “Subjection” yang
menjadikan murid menjadi objek pendidikan dalam perspektif kritis adalah bagian
dari problem dehumanisasi. Dengan kata lain paradigma pendidikan dan pelatihan
kritis tidak saja ingin membebaskan dan mentransformasikan pendidikan dengan
struktur diluarnya, tapi juga bercita-cita mentrasnsformasikan relasi ‘knoeledge/power dan dominasi hubungan
yang ‘mendidik’ dan ‘yang dididik’ didalam pendidikan sendiri.
Usaha pendidikan dan pelatihan
sesungguhnya secara struktura adalah bagian dari sistem social, ekonomi dan
politik yang ada. Oleh karena itu banyak orang pesimis untuk berharapa sebagai
badan independent untuk berdaya kritis. Penganut paham ‘reproduksi’ dalam
pendidikan umumnya percaya bahwa pendidikan sulit diharapkan untuk memerankan
perubahan, melainkan mereka justru yang mereproduksi sistem yang ada atau hokum
yang berlaku. Setiap upaya pendidikan haruslah
Dalam perspektif kritis, terutama alira produksi dalam pendidikan dan
pelatihan, setiap upaya pendidikan haruslah menciptakan peluang untuk
senantiasa mengembalikan fungsinya sebagai proses independent untuk
transformasi social. Halini berarti prosespendidikan haris memberi ruang untuk
menyingkirkan segenap ‘tabu’ untuk mempertanyakan secara kritis sitem dan
struktur yang ada serta hokum yang berlaku. Sebaliknya, dalam rangka melakukan
pendidikan kritis dalam prosesmelakukan trnsformasi social yang juga perlu
dilakukan adalah mentransformasi dirinya mereka sendiri dahulu, yakni
membongkar sstruktur tidak adil di dalam dunia pendidikan terlebih dahulu,
yakni antara peserta dan fasilitator.
Pendidikan Kritis Apa Pula Itu ?
Pendidikan
kritis pada dasarnya merupakan aliran, paham dalam dan pembebasan dan
pemberdayaan. Perdebatan mnegenai peran pendidikan di lingkungan teoritisi dan
praktisi yang merunut paham dan tradisi dari pemikiran kritis terhadap sistem
kapitalisme dan dari tradisi pemikiran mereka yang mencita-citakan perubahan
social dan struktural menuju masyarakat yang adil dan demokratis, suatu
masyarakat tanpa eksploitasi dan penindasan, yakni seperti para penganut aliran
gerakan social untuk keadila maupun golongan penganut paham dan teori kritik
lainnya. Namun, ketika membahas peranan pendidikan dan peranannya dalam kaitan
dengan perubahan social, mereka menjadi dua aliran menyangkut pendidikan-
apakah pendidikan dapat digunakan sebagai media transformasi social.
- Golongan pertama, adalah penganut paham “reproduksi”. Golongan ini sangat pesimis bahwa pendidikan mempunyai peran untuk perubahan social menuju transformasi social. Mereka menganut teori reproduksi. Golongan ini menganggap bahwa pendidikan dalam sistem kapitalisme berperan untuk mereproduksi sistem itu sendiri. Pendidikan akan melahirkan peserta didik yang akan memperkuat sistem dalam masyarakat. Sehingga mereka sangat pesimistis bahwa pendidikan akan mampu menjadi penyebab trnsformasi social.
- Golongan kedua, yakni penganut paham produksi. Golongan ini, mayakini bahwa pendidikan mampu menciptakan ruang untuk tumbuhnya resistensi dan subversi terhadap sistem yang dominant. Bukankah sebagian besar tokoh nasional dunia ketiga uang memimpin bangsa mereka untuk melawan penjajahan, kolonialisme dan imperialisme lahir dari hasil pendidikan oleh sistem pendidikan yang justru dimaksudkan untuk mempertahankan dan melanggengkan kolonialisme? Dengan demikian bagi penganut paham ini, pendidikan senantiasa mempunyai aspek pembebasan dan pemberdayaan, jika dilakukan melalui peoses yang membebaskan serta dilaksanakan dalam rangka membangkitkan kesadaran kritis. Pandangan pendidikan seperti itu yang akan mewariskan lahirnya aliran pendidikan yang kita sebutkan sebagai pendidikan kritis.
Pendidikan kritis sangat memerlukan perspektif kelas dalam melakukan
analisis dalam proses pendidikan, karena analisis kelas memberi perangkat dalam
rangka memahami sistim ketidakadilan social. Hampir semua golongan masyarakat
menjadi korban dari ketidakadilan kelas, namun karena mayoritas yang menjadi
Koran ketidakadilan kelas adalah masyarakat bawah, maka seolah-olah analisis
kelas hanya menjadi alat perjuangan bagi golongan miskin. Analisis kelas
mestinya bisa menjadi media untuk membongkar sistem ketidakadilan social secara
luas. Tanpa analisis kelas, perubahan social menjadi reduksionisme, dimana
lebih memusatkan perhatian pada manusisnya saja. Lebih lanjut analisis kelas
membantu memahami bahwa laki-laki dan perempuan mengalami dehumanisasi, kaum
buruh mengalami dehumanisasi disebabkan eksploitasi, sementara kelas ‘menengah’
sebagai penyelenggara eksploitasi juga mengalami dehumanisasi karena
melanggengkan eksploitasi. Baik pengeksploitasi, penyelenggara eksploitasi
maupun yang dieksploitasi memrlukan proses yang membebaskan mereka dari sistem
yang tidak adil tersebut. Maka proses pendidikan yang mengabaikan realitas
kelas social akan kehilangan makna pemberdayaan dan pembebasannya.
Analisis kelas dalam proses pendidikan memfokuskan pada relasi struktur
social ketimbang hanya memfokuskan pada korban eksploitasi. Dengan demikian
yang menjadi agenda utama pendidikan kritis tidak sekedar menjawab “kebutuhan
praktis” untuk mengubah kondisi golongan miskin, melainkan juga menjawab
kebutuhan strategis golongan miskin, yakni memperjuangkan perubahan posisi golongan
miskin, termasuk konter hegemoni dan konter wacana terhadap ideology sosial
yang telah mengakar dalam keyakinan.
Konsep hegemoni yang diwariskan oleh Antonio Gramsci, yakni hegemoni
terjadi apabila golongan masyarakat yang tertindas, tereksploitasi secara suka
rela mengabdi pada penindasannya. Konsep ‘hegemoni’ merupakan proses penjinakan
budaya dan ideology kaum tertindas dan tereksploitasi untuk ‘concern’ dan mengabdi secara sukarela
kepada para penindas mereka.27 Dalam proses tersebut para pendidik
secara tidak sadar justru berperan sebagai pelaksana hegemoni dari penguasa
Negara maupun ekonomi. Sehingga prosesw pendidikan tidak dapat lagi dilihat
sebagai proses pengajaran yang netral dan bebas nilai. Apalagi rezim penguasa
ekonomi dan modal banyak sekali mengeluarkan biaya bagi penyelenggaraan bentuk
pendidikan dalam rangka membangun kepentingan sejak dini dari penjinakan
ideology sampai dengan untuk melariskan dagangannya. Oleh karena itu pendidikan
senantiasa menjadi arena yang menarik diperebutkan. Pertanyaan maupun
pernyataan bahwa “pendidikan tanpa kesadaran kritis terhadap hegemoni dominant,
pada dasarnya mengelabui kenyataan.
Warisan Foucault Pada Pendidikan Kritis
Pengaruh
lain yang mewarnai pada aliran pendidikan kritis diantaranya juga warisan
pemikiran Foucault. Bagi perkembangan pengetahuan, kelihatannya yang paling
dekat adalah mewarnai ilmu-ilmu social khususnya sosiologi dan praktek
perubahan social, meskipun terdapat indikasi kuat pengaruh pemikiran Foucault
dalam bidang sastra dan arsitektur. Pikiran Foucault berpengaruh terhadap
perkembangan “Post-modern Sociology”
yakni suatu analisis terhadap masyarakat modern dengan menggunakan konsep dan
perspektif post-modern. Secara substansial sesungguhnya Foucault membuat
sosiologi lebih sensitive terhadap ‘power relation’ atau relasi kekuasaan dan
bagaimana dominasi bekerja dalam relasi kekuasaan (power), teranyam pada setiap
aspek kehidupan serta kehidupan pribadi, pikiran tersebut menantang ilmu
sosiologi yang cenderung memisahkan dan mengabaikan “kekuasaan” dalam dunia
ilmu pengetahuan, dan berasumsi pengetahuan itu netral, objektif dan tak berdosa. Sosiologi yang cenderung menganggap bahwa
akar kekuasaan terletak pada negara ataupun kelas, dianggap oleh Foucault
sebagai mengingkari kenyataan, karena baginya relasi kekuasaan terjadi pada
hamper setiap aspek kehidupan sehari-hari. Konsep dan pikiran tentang kekuasaan
(power)ini memberikan pengaruh besar tentang bagaimana aspek dan pusat lokasi
dari kekuasaan serta bentuk perjuangan untuk membatasi dan bagaimana berbagi
kekuasaan. Jika umumnya pemikiran kekuasaan hanya tertuju pada Negara dan kelas
elit, maka Foucault membuka kamungkinan untuk membongkar semua dominasi dan
relasi kekuasaan, seperti kekuasaan dalam pengetahuan antara pencipta
diskursus, birokrat, akademisi dan rakyat miskin jelata yang “tidak beradab”
yang harus didisiplinkan, diregulasi dan “dibina”. Kaum feminis juga mendapat
legitimasi untuk membongkar dominasi dan relasi kekuasaan “gender” antara
lelaki dan perempuanyang sejak lama tidak mendapat perhatian dari filasafat
social. Foucault juga memberi pengaruh terhadap relasi kekuasaan antara
birokrat dan intelektual universitas yang “modern, ilmiah dan positivistic” dan
masyarakat adapt atau masyarakat “awam” yang ‘tradisional suku terasing,
perambah hutan, tidak ilmiah, tahayul, tidak bisa mengelola sumber daya alam
dan belum berbudaya, yang perlu dibudayakan”. Pikirannya tentang kekuasaan
bahkan menyadarkan orang akan relasi ‘kekuasaan’ antara penganut agma-agama
barat yang turun dari langit dan merupakan “kebenaran” dengan keyakinan dan
kepercayaan teologi lokal, ‘pagan’ dan ‘animisme’, yang perlu diselamatkan.
Pendek kata pandangannya memberi pengaruh
besar pada pendidikan kritis sehingga melahirkan apa yang dikenal dengan
pendidikan sebagai konter terhadap diskursus dominant yang memberi inspirasi
pada gerakan budaya perlawanan. Apa yang disebutnya sebagai ‘genealogy’ membawa pengaruh pada
pendidikan kritis mendorong pada pemberdayaan lokal dan akar rumput melalui penyembuhan
atau pemuliaan pengetahuan masyarakat yang ‘ditundukkan’ (subjugated) dan diskualifikasi oleh kekuasaan/ pengetahuan yang
dominant. Maka pengetahuan mungkin bisa menjalankan tugas transformasi kalau
pengetahuan membongkar dan menghentikan relasi kekuasaan. Suatu analisis yang
dikenal dengan “Discourse analysis”.
Jika Karl Marx dikenal karena teori analisis kelasnya yang memfokuskan
analisisnya pada suatu proses bagaimana eksploitasi (apropriasi) nilai lebih
(surplus value) terjadi dalam rangka akumulasi capital, maka Foucault namanya
diasosiasikan dengan discourse analysis,
yang membongkar relasi kekuasaan dan dominasi pada suatu konsep atau wacana,
karena konsepsi dan wacana baginya memang tidak pernah netral, objektif dan
bebas nilai.Pendidikan sudah lama menjadi penyelengara dan melanggengkan
dominasi melalui diskursus yang ada dalam pengetahuan modernisasi. Bahkan
banyak proses pendidikan yang diselenggarakan oleh kalangan NGO, juga aktivis
pemberdaya rakyat lainnya tanpa mereka sadari ternyata menjadi bagian dari
penundukan masyarakat serta menjadi bagian dari diskursus modernisasi dan
pembangunan model Neo-Liberalisme. Oleh karena itu perspektif pendidikan kritis
secara sadar, menjadi bagian dari proses konter terhadap diskursus dominant.
Pendidikan Kritis Sebagai Warisan Paradigma
Pembebasan
Pendidikan
kritis merupakan kelanjutan dari gerakan pembebasan. Maka dalam perspektif
pendidikan kritis, “pembebasan” pada dasarnya dua hal yang tak bisa dipisahkan,
dan bahkan boleh dikatakan bahwa pada dasarnya hakekat seni adalah pembebasan.
Kata “pembebasan” dalam pendidikan kritis mewarisi semangat pembebasan yang
memiliki konteks makna dari satu formasi social ke formasi social lainnya.
Sesuai dengan konteks dan bentuk penindasan dan ketidakadilan di zamannya. Pada
zaman kolonialisme misalnya diskursus tentang pembebasan yang sering
diungkapkan oleh tokoh seniman, sastrawan dan budayawan zaman itu lebih memberi
makan bahwa pembebasan dalam konteks kemerdekaan dipahami sebagai lepas dari
penjajahan kolonialisme. Akan tetapi diskursus pada era ketergantungan pasca
kolonialisme, dimana penderitaan rakyat justru diakibatkan bentuk penindasan
melalui proses pemiskinan akibat dari penerapan paham “developmentalisme”, yang bersandar pada paham modernisasi. Para seniman dan budayawan merespon penindasan model
seperti itu dalam diskursus pembebasan dalam konotasi yang berbeda pula.
Sehingga pada era itu diskursus pembebasan (liberation)
lebih berdimensi pembebasan kaum miskin tertindas di grasroot.
Ambil contoh Gustavo Guiterez tokoh “Teologi Pembebasan” dunia selatan asala Guatemala ,
justru memaknakan ajaran teologinya bagi pembebasan spiritual dan
sosio-kultural golongan yang dimarjinalkan oleh ‘pembangunan’. Oleh karena itu
bagi Guiterez konsep pembebasan diberi pengertian lebih sebagai ekspresi dari
aspirasi rakyat miskin kaum tertindas, yang dikaitkan sebagai proses relasi
konflik ekonomi, social dan politik yang tidak adil dengan Negara-negara kaya
dan kelas elit di Negara-negara pinggiran. Jelas paham pembebaxsan seperti ini
erat kaitannya dengan refleksi dan analisis social terhadap formasi social yang
dianggap memiskinkan rakyat jelata di dunia Selatan. Dengan demikian konsep
teologi pembebasannya tidak bisa dipisahkan dari kerangka dan konteks pemikiran
“teori ketergantungan” (dependency
theories) yang berkembang subur pada tahun 70-an di Amerika Latin dan
Amerika Selatan. Sungguh pun demikian, di tempat lain dalam konteks agama yang
berbeda, seperti Teologi Pembebasan Islam maupun Teologi Pembebasan bagi masyarakat
Hindu dan Budha di Asia selatan28 ternyata teologi untuk pemebebasan
juga muncul dalam berbagai gerkan social politik. Di Amerika latin misalnya,
dimana gerkan itu pertama kali muncul, justru praktek teologi pembebasan muncul
dalam bentuk gerakan social (social
movement) seperti Basic Christian
Communities yang merupakan gerakan dengan alasan spiritual keagamaan maupun
alasan social politik yakni mempertahankan diri dari penggusuran dan
peminggiran.
Semangat pembebasan dalam pendidikan
kritis juga juga belajar dari pemikir lain yang juga menaruh perhatian terhadap
‘pemebebasan’ dalam konteks yang lain. Pemikir kritik sosial Erich From
misalnya, meletakkan dasar teori pembebasan dari perspektif psikologi kritik.
Dalam jaryanya yang diberi judul Fear
From Freedom (1942) dan Beyound the
Chains of Illusion (1962) menyediakan argumen permulaan yang baik sekitar
psikologi pembebasan yang dapat digunakan untuk memahami gerakan pemebebasan
rakyat tertindas di Selatan. Analisis psikologi dan politiknya mengenai
tumbuhnya mentalitas borjuasi dan kaitannya dengan etika agamis konservatif dan
sumbangannya terhadap berfungsinya kapitalisme. Baginya sebagian besar orang
mudah beradaptasi dengan masyarakat industri kapitalisme telah kehilangan
kepribadian asli dan spontanitas mereka, sehingga menderitalantaran gagal
mendapatkan kebahagiaan dan aktualisasi diri akibat dari kesepian dan
ketakberdayaan sebagai konsekuensi dari “alienasi” dari sistem industri.
Pembebasan dalam konteks keterasingan manusia dalam sistem kapitalisme tersebut
adalah jika manusia dapat mengkaitkan diri secara spontanitas kepada dunia
cinta dan karya dalam ekspresi emosional,sensasional dan kapasitas intelektual
yang asli sehingga dapat bersama manusia, alam dan diri mereka tanpa kehilangan
kemerdekaan dan integritas pribadinya.
Frantz Fanon salah seorang pemikir
“psikologi bagi kaum tertindas” dari Afrika pada era pasca kolonialisme juga
telah menyumbangkan dasar bagi argument kaitan antara pendidikan dan
pembebasan. Dalam salah satu karyanya yang berjudul The Wretched of Earth (1961) pada dasarnya menyimpan berbagai
pemikiran dan analisisnya mengenai psikologi pembebasan. Buku yang ditulis pada
era pasca kolonialisme dalam konteks negara-negara Afrika tersebut memberikan
banyak pelajaran tentang bagaimana mentalitas para elit, kaum borjuasi dan
bahkan rakyat jelata dari bangsa-bangsa maupun bekas terjajah. Fanon secara
baik melakukan analisis kritis terhadap para elit dan kelas menengah dari
bangsa-bangsa yang tengah memasuki era neo-kolonialisme pasca penjajahan yang
disebutnya menderita kemalasan dean ketamakan intelektual. Mereka dalam posisi
yang diuntungkan oleh kolonialisme dan berkesempatan menikmati pendidikan di
universitas dan menerima pendidikan bangsa-bangsa penjajah, setelah berakhirnya
kolonialisme, bukannya menularkan pengetahuan dan pendidikan kritis kepada
rakyat jelata, sebaliknya para elit tersebut justru meneruskan relasi
neo-kolonialisme dan terus menjual negeri mereka bahan mentah murah bagi
perkembangan industri Negara bekas penjajah mereka. Bahkan mereka membangun
tempat-tempat peristirahatan mewah untuk menampung liburan bangsa bekas
penjajah mereka, mereka bergaya, berpakiaian dan berselera meniru selera bangsa
yang menjajah mereka. Oleh karena itu Frantz Fanon sangat meragukan manfaat dan
adanya kebaikan para kelas menengah dan elit borjuasi bangsa neo-kolonial bagi
kesejahteraan ataupun pemberdayaan dan pendidikan kesadaran kritis bagi rakyat
keseluruhan. Atas dasar analisisnya terhadap psikologi para borjuasi bangsa bekas
terjajah itulah, selanjutnya Fanon mengembangkan gagasannya mengenai pembebasan
dimana tema sentral gagasan pembebasannnya berfokus dan memprioritaskan pada
pembebasan atau liberasi manusisa bangsa terjajah dari mentalitas colonial atau
“colonial mind” tersebut.
Ketika harus menjawab pertanyaan bagaimana
proses pembebasan dilakukan, Fanon memfokuskan gagasannya melalui pendidikan
politik rakyat untuk membangun budaya nasional bangsa sebagai alternative
sekaligus sebagai sarana untuk melakukan aksi perlawanan cultural terhadapa
budaya penjajah yang pada zaman dan konteks pada waktu gagasan itu dikembangkan
adalah budaya barat. Dalam konteks inilah untuk pertama kalinya di Afrika
pengembangan kultur lokal menjadi arena strategis untuk kemerdekaan. Disinilah
seni selanjutnya dilihatnya sebagai media aksi cultural untuk perlawanan budaya
yang strategis. Gagasan ini sekali lagi memberi validitas terhadap seni dan
para seniman dalam pendidikan politik untuk aksi cultural. Dalam konteks zaman
dan formasi social yang berbeda dimana lawan dan sumber kesengsaraan, proses
peminggiran serta proses pemiskinan rakyat bersumber dari menguatnya sistem
kapitalisme global (globalisasi) dan berkembangnya budaya kekerasan akibat dari
jeratan sistem dan struktur budaya militerisme, maka Frantz Fanon sesungguhnya
mendorong untuk memberikan ruang bagi perkembangan dan peran seni budaya,
maupun peran seniman dalam proses aksi cultural untuk membangun kesadaran
kritis melawan budaya kekerasan dan budaya dominasi menjadi sangat relevan.
Akhirnya, tradisi pendidikan kritis juga
sangat berhutang pada Paulo Freire sebagai peletak dasar filosofinya. Freire
tokoh pendidikan kritis yang meletakkan dasar “pendidikan bagi kaum tertindas”
asal Brazil
memberikan makna pembebasan lebih ditekankan pada kebangkitan kesadaran kritis
masyarakat. Dengan kata lain bagi Freire mengumgkapkan bahwa hakekat
‘pembebasan’ adalah suatu proses bangkitnya “kesadaran kritis” rakyat terhadapa
sistem dan struktur social yang menindas. Pembebasan bagi mereka tidak saja
terbebas dari kesulitan aspek material saja, tapi juga adnya ruang kebebasan
dari aspek spiritual, ideology maupun cultural. Dijelaskannya bahwa
sesungguhnya rakyat memerlukan tidak saja bebas dari kelaparan, tetapi juga
“bebas” untuk mencipta dan mengkonstruksi dan untuk bercita-cita.
Meskipun pendidikan yang dikembangkan oleh
Freire mulanya dikembangkan dan dipraktekkan dalam rangka bagi pembebasan buta
huruf, namun meningkatkan kesadaran kritis (critical
consciousness) atau yang di Indonesia
lebih dikenal sebagai proses ‘konsientitasi’ merupakan hakekat pendidikan
Freire. Analisis Freire berangkat dari kajiannya terhadap bagaimana proses
dominasi budaya dan politik terhadap rakyat telah melahirkan ideology rakyat
tertindas sebagai akibat dari hegemoni. Oleh karenanya dalam mengembangkan
pemikiran ideologi pendidikannya Freire memulai dengan mengkaji watak budaya
dari tiga kernagka kesadaran ideologi masyarakat tertindas.29
Sesungguhnya Paulo Freire lebih dikenal sebagai tokoh pendidikan, namun kerangka
analisisnya banyak digunakan justru untuk melihat kaitan ideologi perubahan
social pada pemberdayaan masyarakat. Tema pokok gagasan Freire sesungguhnya
mengacu pada suatu landasan keyakinan bahwa pendidikan pada dasarnya merupakan
“proses memanusiakan manusia kembali”. Gagasan ini berangkat dari suatu analisa
bahwa sistem kehidupan social, politik, ekonomi dan budaya membuat masyarakat
mengalami suatu proses “dehumanisasi”. Pendidikan sebagaimana dipraktekkan di
sekolah-sekolah, sebagai bagian dari sistem masyarakat justru pada kenyataannay
menjadi pelanggeng proses dehumanisasi tersebut. Secara rinci Freire
menjelaskan proses dehumanisasi tersebut dengan menganalisis tentang kesadaran
atau pandangan hidup masyarakat terhadap diri mereka sendiri.
Lebih lanjut dapat disimpulkan bahwa
sebenarnya pandangan filsafat pendidikan Freire bermula dari kritiknya terhadap
praktek pendidikan di dunia dewasa ini, yakni yang disebutnya sebagai “banking concept of education”. Murid
dalam proses pendidikan model bank yang dipraktekkan di sekolah-sekolah lebih
menjadi objek pendidikan, mereka pasif dan hanya mendengar, mengikuti, mentaati
dan mencontohi para guru. Praktek pendidikan seperti itu, bagi Freire tidak
saja bersifat menjinakkan, tetapi bahkan lebih jauh merupakan proses
dehumanisasi dan penindasan. Sebagai antitesis Freire selanjutnya mengembangkan
suatu pendidikan yang tidak saja mentransformasikan hubungan guru dan murid
lebih membebaskan, serta meletakkan dasar konsep pendidikan yang memposisikan
justru murid sebagai subjek pendidikan dengan tidak saja memperkenalkan
berbagai metodologi dan praktek hubungan pendidikan yang bersifat membebaskan,
namun juga membangkitkan kesadaran kritis warga belajar terhadap ketidakadilan
sistemik. Proses dan metodologi pendidikan konsientisasi ini telah mempengaruhi
berbagai praktek pendidikan pendidikan politik rakyat tertindas di Dunia
Selatan. Konsientisasi juga berpengaruh ke aspek kehidupan lainnya dan salah
satunya berpengaruh ke arena kesenian dan kebudayaan, maka lahirlah kesenian
untuk kaum tertindas.
Langganan:
Postingan (Atom)