Mengapa
dewasa ini agama terlihat berjarak jauh dengan prilaku masyarakat penganutnya?
Di negara-negara yang dihuni oleh komunitas yang ‘taat’ beragama, korupsi
merajalela bahkan membudaya, ketidakdisiplinan menjadi ‘gaya hidup’ dan
kriminalitas menjadi ‘menu utama’ bahkan yang sangat sadis.
Setidaknya, ada dua cara memandang agama. Agama dapat dipandang secara
fenomenologis, berupa sejarah kemunculan, tata cara dan prilaku para
penganutnya. Agama juga dapat dipandang secara epistemologis, berupa tujuan-tujuan
prinsip-prinsip yang melandasinya.
Jika kita mempelajari agama secara fenomeologis, maka kita harus mengumpulkan
sebanyak mungkin data yang bertalian dengannya sebagai sebuah gejala atau
fenomena sosial dan sejarah, seperti aliran-aliran dan para penganutnya.
Cara pandang fenomologis bisa mengantarkan kepada kebimbingan tentang koherensi
agama dengan dinamika masyarakat dan prilaku penganutnya. Tidak hanya itu, ia
juga bisa memunculkan sekularisme berupa penolakan partikular dan deisme sebagai
penolakan menyeluruh terhadap agama.
Sekularisme dan deisme telah melahirkan sejumlah teori yang kini dan kelak
menjadi paradigma dan pola pikir manusia modern, seperti liberalisme,
pluralisme, eksistensialisme, individualisme, sosialisme, kapitalisme dan masih
banyak lagi. Demokrasi, kesetaraan gender, pluralisme dan wacana-wacana modern
lainnya adalah contoh produk aliran-aliran tersebut.
Penolakan terhadap agama memiliki akar historis dalam masyarakat manusia,
teruatama masyarakat Eropa. Trauma terhadap kesewenang-wenangan para tokoh
agama yang memaksakan kehendak dengan kedok agama, telah menciptakan sebuah
gerakan penolakan terhadap agama secara frontal dan radikal pada abad 18 dan 19
Masehi.
Tibanya era pencerahan yang ditandai dengan revolusi Perancis dan revolusi
Industri di Inggris telah menimbulkan kesan traumatik dan negatif terhadap
agama secara keseluruhan. Pada gilirannya, muncullah sejumlah mazhab pemikiran
dan filsafat dan berkembanglah sain dan teknologi secara pesat.
Montesquieu, Voltaire, Rousseau mengajak manusia untuk meninggalkan agama
wahyu. Bukankah Nietzsche mengumukan “kematian Tuhan” sebagai usaha
menyelamatkan manusia, Marx menganggap agama sebagai candu, demi menghapus
eksploitasi kaum kapitalis, Comte menganggap agama sebagai dari masa mitos dan
folklor atau era sesudahnya, metafisika.
Salah satu ciri sekularsime adalah ‘desakralisasi’. Masyarakat dan individu
sekular mengabaikan dan tidak meyakini adanya sesuatu yang sakral, padahal
keyakinan akan sesuatu yang sakral merupakan titik kesmaan semua agama. Istilah
‘sakral’ adalah ungkapan tentang kehormatan dan nilai spiritual di hadapan
segala sesuatu yang hanya mengandung nilai material, seperti masjid, gereja,
kuil dan tempat-tempat peribadatan agama lainnya dibandingkan dengan hotel dan
pertokoan.
Reaksi ekstrem yang muncul dari kalangan tertentu dalam masyarakat agama adalah
fundamentalisme dan radikalisme, yang dari beberapa sisi justru mengacaukan dan
menjauhkan masyarakat modern dari agama.
Cara kedua adalah memandang agama secara epistemologis. Bila kita hendak
mempelajari sebuah agama secara epistemologis, maka kita harus mempelajari
klaim-klaim yang merupakan prinsip-prinsipnya. Agama fenomenologis adalah agama
yang tampak di permukaan, sedangkan agama epistemologis, boleh jadi, belum bisa
ditemukan dalam permukaan.
Persepektif epistemologis akan menuntut kita untuk membentuk perspektif
fenomologis tentang agama. Dengan kata lain, konsep akan memandu kita untuk
mencari bentuk objektifnya, bukan sebaliknya.
BAGAIMANA MENURUT ANDA>>.....?????
?//?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar