song

Senin, 09 Juli 2012

fenomena de-ideologi

Sejarah umat manusia pasca meletusnya revolusi Prancis dan revolusi industri di Britania telah menggiring umat manusia pada berbagai konflik. Ideology turut memainkan peran menciptakan dan mempertajam konflik antara masyarakat dengan masyarakat, konflik antara masyarakat dengan Negara atau konflik antara Negara dengan Negara.

Revolusi prancis dan revolusi industri telah melahirkan paham (isme) semacam liberalisme dan kolonialisme yang menyokong tumbuh suburnya paham kapitalisme. Semakin mapannya kapitalisme telah pula memicu timbul dan dirumuskan secara eksplisit ideology penyeimbang seperti sosialisme beserta turunannya (marxisme dan komunisme), islamisme dan nasionalisme.

Ideology, dalam salah satu terminology diartikan sebagai “system of idea” yaitu seperangkat dari ide dan teori yang dipergunakan sebagai landasan untuk membuat dan mengatur system kehidupan manusia. System itu kemudian dipaksakan berlakunya pada tata kehidupan dengan alat paksa berupa organisasi dan Negara yang dikendalikan oleh penguasanya.

Ideology dan Globalisasi

Sub judul ini ditujukan untuk mengupas salah satu bagian dari paradoks global yang pada satu sisi telah mendukung kelangsungan hidup ideology namun disisi lain globalisasi juga berusaha membunuh ideologi ideology. Ideology yang turut mendorong terjadi globalisasi, menghadapi musuh yang justru datang dari proses globalisasi itu sendiri. Globalisasi telah menyebarkan dan mengukuhkan ideology tetapi juga mendesak ideology untuk dapat menyesuaikan diri dengan laju zaman dengan kondisi-kondisi khasnya serta kondisi perubahan social yang berlangsung pada suatu masa dalam zaman tersebut.

Sebuah ideology bila tidak bisa menyesuaikan dengan kehendak zaman akan mati dan terbenam dalam kuburan sejarah. Perubahan social yang semakin hari semakin tak terkendali dan tak terduga akan mengacaukan system, nilai dan pola sebuah ideology. Sehingga pada masa globalisasi ini, ideology tergopoh-gopoh dan jatuh bangun mengejar kehendak zaman.

Lalu, dimana akhir kekacauan sebagai akibat perubahan social dalam kaitan de-ideologi? Begitu banyak kekacauan yang kita saksikan yang akan mengantar pada awal baru bagi keharmonian setelah berada sangat lama dalam ketidak-harmonian. Dengan memakai analisa Ibnu Chaldun terhadap masyarakat yang berubah-rubah namun akhirnya akan tiba kembali pada titik akhir yang sebenarnya adalah titik mula. Siklus kehidupan akan terulang kembali, artinya, akan terjadi masa dimana manusia menyukai dan menyenangi kehidupan damai setelah lama berada dalam kekacauan sebagai akibat pertentangan.

Globalisasi dan kekacauan yang diakibatkan oleh perubahan social yang sulit dikendalikan telah berdampak pada terjadinya kerancuan, pengaburan dan berakhir pada kehancuran ideology.

Ideologi menjadi kabur doktrinnya ketika terjadi pertemuan antara budaya dan peradaban umat manusia. Dari proses pertemuan budaya dan peradaban itu maka kemudian terjadi proses asimilasi dan akulturasi beberapa budaya. Banyak yang menamakan proses tersebut dengan istilah homogenias budaya dan istilah reproduksi kebudayaan. Padahal sebelumnya ideology telah medesak para pengikutnya untuk mengikuti doktrin dan nilai yang ada secara ketat dan tertutup (ekslusif), namun pada akhirnya ideology tidak bisa untuk tidak menghormati keberagaman (plural) dan bahkan mengarah pada sikap untuk membenarkan dan mengikuti (inklusif) pada cara hidup kelompok lain. Pada tahap ini, ideology yang bersifat tertutup dan mempertahankan ketertuupannya akan punah. Untuk menyelamatkan ideology dari kepunahan, maka banyak ideolgi yang bergeser dari cara yang tertutup menjadi setengah terbuka terhadap ideology lain, pada tahap ini ideology disebut sebagai ideology terbuka. Atau sebuah ideologi akan membuka diri sepenuhnya tanpa mempertahankan nilai-nilai dasar dari ideology semula, pada tahap ini, ideology itu sebenarnya tidak disebut ideology lagi, dia telah punah.

Berbagai fakta social dan sejarah dapat dikemukakan disini, RRC telah membangun system perekonomiannya dengan system kapitalisme, penerimaan terhadap system kapitalisme ini tampak besar-besaran dari inovasi gubernur bank sentral China (Zhou) yang menerapkan system kapitalis pada perbankan China. Sekarang dunia tengah takjub dengan pertumbuhan kekuatan perekonomian dunia baru dan tampaknya semakin kuat.

Di belahan dunia lain, ditempat dimana kemodernan berkembang (barat) terjadi arah yang berlawanan. Di tengah kekacauan social akibat paham kebebasan individu, telah membuat sosiolog barat berpikir keras untuk mencegah terjadinya kekacauan social yang bisa saja berujung pada kehancuran social yang mengerikan. Agama kembali dilirik untuk mengendalikan sikap dengan ajaran-ajaran moralnya. Hukum kemudian dirumuskan untuk menggiring masyarakat pada ikatan social. Gambaran dari gerak masyarakat barat ini kembali memperteguh ungkapan kekaguman barat pada dunia timur (yang justeru berjalan kearah sebaliknya, timur memuja “kemapanan”) yang penuh dengan “kearifan”.

Lalu bagaimana dengan masyarakat islam? ada yang memaksakan islam sebagai ideology. Padahal doktrin islam itu pada dasarnya bersifat universal dan fleksibel (rahmatan lil ‘alamin). Hal yang bisa dikatakan fundamental dan ekslusif pada ajaran islam adalah sisi ketuhanan yang bertauhid pada tuhan yang satu. Al-quran sebagai wahyu yang diturunkan kepada Muhammad SAW berasal dari kalam ilahi yang sempurna, sementara ideology adalah seperangkat pikiran dan teori buatan manusia yang adakalanya memasukkan unsur agama sebagai upaya justifikasi atas ajaran idelogi tertentu. Tetapi bagaimanapun juga, islam menyediakan jalan berupa ajaran. Ajaran itu memungkinkan manusia membangun dan membuat ideology, demikian pendapat Sukarna.

Pemaksaan untuk membuat ideology di atas ajaran islam berakibat timbul berbagai interprestasi hingga menimbulkan ideology islam dengan berbagai versi. Sebagai sample, dapat kita lihat pada gagasan islam kiri-nya Hasan Hanafi. Gagasan tersebut menurut Abdurrahman wahid (gusdur) telah dijadikan sebagai landasan ideology dari sebelumnya hanya sekedar teori ilmiah. Sementara itu secara garis besar pada masyarakat islam sendiri terdapat setidak-tidaknya tiga aliran dan pola pikir seperti golongan konservatif/ortodoks, kelompok pluralis dan kelompok inklusif. Gaya pikir yang demikian beragam akan melahirkan hasil pikir yang beragam pula.

Penipuan Dan Kerancuan Ideology

Karl Marx dalam analisanya terhadap kapitalisme, mengisyaratkan bahwa ideology merupakan kesadaran yang sengaja di eksplisitkan dengan jalan justifikasi dan klaim keilmiahan. Lebih lanjut Marx menyatakan ideology adalah kesadaran palsu. Jadi sungguh mengherankan jika kemudian kajian Marx terhadap kapitalis itu menjadi sebuah ideology (Marxisme) hingga telah menimbulkan korban kemanusiaan ketika salah satu bentuk marxisme radikal melakukan percobaan membangun masyarakat (komunisme). Percobaan ini telah memakan banyak korban nyawa karena pemaksaan untuk menerapkan ideology, hal ini sebenarnya telah diingatkan sendiri oleh Marx, bahwa proses dialektika histories harus steril dari intervensi tangan/ kekuasaan manusia. Apabila proses dialektika tersebut diintervensi maka akan terjadi kekacauan. Peringatan itu tidak diindahkan oleh Lenin-Stalin, maka apa yang disebut oleh Marx sebagai kekacauan itu terbukti dalam rekayasa masyarakat komunisme.

Sementara itu Kerancuan asal-muasal ideology dilihat dengan menyelusuri sumber (akar) ideology, maka kita akan mendapati kerancuan-kerancuan. Setidak-tidaknya ada dua pendapat tentang sumber ideology, yaitu ideology berasal dari filsafat dan pendapat yang kedua menyatakan bahwa ideology berasal dari wahyu.

Moerdiono dalam makalahnya “Pancasila Sebagai Ideologi terbuka”, menyebutkan berdasarkan pemahamannya bahwa ideology itu mempunyai posisi satu tingkat lebih rendah darifalsafah, jadi yang berada di bawah ideologi adalah anak dari ideology itu yang dinamakan doktrin. Singkatnya, sebuah ideology dikontrol oleh sebuah pikiran falsafah dan ideology sendiri mengontrol jalannya doktrin.

Pendapat yang menyatakan ideology berawal dan berakar pada wahyu, seperti dinyatakan oleh A. F. Beith. Menurutnya, pada hakekatnya ideology berada diantara wahyu dan ajaran. Ideology merupakan atas dari ajaran bertangga naik dan merupakan bawah dari wahyu bertangga turun. hal ini menggambarkan bahwa induknya ideology adalah wahyu.

Dengan mengkritisi sumber ideology kita akan mendapati ketika falsafah dijadikan sebagai sumbernya ideologi, kita akan terjebak pada sempit daerah berlakunya sebuah ideologi tersebut. Tentu terdapat perbedaan pada cara pandang seorang filosof yang menyarikan filsafatnya di Jerman dengan filosof yang menyarikan filasafatnya di Persia. Jika kita memasukki interval waktu, maka dapat ditarik pernyataan bahwa terdapat perbedaan antara hasil seorang filosof yang lahir satu abad lalu dengan filosof kontempore. Kondisi zaman dan lingkungan menentukan hasil falsafah yang dilahirkan oleh filosof.

Jika kemudian dua orang filosof hidup pada kurun waktu dan tempat yang sama, belum tentu juga pandangan kedua filosof tersebut akan sama. Dalam petatah-petitih orang minangkabau ada sebuah ungkapan yang akan menjustifikasi pendapat ini, bunyi petatah-petitih tersebut, “rambuik buliah samo hitam, tapi pandapek alun tantu ka samo” yang artinya “rambut boleh saja sama berwarna hitam, akan tetapi pendapat seseorang belum tentu akan sama”. Lebih lanjut dalam melihat sesuatu akan terdapat perbedaan karena dipengaruhi oleh metode dan alat Bantu untuk memecahkan sebuah masalah.

Dalam analogika yang sangat sederhana, Bertnard Russel membandingkan antara beberapa orang yang sedang melihat sebuah meja segi pandang. Tetapi orang-orang tersebut akan berbeda akan persepsi dan kesimpulan tentang meja tersebut, ada yang mengatakan bahwa meja tersebut licin karena dia melihat meja tersebut memang licin dengan melihat dan menyentuhnya, namun beberapa orang lain berkata lain bahwa meja tersebut kesat, kasar, mempunyai lembah dan gunung. Pernyataan mereka disimpulkan setelah melakukan eksperimen dengan melihat meja tersebut dengan alat Bantu kaca pembesar.

Sementara itu jika kita menjadikan wahyu sebagai sumber dari ideologi, maka kita akan mengulangi kasus keragaman penafsiran terhadap ajaran islam. Belum tentu seluruh intelektual dan penguasa muslim akan menyetujui sebuah konsep ideology islam yang ditawarkan oleh seseorang berdasarkan penafsirannya terhadap ajaran islam. Sebagai analogi, mari kita lihat betapa terdapat perbedaan antara “islam kiri” –nya Hasan Hanafi dengan pan-islam-nya Jamaluddin Al-Afgan. Menjadikan wahyu sebagai sumber ideology akan menimbulkan pertentangan karena factor pemahaman atas wahyu, begitu juga pada ajaran agama lainnya. Ketika wahyu dijadikan sebagai bapaknya ideology, maka wahyu yang semula bersifat universal akan menjadi kaku dan akan berlaku untuk kalangan tertentu saja.

Terdapat banyak paradoks pada sebuah ideology yang akan menimbulakan “sters” para pengikut ideologi tertentu hingga pengikut ideology itu akan pasif menerima ideology, atau pengikut ideology itu menjadi agresif hingga menolak doktrin ideology serta mengambil sikap untuk keluar dari lingkaran ideology untuk mencari kemerdekaan dan mencari eksistensinya sebagai manusia. Apalagi dengan semakin intensifnya hubungan antara bangsa pada era ini, menjadikan seorang penganut ideology tertentu akan terlihat picik cara berpikirnya.

Ideology-ideologi ternyata kaku dalam menghadapi kenyataan. Marhainisme kesulitan menghadai realitas baru, yakni tumbuhnya kelas menengah dan kelas atas. Komunisme dan marxisme tidak dapat menanggulangi ambrukyan system ekonomi komando. Bahkan negeri seperti RRC, kini menganut system perdagangan bebas (yang banyak di dominasi kapitalis). Ideology islam kesulitan menghadapi kemajemukan bangsa dan kemajemukkan umat islam sendiri, sehingga bagi kuntowijoyo, ideology itu bersifat subjective, normative dan tertutup, yang berbeda sekali dengan ilmupengetahuan yang memiliki watak objective, factual dan terbuka.

Setelah kita berbicara panjang lebar tentang ideology-ideologi besar yang berkembang di dunia, sekarang mari kita melongok ke dalam kehidupan berbangsa dan bernegara Indonesia. Bangsa ini menganut falsafah Pancasila yang kemudian berusaha dijadikan ideology oleh founding father Negara ini. Bagi penulis Pancasila adalah proyek prestisus dari pendiri bangsa ini. Pancasila adalah sebuah proyek untuk mencoba mendamaikan serta mensintesiskan beberapa sisi yang dianggap positif dari beragam ideology yang kita bahas terlebih dahulu. Jadi wajar saja kalau ada beberapa kalangan yang sinis memandang pancasila sebagai ideology tidak jelas alias abu-abu.

Pancasila pada saat lahirnya adalah sebuah hipotesa besar yang berusaha mengakoimodir berbagai nilai yang hidup dan berkembang di Indonesia. Cerdaslah Sukarno yang menyimpulkan pancasila dalam tiga kata Nasional, Agama dan Komunis (NASAKOM), karena memang cara pandang bangsa Indonesia tersimpul pada tiga hal demikian. Demi menghormati founding father negeri ini, usaha akomodir tersebut patut diapresiasi dan dihargai. Namun niat baik itu sering diintervensi dengan beragam kepentingan.

Pancasila yang pada orde lama, disimpangkan demi kepentingan Sukarno dalam tafsiran demokrasi terpimpinnya. Orde baru sebagai sebuah rezim penyelemat dalam niat besarnya menjalankan pancasila secara murni dan konsekwen setelah rakyat tidak merasa puas lagi dengan tafsiran-tafsiran yang ditompang oleh berbagai kepentingan dibelakang Pancasila oleh Sukarno. Akan tetapi pada masa orde baru, pancasila menderita lagi karena kepentingan penguasa. Pancasila yang satu dalam penafsiran belum ada, maka rezim ordebaru mengambil kesempatan untuk menafsirkan serta mengejewantahkan pancasila hasil tafsiran mereka kepada seluruh rakyat Indonesia. Pancasila kemudian diberi boncengan “pembangunan”, “stabilitas” dan berbagai boncengan lainnya demi mengamankan kepentingan pemerintah. Demi pembangunan, maka segala yang dianggap sebagai penghalang pembangungan dinyatakan subversi, demi stabilitas, asas tunggal dipaksakan berlaku (dalam hal stabilitas politik) walaupun meninggalkan berbagai luka dibelakangnya.


Posmo Menuju Harapan

Post-modernisme yang lebih ghalib dipanggil posmo merupakan kritik radikal yang menolak nilai-nilai kemapanan yang berasal dri epistimologi ideology –ideologi modern. Wajah yang ditampilkan posmo lebih berprikemanusiaan (humanis) dan lebih cenderung berpihak kepada masyarakat daripada Negara, lebih berpijak kepada kenyataan hidup dan budaya (sosiologis). Wajar jika mereka yang memakai jalan seperti ini dianggap sebagai pemberontak oleh penguasa. Para penganut posmo, banyak mengadang-gadangkan cerita kecil, mereka tidak begitu antusias (mungkin bosan) dengan cerita-cerita besar. Ungkapan, “big stories are bad, litlle stories are good”.

Mensintensiskan kecenderungan globalisasi dengan sosiologis posmodernisme, maka akan didapati analisa seperti analisa dari Akbar S. Ahmed, sebagaimana dikutip oleh Komaruddin Hidayat yang dapat dijadikan penguat atas ramalan kehancuran ideology. Berikut kutipan panjang dari analisa Akbar S. Ahmed :

Pertama ; timbulnya pemberontakkan secara kritis terhadap proyek modernitas, memudarnya kepercayaan pada agama yang bersifat tansendental (meta-narasi), dan semakin diterimanya pandangan pluralisme-relativisme kebenaran.

Kedua ; meledaknya industri media massa, sehingga ia bagaikan perpanjangan tangan dari system indera, organ dan saraf kita, yang pada urutannya menjadikan dunia menjadi terasa kecil. Lebih dari itu, kekuatan media massa telah menjelma bagaikan “agama” atau “tuhan” sekuler. Dalam artian perilaku orang tidak lagi ditentukan oleh agama-agama tradisional, tetapi tanpa disadari telah diatur oleh media massa semisal program televisi.

Ketiga ; munculnya radikalisme etnis dan keagamaan. Fenomena ini muncul diduga sebagai reaksi atau alternative ketika orang semakin meragukan terhadap kebenaran sains, tekhnologi dan filsafat yang dinilai gagal memenuhi janjinya untuk membebaskan manusia. Tetapi sebaliknya yang terjadi adalah penindasan.

Keempat ; munculnya kecenderungan baru untuk menemukan identitas dan apresiasi serta keterikatan romantisme dengan masa lalu.

Kelima ; desaan berubah menjadi daerah pinggiran.

Keenam ; semakin terbukanya peluang bagi klas social atau kelompok untuk menemukakan pendapat secara bebas.

Ketujuh ; erak postmodernisme juga ditandai dengan munculnya kecenderungan bagi tumbuhnya eklesitas dan pencampur adukkan dari berbagai wacana, potret serpihan-serpihan realitas sehingga seseorang sulit untuk ditempatkan secara total pada kelompok budaya tertentu secara ekslusif.

Kedelapan ; bahasa yang digunakan dalam wacana postmodernidme seringkali mengesankan ketidak jelasan makna dan inkonsistensi sehingga apa yang disebut “era-posmo” banyak mengadung paradoks.

Penutup

Kehancuran ideology yang ada sekarang akan terjadi secara alami. Ideology yang ada pad saat ini dibangun diatas budaya penuh kekacauan dan picik (Ramalan ini pernah dianggap berlebihan oleh Moediono).

Bagaimana hidup manusia tanpa ideology? Jika memang ideology itu adalah tuntutan hidup manusia (way of live), maka dapat dipastikan manusia sangat membutuhkan ideology sebagai penunjuk arah dalam menjalani kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Disini kita akan menemukan poradoksional lagi, pada satu sisi ideology masih dibutuhkan, akan tetapi secara sosiologi ideology telah mengungkung masyarakat dalam kurungannya. Namun pada sisi lainnya, manusia juga masih membutuhkan ideology untuk petunjuk hidupnya.

Bahasan diatas adalah upaya dari penulis untuk mengkritisi ideology-ideologi kontemporer yang telah nyata menimbulkan kegoncangan dan kehancuran pada dunia. Trend ideology telah berlalu masanya, ia ibaratkan bintang film yang tidak lagi laku dalam percaturan global karena sudah uzur dan sering membuat rusuh. Jika kematian dari ideology-ideologi yang ada pada saat ini menjadi kenyataan pada akhirnya, maka ideology yang bagaimanakah akan muncul dan menjadi pegangan manusia? Capra melihat bahwa penyebab kekacauan itu karena tidak digunakannya paradigama utuh dalam merekayasa budaya. Lebih lanjut capra mengusulkan harus ada paradigma tunggal yang mampu melihat alam sebagai sesuatu yang wholes untuk digunakan dalam mendesain kembali budaya dunia.


Setelah kematian pasti ada kehidupan baru lagi. Demikianlah sikap yang kita ambil dalam menyikapi “ramalan” kehancuran ideology yang ada sekarang. Hancurnya sebuah ideology harus diisi dengan ideology baru yang ramah dan dapat mengakomodir semua golongan hingga dapat mengeliminir setiap konflik antara sesama manusia. Juga ideology yang tersistem baik agar tidak dapat digunakan oleh penguasa demi kepentingannya.

*study filsafat

Tidak ada komentar:

Posting Komentar