song

Senin, 09 Juli 2012

pkm

A.    Judul : Analisis Tenurial Desa Konservasi Terkait Proses Zonasi Taman Nasional bantimurung Bulusaraung Di Patannyamang.

B.    Latar Belakang
Reforma agraria di sektor kehutanan telah menjadi salah satu bagian pengarusuatamaan program oleh banyak pihak termasuk pemerintah. Banyaknya konflik tenurial antara masyarakat dengan pemerintahdi dalam maupun sekitar hutan  membuat banyak pihak mendorong penuntasan reforma agrarian secara menyeluruh di sektor kehutanan.Salah satu fungsi kawasan yang banyak mengalami konflik tenurial adalah kawasan hutan konservasi.Kesatuan pengelola hutan melalui kelembagaan Taman Nasional dan atau Balai Konservasi Sumberdaya Alam diberbagai daerah mengalami tantangan dan tekanan sosial yang bermuara pada konflik tenurial.Menurut Mulyana dkk. (2010),kawasan konservasi di Indonesia sedang mengalami kebuntuan,dimana kawasan konservasi yang dikelola pemerintah untuk kepentingan umum (Public Good)telah mengalami kerusakan, pengurangan luas atau diperebutkan berbagai pihak untuk kepentingan lain.
Khusus Taman Nasional, banyak mengalami tekanan dan keberadaan masyarakat di dalam kawasan, salah satunya Taman Nasional Bantimurung Bulusaraung. Taman Nasional tersebut merupakan suatu lembaga yang bergerak dibidang konservasi sumberdaya hutan dan ditunjuk berdasarkan Keputusan Menteri Kehutanan Republik Indonesia Nomor : SK.398/Menhut-II/2004 tanggal 18 Oktober 2004 tentang Perubahan Fungsi Kawasan Hutan pada Kelompok Hutan Bantimurung-Bulusaraung dengan luas ± 43.750 ha. Dengan demikian, keberadaan masyarakat di dalam dan sekitar kawasan perlu dikembangkan suatu bentuk kegitan yang melibatkan masyarakat dalam pemanfaatan hutan.
Adapun bentuk kegiatan yang dilakukan Taman Nasional Bantimurung Bulusaraung adalah Model Desa Konservasi. Kegiatan ini akan dilaksanakan di desa binaan yaitu Desa Pattanyamang.Program Model Desa Konservasi bertujuan untuk peningkatan pendapatan masyarakat dan setidaknya terdapat 30 orang warga desa di sekitar Taman Nasional Bantimurung Bulusaraung yang terlibat dalam kegiatan pengelolaan kawasan, bersamaan dengan itu juga telah dibangun proses-proses dialog yang dilakukan oleh Balai TN Bantimurung Bulusaraung dalam rangka zonasi Taman Nasional baik yang dilakukan oleh pengelola TN Bantimurung Bulusaraung sendiri maupun difasilitasi oleh berbagai  perguruan tinggi maupun LSM.
Tantangan “public trust”di sektor kehutanan semakin megalami kebuntuan. Hal ini akibat dari kegagalan pengelolaan hutan, akan tetapi lebih disebabkan resultante permasalahan lintas sektor yang dipicu oleh adanya kerusakan hutan dan lahan yang sangat besar. Ketidakpercayaan akan menghasilkan anarkhisme, benturan kepentingan dan langkah-langkah kontra produktif terhadap keberhasilan pembangunan, sehingga melahirkan konflik tenurial. Namun proses dialog yang selama ini menjadi pondasi dalam pengelolaan hutan banyak terabaikan sehingga muncul tindakan ketidak percayaan masyarakat dalam pengelolaan hutan. Momentum program desa konservasi dapat dijadikan salah satu wahana dalam mendiskursuskan dialog-dialog tenurial yang lebih informal dengan tujuan untuk mengembalikan kepercayaan masyarakat dalam pengelolaan hutan.
Berdasarkan hal tersebut,maka perlu dilakukan penelitian untuk mengetahui sistem tenurial masyarakat berkaitan dengan zonasi kawasan Taman Nasional.Sehingga informasi yang diperoleh dapat menjadi pedoman dalam menyelesaikan konflik dalam Taman Nasional.

C.    Rumusan Masalah

Adapun rumusan masalah adalah sebagai berikut:
a.    Bagaimana sistem tenurial  masyarakat dengan sistem zonasi pada Taman Nasional Bantimurung Bulusaraung.
b.    Bagaimanaketerkaitan programDesa Konservasi dengan persoalan-persoalan tenurial yang menjadi bahan dialog dalam proses zonasi Taman Nasional Bantimurung Bulusaraung.

D.    Tujuan.

Adapun tujuan dilakukan penelitian ini adalah
a.    Untuk mengetahui sistem tenurial  masyarakat dengan sistem zonasi pada Taman Nasional Bantimurung Bulusaraung.
b.    Untuk mengetahuiketerkaitan  program Desa Konservasi dengan persoalan-persoalan tenurial yang menjadi bahan dialog dalam proses zonasi Taman Nasional Bantimurung Bulusaraung.

E.    Luaran yang Diharapkan

Luaran yang diharapkan berupa:
a.    Dokumen data tentang sistem tenurial di desa Patannyamang masyarakat dengan sistem zonasi pada Taman Nasional Bantimurung Bulusaraung.
b.    Hasil analisiskaitan  program Desa Konservasi dengan persoalan-persoalan tenurial yang menjadi bahan dialog dalam proses zonasi Taman Nasional Bantimurung Bulusaraung.

F.    Kegunaan

Adapun kegunaan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:
a.    Untuk memberikan informasi dalam membangun proses-proses penyelesaian konflik tenurial  TamaNasional Bantimurung Bulusaraung di Desa Patannyamang.
b.    Sebagai acuan para pihak dalam menangani konflik tenurial di desa Patannyamang masyarakat pada Taman Nasional Bantimurung Bulusaraung.

G.    Tinjauan Pustaka

1.    Tenurial dan Analisis Tenurial

Sebelum tahun 1960, ada tiga jenis hak penguasaan tanah komunal, yaitu hak bengkok, hak banda desa, hak narawita; serta satu yang bersifat individual yaitu hak yasan. Penerapan UUPA tahun 1960 menyebabkan konversi tanah yang semula berdasarkan hukum adat (komunal) menjadi hak milik. Hak narawita secara de facto sudah menjadi milik individual, sehingga penjualan tanah berkembang, peluang tunakisma untuk menggarap me-ngecil, dan mobilitas penguasaan cenderung terpolarisasi. Bersamaan dengan itu, sistem produksi yang semula dilandasi nilai-nilai tradisonal digantikan oleh sistem produksi komersial (Dassir, 2007).
Tenure adalah suatu hubungan hak dan tanggung jawab antara individu dan kelompok individu dalam memanfaatkan sumberdaya alam (Birgegard, 1993 dalam Supratman, 2010). Sedangkan menurut Surambo (2006) bahwa, sistem tenurial terdapat beberapa kompnen yaitu, pertama adalah subjek hak artinya pada siapa hak tertentu dilekatkan, dapat berupa individu, rumah tangga, kelompok, suatu komunitas, kelembagaan sosial-ekonomi bahkan lembaga politik setingkat negara. Kedua adalah objek hak yang dapat berupa persil tanah, sesuatu diatas tanah berupa tanam tumbuh ataupun lainnya, sesuatu yang ada didalam tanah berupa barang tambang dan lain-lainnya, kandungan barang-barang atau mahluk hidup dalam suatu kawasan perairan tertentu, ataupun suatu kawasan tertentu misalnya wilayah udara tertentu. Ketiga adalah jenis hak, setiap hak selalu dapat dijelaskan batasan dari hak tersebut yang membedakannya dengan hak lainnya. Jenis hak ini merentang dari hak milik, hak sewa sampai hak pakai atau kelola saja ataupun hak lainnya. Hal ini tergantung bagaimana subjek hak atau masyarakat menentukannya. Setiap jenis hak ini biasanya dilekati pula dengan hubungan khusus dengan kewajiban tertentu oleh pihak lain dan keberlakuannya dalam suatu kurun masa tertentu.
Menurut Emila (2010),konflik tenurial (sistem tenurial yang belum jelas) dalam pengelolaan hutan masih terus berlangsung:
a.    Batas‐batas kawasan hutan yang belum disepakati bersama oleh Pemerintah dan masyarakat.
b.    Penguasaan lahan dalam kawasan hutan (de facto) oleh masyarakat.
c.    Belum diakomodir dengan baik keberadaan masyarakat dalam kawasan hutan dalam perencanaan pembangunan kehutanan Konflik tenurial (sistem tenurial yang belum Jelas dalam pengelolaan hutan masih terus berlangsung.
Menurut Emila (2010) perangkat analisis tenurial antara laian sebagai berikut:
a.    RATA (Rapid Land Tenure Assessment) yang dikembangkan oleh ICRAF bersama mitra merupakan sebuah piranti sistematis yang mampu menilai, menganalisis, memahami dan menjelaskan secara ringkas suatu masalah dan/atau konflik sistem penguasaan tanah yang kompleks.
b.    Huma‐Win (Data base konflik kehutanan).
Sebuah perangkat analisis untuk meretas atau mengurai dinamika permasalahan tenurialdalam bentuk yang terkomputerisasi berbasis Window (HUMA‐WIN ver 1.1). Hal ini sangatdibutuhkan untuk mengeloladata yang cukup luas dan beragam (data spatial, Kebijakan , Numerik/agregat) dan disajikandalam waktu relative singkat.
c.    AGATA (Analisis Gaya Pihak Bersengketa).
Perangkat ini dikembangkan oleh Samdhana sebuah lembaga reflektif untuk memahami gaya para pihak menghadapi dinamika dinamika perbedaan. Dengan perangkat ini dapat pahami gaya para aktor untuk menyelesaikan perbedaan perbedaannya, apakah melalui proses mediasi, fasilitasi atau bentuk‐bentuk lainnya.
Menurut Martua T. Sirait(2009) dalam metode analisis tenurial terbagi menjadi tiga metode yaitu RATA, HuMa-Win dan AGATA.RATA (Rapid Tenure Assessment) merupakan metode yang dikembangkan oleh ICRAF bersama mitranya untuk mengidentifikasi para pihak yang memiliki klaim atas wilayah tersebut, demikian pula dengan basis klaimnya.Sementara itu, HuMa-Win dikembangkan oleh HuMa, suatu lembaga pendukung advokasi masyarakat berbasis ekologis, merupakan metode untuk membangun database berbasis window yang berfungsi untuk menyimpan data klaim para pihak dalam bentuk gambar, angka, tulisan dan grafik.Metode ketiga yang diajarkan adalah AGATA (Analisis Gaya Para Pihak Bersengketa) yang dikembangkan oleh Samdhana Institute. Metodologi ini mengajarkan analisis mengenai bagaimana para pihak menghadapi konflik sehingga akan tergambarkan bagaimana seharusnya proses penyelesaian konfik tersebut dapat dilakukan, apakah melalui mediasi, arbitrasi, litigasi atau bentuk pilihan penyelesaian konflik lainnya.

2.    Desa Konservasi

Pemberdayaan masyarakat di sekitar kawasan konservasi sudah dilakukan sejak tahun 1993 oleh Balai Konservasi Sumberdaya Alam (BKSDA) dan Taman Nasional (TN) melalui pengembangan daerah penyangga. Karena hasilnya belum maksimal, maka sejak tahun 2006 pola pemberdayaan masyarakat tersebut dirubah melalui Model Desa Konservasi (MDK).Pembangunan MDK merupakan upaya konkrit pemberdayaan masyarakat disekitar dan didalam kawasan konservasi yang dilakukan secara terintegrasi dengan pengelolaan kawasan konservasi.Pembangunan MDK meliputi 3 kegiatan pokok yaitu pemberdayaan masyarakat, penataan ruang/wilayah pedesaan berbasis konservasi dan pengembangan ekonomi pedesaan berbasis konservasi (Siaran pers Dephut, 2009).
Model Desa Konservasi (MDK) merupakan desa yang dijadikan model dalam upaya memberdayakan masyarakat di dalam dan di sekitar kawasan konservasi, dengan memperhatikan aspek konservasi, sosial, ekonomi, budaya dan aspek lainnya.Tujuan pembentukan MDK adalah untuk pelestarian kawasan Taman Nasional Kepulauan Seribu dan mewujudkan kesejahteraan Masyarakat (Yudista, 2010).
Desa Konservasi yang dikembangkan merupakan model pengelolaan desa yang meselaraskan upaya pelestarian lingkungan dengan usaha peningkatan ekonomi masyarakat desa.Model Desa Konservasi penting karena selalu terjadi pertentangan antara kepentingan ekonomi dengan kepentingan konservasi dan rendahnya keterlibatan masyarakat dalam upaya pelestarian kawasan hutan (Aninom, 2011).
Desa konservasi adalah sebuah pendekatan model konservasi yang memberi peluang kepada masyarakat yang tinggal di sekitar kawasan konservasi untuk terlibat aktif dalam upaya pengelolaan kawasan konservasi.Model ini juga memberikan peluang kepada masyarakat untuk memperoleh akses yang aman untuk pemanfaatan kawasan, sehingga dapat menjamin komitmen jangka panjang mereka untuk mendukung konservasi kawasan hutan (Siaran PersDephut, 2008).
Menurut Andriyana (2010) kriteria Model Desa konservasi adalah sebagai berikut:
a.    Desa yang letaknya di sekitar kawasan konservasi dan masyarakat berinteraksi langsung dengan kawasan konservasi.
b.    Desa yang masyarakatnya mempunyai kepedulian terhadap pelestarian kawasan konservasi.
c.    Desa yang kehidupan masyarakatnya mempunyai ketergantungan kuat terhadap keberadaan kawasan konservasi.
d.    Desa yang mempunyai sumber daya alam yang dapat dikembangkan.
e.    Desa yang secara umum mempunyai permasalahan yang sama dengan desa-desa lainnya di sekitar kawasan konservasi.

3.    Zonasi Taman Nasional

Taman Nasional adalah kawasan pelastarian alam yang mempunyai ekosistem asli, dikelola dengan sistem zonasi yang dimanfaatkan untuk tujuan penelitian, ilmu pengetahuan, pendidikan, menunjang budidaya, pariwisata dan rekreasi (UU No.5 Tahun 1990).
Zonasi Taman Nasional adalah suatu proses pengaturan ruang dalam taman nasional menjadi zona-zona, yang mencakup kegiatan tahap persiapan, pengumpulan dan analisi data, penyusunan draft rancangan rancangan zonasi, konsultasi publik, perancangan, tata batas, dan penetapan, dengan mempertimbangkan kajian-kajian dari aspek-aspek ekologis, sosial, ekonomi dan budaya masyarakat (Permenhut: P. 56 /Menhut-II/2006).
Menurut Arief (2001) Taman Nasional adalah kawasan pelestarian alam yang mempunyai ekosistem asli dan dikelola dengan sistem zonasi. Manfaat dan fungsi zonasi antara lain sebagai berikut:
a.    Zona inti adalah zona khusus diperuntukan bagi upaya perlindungan dan pelestarian.
b.    Zona rimba adalah zona ini dapat dikunjungi dengan berbagai kegiatan rekreasi, tetapi dalam batasan tertentu.
c.    Zona pemanfaatan intensif adalah zona ini dialokasikan untuk menampung bentuk kegiatan rekreasi dan penyediaan sarana untuk pengelolaan.
Menurut Dephut (1997) Taman Nasional merupakan kawasan pelestarian alam yang memiliki fungsi sebagai berikut:
a.    Menjaga keseimbangan ekosistem dan melindungi sistem penyangga kehidupan
b.    Melindungi keanekaragaman jenis dan menjadi sumber plasma nutfah.
c.    Menunjang kegiatan penelitian dan pengembangan ilmu pengetahuan, pendidikan dan pelatihan.
d.    Menjadi objek wisata alam (minat khusus) dan menunjang pelestarian budaya setempat
e.    Merupakan bagian dari pengembangan daerah setempat.
Menurut Anonim (2008) Konservasi sumber daya alam hayati dan ekosistemnya dilakukan melalui, perlindungan sistem penyangga kehidupan, pengawetan keanekaragaman jenis tumbuhan dan satwa beserta ekosistemnya, serta pemanfaatan secara lestari sumber daya alam hayati dan ekosistemnya. Oleh karenanya, berhasilnya konservasi sumber daya alam hayati dan ekosistemnya berkaitan erat dengan tercapainya tiga sasaran konservasi, yaitu :
a.    Menjamin terpeliharanya proses ekologis yang menunjang sistem penyangga kehidupan bagi kelangsungan pembangunan dan kesejahteraan manusia
b.    Menjamin terpeliharanya keanekaragaman sumber genetik dan tipe-tipe ekosistemnya sehingga mampu menunjang pembangunan, ilmu pengetahuan, dan teknologi yang memungkinkan pemenuhan kebutuhan manusia yang menggunakan sumber daya alam hayati bagi kesejahteraannya
c.    Mengendalikan cara-cara pemanfaatan sumber daya alam hayati sehingga terjamin kelestariannya.

H.    Metode Pelaksanaan

1.    Metode penelitian
Metode penelitian menggunakan pendekatan partisipatif dengan adaptasi metode RATA (Rapid Land Tenure Assessment ). Pengumpulan data dilakukan dengan metode wawancara dan Focus Discussion Group (FGD). Metode wawancara, observasidan Focus Discussion Group (FGD) ditujukan kepada pada masyarakat dengan data primer pada aspek tenurial terhadap ruang lingkup  kegiatan program desa konservasi dan Proses Pembangunan Zonasi TN Babul, antara lain :
a.    Sejarah tenurial
b.    Persepsi para pihak (terkait posisi, kepentingan dan kebutuhan masing-masing pihak)
c.    Sistem kelembagaan lokal
d.    Pertentangan-pertentangan yang terjadi atau konflik yang terjadi antara masyarakat dan Balai TN Babul
e.    Batas‐batas zonasi dan batas luar  kawasan Taman Nasional Bantimurung Bulusaraung yang belum disepakati bersama oleh Pemerintah dan masyarakat, maupun yang telah disepakati, serta faktor yang mendasarinya
f.    Penguasaan lahan dalam kawasan hutan (de facto) oleh masyarakat.
g.    Hubungan para pihak baik yang meliputi pemerintah dan masyarakat setempat.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar